MOJOK.CO – Tidak harus susah-susah jadi orang pemerintahan kalau cuma bisa bilang “hati-hati”, “waspada, “jangan panik” ketika masyarakat dibayang-bayangi risiko bencana akibat perubahan cuaca ekstrem. Bertamu saja ke rumah teman, pas pulang juga bakal disuruh hati-hati.
Beberapa hari ini saya membaca berita yang mengabarkan pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa kejadian cuaca ekstrem di Indonesia menjadi bukti terjadinya perubahan iklim. Kejadian cuaca ekstrem seperti kekeringan yang berlangsung sangat lama atau musim hujan dengan guyuran air hujan lebih banyak dari biasanya menjadi penyebab berbagai bencana.
Sebagai pembaca awam, saya cukup jelas dengan contoh “kejadian cuaca ekstrem”. Tapi apa yang dimaksud “perubahan iklim”? Mau tak mau saya harus cari tahu sendiri.
Seperti ini temuan saya. Dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Pasal 1 ayat 2 yang disusun pada 1992, perubahan iklim adalah perubahan iklim.
Oke, ini tidak seperti definisi minyak dan gas bumi di UU Cipta Kerja. Masih ada lanjutannya. Perubahan iklim adalah perubahan iklim yang dikaitkan secara langsung dan tidak langsung dengan (1) aktivitas manusia mengubah komposisi atmosfer dunia dan (2) perubahan iklim alami yang diamati dalam periode waktu yang bisa diperbandingkan.
Mengapa UNFCCC membuat definisi perubahan iklim? Sebab mereka adalah muktamar para anggota PBB dalam rangka menyusun kerangka kerja untuk mengatasi perubahan iklim. Secara khusus mereka menyorot perubahan iklim yang disebabkan manusia agar logikanya: persoalan yang disebabkan manusia à harus diatasi manusia.
Jadi, untuk mengatasi perubahan iklim yang berbuah bencana ini, manusia harus mencari cara supaya mampu bertahan dan mengubah situasi. Saya kira untuk bisa melakukannya, kita harus punya cukup informasi. Kabar dari BMKG adalah salah satu cara untuk mengetahui kondisi iklim saat ini serta potensi cuaca ekstrem yang berpotensi membahayakan.
***
Ingatan saya kembali pada pertengahan Januari lalu. Saat itu BMKG mengingatkan masyarakat agar waspada pada potensi banjir. Sejumlah wilayah telah diguyur hujan lebat secara terus-menerus.
Saya apresiasi dengan BMKG yang memberi informasi agar masyarakat waspada terhadap potensi bencana. Selain itu, pihak BMKG memberikan pernyataannya kepada media agar masyarakat waspada dan tidak panik.
Tapi, saya tetap bingung dan merasa cemas karena informasi tersebut. Saking cemasnya, baru turun hujan, saya sudah waswas. Saya memilih tidak mau keluar rumah, bahkan saya merindukan kehadiran pawang hujan agar hujan segera berhenti sehingga tidak menyebabkan banjir.
Saya berusaha untuk waspada menghadapi potensi bencana, tapi saya bingung, saya harus melakukan apa? Apakah yang musti waswas menghadapi potensi bencana itu semua orang di seluruh Indonesia? Atau orang yang tinggal di tempat tertentu saja, seperti yang tinggal di perbukitan rawan longsor atau kawasan langganan banjir? Atau orang yang tinggal di dekat aliran air, meski sebelumnya tak pernah terkena banjir, juga harus berjaga-jaga? Kemudian, kalau harus waspada, persiapan apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka waspada itu?
Di tengah buruknya literasi saya mengenai kewaspadaan menghadapi kejadian cuaca ekstrem, beberapa media menyebutkan masyarakat hendaknya tetap bersikap tenang dan jangan panik dengan potensi kejadian cuaca ekstrem. Sumpah deh, saya makin bingung. Bagaimana cara kita bersikap waspada sekaligus tidak panik sementara kita tidak tahu harus melakukan apa? Anda pasti pernah menghadapi situasi sedang diperingatkan akan dapat masalah, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ketidaktahuan harus berbuat apa itu otomatis bikin panik karena kepala pusing mikir dan terpaksa harus berpikir terus.
Bayangkanlah seperti ini. Jika masyarakat yang tinggal di daerah berpotensi longsor diminta waspada, ke manakah mereka harus pindah ketika ada peringatan bencana? Juga masyarakat di daerah rawan banjir, mereka harus pindah ke mana? Kalau petani gagal panen karena kekeringan, bagaimana cara mencari modal yang habis? Kalau nelayan tidak bisa melaut, lalu mesti dengan cara apa bertahan hidup? Kalau peladang tradisional tidak boleh membuka lahan dengan membakar, jadi apa solusinya?
Ketika kita diminta tidak panik, sementara kita tidak diberi jalan dan pilihan untuk tidak panik, akhirnya ya kita tetap panik. Misalnya pada Februari 2020 ketika pandemi membayang. Pemerintah minta kita tidak panik. Lalu Maret datang dan muncul tiga kasus positif Covid-19. Masih ingat betapa paniknya orang-orang memborong masker di pasaran dan menyerukan lockdown kampung?
Saya garuk-garuk kepala ketika kadang solusi yang dimunculkan otoritas adalah berdoa. Wow, kita ini negara sekuler. Membedakan kewenangan negara dan agama. Mengapa pemerintah jadi ambil peran spiritual begini. Anda pasti paham maksud saya bukan karena masalah doa, tetapi ketiadaan aksi mencari jalan keluar atau ikhtiar yang konkret dan tuntas untuk menyelesaikan masalah.
Saya kira, menyuruh masyarakat tidak panik ketika ada risiko bencana sama tak bergunanya dengan menenangkan anak tantrum hanya dengan bilang, “Jangan nangis!” Risiko menghadapi cuaca ekstrem perlu diikuti dengan panduan jelas tindakan apa saja yang harus dilakukan masyarakat agar waspada dan tidak panik menghadapinya. Jadi diberi tahu betul-betul, biar waspada dan tidak panik itu, kita kudu ngapain.
Masyarakat memang bisa mengakses informasi tanggap bencana lewat internet, tapi tak semua orang punya kemampuan menerjemahkan informasi tentang cuaca atau iklim yang teknis dan ilmiah itu. Membedakan iklim dan cuaca saja belum tentu semua bisa. Apalagi jika informasi yang tersedia adanya dalam bahasa Inggris. Selebtwit boleh cas-cis-cus bahkan bahasa prokem Amerika, tapi sebagian besar penduduk Indonesia adalah orang-orang yang nGGak BiSa baHaSA IngGriS.
Semoga deh ada pembuat kebijakan iklim yang membaca tulisan ini. Tolong banget dijawab, kalau ada situasi seperti ini, cara supaya waspada tapi tidak panik itu kayak apa?
BACA JUGA Proses Depolitisasi dan Repolitisasi dalam Kasus Banjir Jakarta dan esai tentang Perubahan Iklim lainnya di Mojok.