MOJOK.CO – Kadang ada tradisi sepele nan remeh yang tidak boleh dilupakan begitu saja bagi Anda, warga baru di sebuah kampung. Kalau keliru langkah, salah-salah Anda bakal didiemin selama-lama-lama-lama-lama-lama-lama-lamanya.
Rumah ibarat istri. Pindah rumah setara dengan pernikahan. Ngontrak rumah di tempat yang baru, apalagi membangun rumah baru di sebuah kampung yang bukan kampung kelahiran Anda sendiri, adalah tantangan kehidupan yang serius. Kalau dalam fase opening Anda sudah salah langkah, ya buntutnya bisa panjang.
Makanya, dengan ikhlas saya ingin membagi tausiah penting yang layak jadi pegangan hidup para pembaca dalam soal ini. Camkan, niscaya Anda akan selamat.
Kiat pertama, jangan keminter. Jika Anda sudah bergabung sebagai warga baru di sebuah kampung, warga langsung akan mengundang Anda pada pertemuan-pertemuan kampung. Nah, sejak hari pertama hingga tahun ketiga, saran saya, jangan terlalu iyig dan cerewet. Duduklah saja di situ, diam, bayar iuran jika diminta.
Kadang di situ ada acara lain-lain, yang berisi kesempatan untuk mengajukan usulan ini-itu. Meskipun Anda seorang intelektuil yang punya ide cemerlang dan visi jauh untuk masa depan kampung, jangan sok tahu dan kebanyakan usulan. Diamlah, manggut-manggut saja, dan jangan turut campur kalau mendengar ada perbedaan pendapat di dalam forum. Anda masih orang baru, dan orang baru akan dihargai jika dan hanya jika ia tahu bagaimana caranya sendiko dhawuh kepada orang lama. Itu sudah.
Kalau Anda tetap ngotot ngomyang dengan ide-ide Mario Teguh, risikonya ada dua. Satu, Anda akan dianggap mengusik dominasi tokoh lama di kampung (biasanya orang yang merasa paling pintar sekaligus punya pengaruh), dan kesulitan akan datang kalau Anda sedang mau ada urusan sama orang itu. Dua, Anda akan diminta jadi pelaksana usulan itu. Lho jelas, siapa berani usul ya harus berani jadi pelaksana. Itulah hukum kampung.
Kedua, jangan menampakkan diri bahwa Anda punya orientasi untuk ngowah-owahi adat, alias mengubah kebiasaan. Pernah ada seorang kenalan saya yang pindah ke sebuah kampung abangan campur Nahdliyin. Belum ada setengah tahun dia datang, dia sudah menghadap Mbah Modin, membawa usulan agar pelan-pelan tahlilan ditiadakan. Wa yo pekok pol!
Jangan dulu berdebat soal bid’ah hasanah atau dlolalah, Mas. Cukup lihat saja bahwa apa yang dilakukan kawan saya itu sebentuk tindakan bunuh diri. Itu sama artinya menghadap ke pemegang otoritas, lalu meminta agar wilayah otoritatifnya dilucuti. Lha kalau nggak ada tahlilan, Mbah Modin mau disuruh ngapain? Proyek-proyek kebudayaannya mau disuruh berjalan di wilayah mana? Cuma disuruh ngurusi kuburan? Wuuu…
Akibatnya lumayan mengerikan. Sejak saat itu, tiap kali ada acara di rumah kawan saya, para pemuda kampung nggak ada yang mau datang. Siyan…
Ketiga, jangan pamer kemampuan. Misalnya Anda pintar azan nih. Suara Anda merdu, lafal azannya juga sesempurna muazin Masjidil Harom. Nah, jangan pakai skill itu hingga tahun ketiga. Meski Anda sering datang paling awal di masjid pun, jangan coba-coba ambil mikrofon. Tunggulah sampai muazin kampung datang.
Kenapa? Sebab biasanya ada orang yang telah bertahun-tahun menetapkan diri secara sepihak sebagai muazin kampung. Iya, tidak ada yang menobatkannya selain dia sendiri.
Penetapan sepihak semacam itu lazim, dan merupakan penegasan wilayah eksistensial bahkan wilayah politiknya! Manusia secara wajar butuh aktualisasi, dan ada banyak orang yang tidak mendapatkan jalur itu. Dari situ, banyak orang mencari-cari daerah kosong tak bertuan yang akan dia pasangi patok kekuasaan.
Bisa jadi, belasan tahun sebelum Anda datang, ada situasi ketika mikrofon masjid nganggur. Pak Muazin itu mengambilnya, lalu menjadikannya sebagai wilayah aktualisasinya setiap hari. Jangan diganggu! Meski suara dia bikin mumet, mengucap asyhadu dengan asadu dan hayya’alassholah dengan kayyangalasolah, bertahanlah. Urusan azan jangan hanya dilihat semata sebagai panggilan sembahyang. Itu urusan kebutuhan vital manusia lain akan aktualisasi, bahkan urusan kehormatan.
Bila suatu kali Anda datang awal ke masjid, dan ternyata Pak Muazin tak kunjung datang sampai waktu salat agak terlewat, bolehlah Anda terpaksa azan. Tapi pesan saya, usahakan suara Anda dibikin jelek. Tajwid yang baik tetap harus dijaga sih ya, itu prinsip. Tapi simpan saja kemerduan suara. Lagukan dengan plain saja, sehingga siapa pun yang mendengar tidak akan terpikir untuk berkomentar, “Wah, ini Mas warga baru suaranya bagus banget. Diminta jadi muazin tetap saja.”
Keempat, menjadi dermawan harus, tapi jangan show off. Tentang ini, saya sendiri punya cerita. Waktu masih tinggal di Jalan Wonosari, saya ikut kurban waktu Idul Adha. Saya belilah kambing di Kotagede. Kecil saja, yang penting sah. Sialnya, sehari setelah kambing diantar, saya menyadari kaki kambing itu cacat. Lho, kurban saya nggak akan sah dong! Maka, saya balik ke pedagang kambingnya, minta tukar.
Apes, hari itu sudah mepet dengan Hari H Idul Adha. Stok kambing yang tadinya ratusan tinggal beberapa biji saja. Maka dengan wajah lemes si pedagangnya bilang, “Mas, ini adanya tinggal yang gede-gede. Monggo pilih satu, tapi mohon nanti nambahi lagi uangnya dikit, Mas. Dikit aja, nanti saya kasih potongan banyak dari harga aslinya.”
Badalah. Lha bujet saya nggak sampai segitu. Tapi apa boleh buat, toh bagaimana pun saya dapat kambing gede dengan harga murah.
Tiba di Hari H, kambing itu saya bawa ke masjid. Semua mata menatap nanar. Kambing saya melangkah anggun, gagah perkasa, memamerkan tanduknya yang melengkung panjang, dan dia menjadi kambing terbesar yang mau dipotong di kampung itu! Padahal kami masih pasangan muda, waktu itu belum punya momongan, orang baru pula, tapi berani-beraninya gegayaan dengan menyembelih kambing kurban terbesar sekampung.
Udara seketika agak gerah, suasana jadi tak enak. Beberapa bapak tampak terdiam, sambil melirik kambing mereka sendiri yang kecil-kecil. Saya pun geragapan. Dengan panik, namun dengan sewajar mungkin, saya berjuang keras menceritakan kronologi datangnya kambing herkules itu. Saya harus tampak mengeluhkan harga Si Herkules yang kemahalan, menunjukkan bahwa semua itu karena keterpaksaan belaka. Itulah langkah politis saya, demi tetap menjaga kehormatan bapak-bapak warga lama.
Kelima, jangan lupa ngisi jimpitan. Di banyak kampung, tradisi jimpitan masih berjalan. Dulu pakai sesendok beras, lalu berubah menjadi duit seratus perak. Sekarang rata-rata sudah jadi lima ratus sampai seribu perak. Jika kampung Anda masih menjalankannya, meski nilai rupiahnya tak seberapa, jangan sekali-kali meremehkannya.
Ingat, meski Anda ngisi jimpitan sore hari, orang yang meronda berkeliling kampung mengambilinya di tengah malam. Bisa jam 12, bisa juga lebih larut lagi. Dalam kondisi ngantuk, gelap, betapa menyebalkannya kalau menemukan gelas aqua di depan pintu wadah jimpitan itu ternyata kosong.
Salah-salah, sampeyan akan dicueki di pos ronda cuma gara-gara sering lupa ngisi jimpitan. Lebih parah lagi, stempel itu akan masuk dalam obrolan-obrolan.
“Itu yang barusan anaknya siapa sih? Pak Iqbal? Pak Iqbal yang nggak pernah ngisi jimpitan itu? Yang kalau nulis di Mojok mesti dirayu triliunan kali itu?”
Modyiar.