Menjadi Ahli Selfie Sempurna bersama Raisa dan Agnes Monica

raisa_agnes_monica_khotbah_mojok

raisa_agnes_monica_khotbah_mojok

Kalau ada iklan yang menarik saya di bulan Ramadan, itu adalah yang dibintangi Agnes Monica dan Raisa. Wajah segar mereka dicetak besar dan dipajang di sepanjang jalan. Cukup sebagai penghiburan di tengah kemacetan dan udara yang terik. Keduanya tidak sedang menawarkan menu takjil, tapi gajet dengan tagline yang menarik.

Pada Agnes, tagline itu berbunyi “perfect selfie”, sedangkan pada Raisa “selfie expert”. Bahwa kejeniusan smartphone telah mentransformasikan dirinya menjadi tidak sekadar sebagai alat telepon-teleponan dan kirim pesan itu sudah lumrah diketahui. Tapi bahwa selfie bisa menjadi daya tawar merupakan sesuatu yang agak mengejutkan, setidaknya bagi saya yang udik.

Dulu, kecintaan terhadap diri sendiri disembunyikan rapat-rapat. Memamerkannya dianggap tabu. Riwayat tentang Narciscus juga dituturkan kepada kita dengan bisik-bisik dan disertai pesan agar hati-hati. Sebagai anak zaman dari era ini, nenek saya, misalnya, bahkan tidak pernah mau untuk difoto. Takut. Satu-satunya orang yang berhasil memaksanya duduk di depan kamera adalah tukang foto KTP di balai desa. Kalau boleh menawar, nenek saya pasti memilih pose menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

Tapi iklan Agnes dan Raisa seolah mewartakan kepada kita bahwa era itu sudah kadaluwarsa. Di era MEA seperti sekarang ini, sebagaimana colokan, selfie sudah sah masuk dalam daftar kebutuhan hidup. Itu bagian dari positioning. Dan mereka telah berbaik hati menyiapkan fasilitas dengan sebaik-baiknya.

Les Giblin menyebut bahwa manusia punya kecenderungan sepuluh ribu kali tertarik pada dirinya sendiri ketimbang pada orang lain. Giblin mungkin berlebihan soal jumlah, tapi ia tidak berolok-olok. Ia sedang mengajarkan metode agar seorang pembicara dapat merebut perhatian audiens. Agar didengar, ia menyarankan para orator untuk berbicara tentang sesuatu yang benar-benar ingin didengar oleh audiens. Sebab, umumnya orang lain lebih memilih mendengar sesuatu yang ingin mereka dengar ketimbang yang harus mereka dengar.

Pantas saja kita tergila-gila dengan pujian dan antipati terhadap kritik. Kita juga tak segan menyangkal, membela diri, berkelit, atau mencari pembenaran sekalipun telah terbukti melakukan tindakan melanggar aturan. Kita gerah melihat orang melakukan aksi yang berlawanan dengan gagasan kita. Kita sebal terhadap orang berpegang teguh pada keyakinan yang tidak kita setujui. Kita mencap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan kita sebagai nganu.

Kalau boleh, kita ingin masuk sorga sendirian. Paling tidak dengan orang yang sepaham saja dengan kita. Kelompok nganu biar saja dipanggang di neraka.

Beberapa hal itu seperti mengafirmasi rumusan Giblin. Kecintaan kita terhadap diri sendiri ternyata begitu besar, termasuk dalam ibadah-ibadah yang seharusnya berdimensi sosial. Poster-poster yang berisi seruan berzakat atau sedekah, umpamanya, yang makin banyak bertebaran di mana-mana, mereduksi dimensi itu dan hanya memberikan penegasan pada keuntungan pribadi.

Bahwa zakat atau sedekah bakal membuat kita makin kaya, memang menggiurkan. Tapi spirit  berkorban, berbagi, dan membantu lalu menyusut semata untuk melipatgandakan pundi-pundi pribadi.

Maka, penekanan pada selfie sebagai iming-iming produk yang dijajakan dua artis cantik itu merupakan jurus marketing yang cerdas dan jitu. Janji tentang ke-expert-an atau ke-perfect-an tentu akan membuat kita makin rajin mengagumi diri, pangling terhadap penampilan sendiri, lalu sibuk mengedit dan menggunggahnya dengan harapan orang lain juga bakal menyukainya.

Kita berutang banyak kepada Agnes Monica dan Raisa. Mereka telah membantu kita merayakan hasrat berselfie. Namun sebagaimana harga produk yang ditawarkan Raisa dan Agnes Monica, kecintaan terhadap diri sendiri kadang harus kita bayar mahal.

Exit mobile version