MOJOK.CO – Tiga orang pemabuk minum di ruangan yang ada foto ulama dan kiai. Merasa tak enak mabuk di hadapan foto kiai, seorang pemabuk malah memicu keributan.
“Gus, sampeyan kalau denger cerita Slamet, Kadir, Rois kelahi kemarin malem pasti nggak habis pikir, Gus,” kata Fanshuri sambil main catur di kediaman Gus Mut.
“Siapa, Fan? Slamet? Siapa itu?” tanya Gus Mut.
“Itu lho, anak kampung belakang Kantor Kecamatan. Lagi mabuk-mabukan di rumahnya Rois, malah sampai mau bunuh-bunuhan,” kata Fanshuri.
Gus Mut kaget, jalan caturnya jadi berhenti karena mendengar kata “pembunuhan”.
“Ah, yang bener kamu, Fan. Masa iya separah itu?” tanya Gus Mut.
“Serius saya, Gus. Nggak bohong saya. Semalem saya yang ngelerai itu. Hampir saling nusuk itu pakai pecahan beling botol miras. Ramai-ramai saya pikir ada apa, ternyata berantem sampai parah,” kata Fanshuri.
Fanshuri lantas menceritakan latar belakang pertengkaran yang berakhir dengan aksi hampir saling bunuh itu.
Dimulai dari sosok Rois, kenalan Fanshuri tetangga desa, yang dikenal suka mabuk-mabukan dan doyan main judi. Nggak sekadar doyan, kadang rumah Rois dipakai tempat teman-temannya untuk jadi “Las Vegas”. Mabuk di situ, kadang judi di situ.
Reputasi buruk ini sebenarnya agak aneh mengingat rumah yang ditempati Rois ini adalah rumah warisan almarhum bapaknya yang cukup saleh. Salah satu tanda kesalehan bapaknya Rois, masih ada beberapa foto-foto ulama dan kiai yang dipajang di ruang tamu. Hal menjadi awal mula keributan ini terjadi.
Jika biasanya aksi minum-minum dan main judi Rois dilakukan di teras belakang rumah, maka khusus malam itu Rois mengajak teman-temannya masuk ke ruang tamu. Kebetulan malam itu jauh lebih dingin dari biasanya. Masalah dimulai ketika Slamet, salah satu teman Rois merasa terganggu dengan foto ulama dan kiai di ruang tamu.
Begitu Rois memberi satu sloki minuman ke “tamu”-nya itu, Slamet nyeletuk.
“Is, kayaknya aku nggak jadi minum aja deh,” kata Slamet sambil celingak-celinguk was-was seperti diawasi sesuatu.
Rois yang sudah minum beberapa sloki merasa aneh dengan kawannya itu.
“Lah, emang kenapa, Met?” tanya Rois.
“Itu lho,” kata Slamet menunjuk beberapa foto-foto ulama dan kiai di tembok ruang tamu.
Rois melihat arah telunjuk Slamet. Lalu jadi bingung. Belum mendapat penjelasan memuaskan, tiba-tiba Kadir ikut nyeletuk, “Iya, Is. Nggak enak aku. Kayaknya ini kita tunda dulu deh.”
Rois semakin tak mengerti.
“Kalian ini kenapa sih? Aneh-aneh aja,” kata Rois tetep menenggak satu sloki, lantas menyodorkan sloki ke Slamet dan Kadir.
“Serius, Is. Itu kenapa nggak diturunin aja sih foto-fotonya. Nggak enak itu ada foto habaib sama kiai-kiai. Rasanya kayak lagi maksiat dilihatin ulama gitu, Is,” kata Slamet.
“Iya, Is. Atau kita pindah aja ke luar. Jangan di dalem rumah gini,” tambah Kadir.
“Ah kalian ini aneh-aneh aja,” kata Rois.
Merasa nggak enak sudah disuguhi, Kadir pun tetep meminumnya. Slamet yang tadi takut-takut, akhirnya ikut minum. Ketiganya akhirnya malah tetep minum. Meski begitu, mulut Slamet semakin nyerocos nggak karuan.
“Kamu ngawur betulan, Is. Mabuk di hadapan kiai-kiai sama habaib. Ini kualat kuadrat namanya,” kata Slamet sambil ketawa haha-hihi karena udah mentip.
“Kamu itu juga lebay, foto ginian aja ditakutin. Lha wong ya orang-orang ini udah pada modyar kok,” kata Rois santai.
Mendengar itu, mendadak raut muka Slamet berubah. Dari yang tadinya masih ngakak ketawa-ketawa, sekarang jadi serius.
“Kamu bilang apa barusan? Bajingan kamu!” kata Slamet tiba-tiba. Emosi membuat suara Slamet bergetar hebat. Ada kegeraman yang terpendam mendengar kata “modyar” dari mulut Rois.
“Lah bangsat ini ngomong apaan sih? Emang beneran yang di foto ini udah jadi tanah semua kok,” kata Rois.
“Udah, deh, udah. Ini pada ngapain sih malah jadi ribut-ribut. Mending kita pindah belakang aja,” kata Kadir yang juga udah lumayan mabuk berat.
“Nggak bisa, Dir. Ini mulutnya Rois ini perlu diruwat ini. Ngomong sembarangan sama ulama lagi. Goblok kamu ya?” kata Slamet
“Kamu ini ngapain, Met? Ini kan cuma foto,” kata Rois.
“Ya tapi kan bukan foto orang sembarangan,” kata Slamet.
“Tetep aja itu cuma foto,” kata Rois lagi.
“Foto itu kan biar kita inget ada ulama dan kiai-kiai, biar nggak sembarangan kalau maksiat. Maksiat sih maksiat, tapi juga tahu tempat juga, tolol. Nggak gini juga caranya,” kata Slamet.
“Lagakmu soksokan alim lagi. Salat jarang-jarang aja, minum jalan terus ini sok nasehatin,” kata Rois.
Keduanya berdebat hebat sampai Slamet habis kesabaran memukul Rois. Dipukul seperti itu, Rois membalas, perkelahian terjadi. Kadir yang tadi tidak ikut-ikutan pun merasa harus membela kedua teman mabuknya itu.
“Woy, sabar, woy. Sadar. Ini kenapa jadi pada goblok semua sih?” kata Kadir mencoba melerai.
Karena sudah mabuk dan tak terkontrol, Slamet malah jadi emosi dengan omongan Kadir.
“Mulutmu sampah. Bilang aku goblok lagi,” kali ini Slamet malah memukul Kadir.
Perkelahian tiga arah pun terjadi. Dari yang awalnya kelihatan cuma sekadar keributan orang mabuk, malah jadi berantem betulan. Bahkan sampai keluar rumah. Ketiga pemabuk ini pun sama-sama bawa botol, dan sudah ada botol yang dipecahin.
Mendengar keributan yang sampai teriak-teriak itu, warga pun berhamburan keluar. Kebetulan Fanshuri memang sedang lewat daerah itu, dan ikut melerai bersama warga. Sambil—tentu saja—memanggil aparat keamanan untuk mengamankan ketiga orang yang meresahkan itu.
Fanshuri menceritakan ke Gus Mut dengan masih ketawa-ketawa. Tak masuk dalam logikanya, masih aja ada orang yang doyan maksiat tapi kadang masih inget dosa juga sekali-kali. Bahkan masih menjalankan ibadah meski cuma tipis-tipis.
“Itu orang mabuk dobel, Gus,” kata Fanshuri ke Gus Mut.
“Mabuk dobel gimana?” tanya Gus Mut.
“Mabuk miras iya, mabuk agama juga,” kata Fanshuri.
“Huss, jangan sembarangan,” kata Gus Mut.
“Lah iya dong, Gus. Udah tahu lagi maksiat, malah ngeributin perkara foto ulama lagi. Goblok banget sih,” kata Fanshuri masih terkekeh.
“Fan, orang kayak gitu itu jangan disalahin langsung begitu. Masih bagus Slamet inget dosa karena lihat foto ulama. Ketimbang orang udah maksiat mulu sampai kebal,” kata Gus Mut.
“Ya tapi justru orang-orang kayak gini ini yang ngerusak agama, Gus. Masih awam, bikin keributan atas dasar ulama lagi. Kalau emang dia cinta ulama, ya harusnya nggak njalani maksiat dong. Lah kok maksiat jalan terus, cinta ulama jalan terus,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh, sejenak mengangguk-angguk.
“Iya, argumentasimu itu ada benernya, tapi juga kamu nggak lihat sisi baiknya, Fan,” kata Gus Mut.
“Perkelahian 3 orang mabuk kok ada sisi baiknya, gimana sih, Gus?” kata Fanshuri.
“Iya dong. Kamu pikir, meski Indonesia ini mayoritas muslim semua, paling-paling ada berapa orang sih yang beneran ‘alim dan saleh? Berapa coba? Paling banter 20 persen. Sisanya? Ya orang yang nggak saleh-saleh amat. Maksiat tipis-tipis ada, yang maksiat berat juga ada. Islam tetep. Orang muslim iya. Bahkan ada yang salatnya rajin tapi maksiat juga,” kata Gus Mut.
“Lah ya banyak kalau gitu, Gus,” kata Fanshuri.
“Dari orang-orang kayak gini ini, kita jangan seenak jidat bilang mereka mabuk agama. Itu melecehkan namanya. Iya mereka orang yang masih awam, nggak ngerti. Dan yang namanya awam itu emang cenderung bikin fanatik berlebihan yang berujung keributan, makanya itu jadi tugas orang-orang kayak kamu, aku, buat ndeketin orang-orang model gini,” kata Gus Mut.
“Ndeketin? Idih, amit-amit. Malah dikira aku munafik nanti kumpul sama orang munafik yang mabuk agama. Udah bener moderat gini, kok disuruh deketin orang yang fanatik buta gitu. Ogah lah, Gus.” kata Fanshuri.
“Lah kan, sekarang malah kamu yang jadi ikutan mabuk juga,” kata Gus Mut.
Fanshuri bingung.
“Mabuk? Mabuk agama juga? Sori ya, Gus. Aku nggak segila itu juga,” kata Fanshuri.
“Bukan, bukan mabuk agama,” kata Gus Mut.
“Terus mabuk apa?” tanya Fanshuri.
“Mabuk sok paling moderat,” kata Gus Mut sambil gantian terkekeh.
*) Diolah dari cerita Gus Baha’.
BACA JUGA Menutup Aurat itu Wajib, tapi Jangan Jadi Syarat Islamnya Seseorang atau kisah GUS MUT lainnya.