MOJOK.CO – Kiai Fanshuri dapat undangan pengajian ke Surabaya. Fanshuri diminta untuk menemani naik kereta. Tak disangka mereka hampir saja ketinggalan kereta.
Tidak setiap hari Fanshuri mendapat kehormatan bisa mengantar kepergian Kiai Kholil naik kereta. Sebuah kehormatan yang pantang untuk dilewatkan tentu saja. Bisa mengantar Kiai Kholil ke stasiun saja sudah gembira, apalagi sampai diajak ikut naik kereta bareng sampai ke Surabaya.
Fanshuri dan Kiai Khollil sudah tiba di Stasiun Jogja pagi-pagi sekali. Sambil menunggu kereta yang masih lumayan lama, Fanshuri coba menawari Kiai Kholil beli kopi. Pada era itu, kondisi stasiun dan kereta api belum sebagus dan serapi zaman sekarang. Semua orang masih bisa lalu lalang keluar-masuk stasiun tanpa perlu menunjukkan tiket. Pun orang juga masih bisa merokok di mana-mana.
“Pak Kiai, gimana kalau kita ngopi-ngopi dulu di luar stasiun? Beli di sini mahal-mahal,” kata Fanshuri menawari Kiai Kholil.
Keadaan masih pagi sekali dan ajakan minum kopi sepertinya menggiurkan.
“Wah, boleh itu, Fan. Tapi jangan jauh-jauh ya? Nanti kalau kereta kita datang gimana?” tanya Kiai Kholil.
Fanshuri melirik jam.
“Oh, santai Pak Kiai, masih ada setengah jam ini kok,” kata Fanshuri tidak sabar.
Karena cukup diyakinkan, Kiai Kholil akhirnya mengiyakan ajakan Fanshuri. Keduanya lalu memilih pesan kopi di angkringan depan stasiun, sekalian menikmati gorengan dan nasi kucing. Obrolan pun jadi panjang, Fanshuri dan Kiai Kholil bercerita macam-macam.
Tak terasa mereka sudah hampir setengah jam di angkringan tersebut. Fanshuri segera disadarkan dengan pengumuman dari dalam stasiun, bahwa bakal ada kereta yang sebentar lagi berangkat.
“Wah, Pak Kiai, kayaknya itu kereta kita,” kata Fanshuri cepat-cepat sambil bayar.
Awalnya Kiai Kholil tidak ikut panik. Dipikir Kiai Kholil, ah, paling juga masih ada waktu sekitar 5 menit sebelum kereta mereka benar-benar berangkat. Masalahnya suara peliut dan suara mesin lokomotif kereta yang mau berangkat terdengar sampai luar stasiun. Terang saja Kiai Kholil dan Fanshuri jadi sama-sama panik.
“Ayo, Pak Kiai. Nanti kita ketinggalan kereta ini,” kata Fanshuri coba menyemangati Kiai Kholil.
“Duh, Fan. Aku ini udah tua. Nggak bisa cepet-cepet ini,” kata Kiai Kholil sambil berjalan cepat mencoba mengimbangi Fanshuri.
“Ayo, ayo Pak Kiai,” kata Fanshuri.
Begitu masuk stasiun kembali, benar saja, kereta sudah berjalan pelan-pelan akan berangkat. Fanshuri makin panik. Pun dengan Kiai Kholil. Sudah bayar tiket kereta mahal-mahal, sayang banget kalau sampai ketinggalan kereta.
Fanshuri pun berlari sekuat tenaga. “Pak Kiai, barang-barangnya saya bawain dulu aja. Biar barang kita bisa masuk dulu,” kata Fanshuri sambil membawa semua tas dan koper.
“Iya, Fan,” kata Kiai Kholil sambil terengah-engah memburu oksigen karena berlari di belakang Fanshuri.
Fanshuri membawa beberapa koper dan tas, lalu berlari lebih dulu meninggalkan Kiai Kholil di belakang. Makin lama kereta berjalan lebih cepat. Semakin cepat, sampai sulit untuk dikejar oleh Fanshuri sekalipun. Di tengah-tengah adrenalin yang semakin kuat, Fanshuri sampai lupa kalau di belakangnya ada kiai sepuh yang bernapas satu-satu mengikuti dirinya.
Beruntung, Fanshuri bisa mengejar gerbong terakhir kereta dan melompat masuk. Setelah menaruh barang-barang di dalam gerbong paling belakang itu, Fanshuri baru sadar kalau masih ada Kiai Kholil yang berlari di belakangnya.
“Waduh, Pak Kiai… ayo Pak Kiai, sampeyan bisa… ayo, ayo,” kata Fanshuri mengulurkan tangannya.
Fanshuri sempat berpikir kalau baiknya dia turun saja lagi. Toh, lebih baik dirinya dan Kiai Kholil yang sama-sama ketinggalan kereta ketimbang cuma Kiai Kholil yang ketinggalan kereta. Lagipula kalau sudah sampai Surabaya, Fanshuri mau ngapain? Lha wong, niat awalnya dia cuma mau nganterin Kiai Kholil.
Akan tetapi, Fanshuri juga bingung, tas dan koper sudah dia lempar ke dalam gerbong. Kalau Fanshuri turun, barang-barang itu nasibnya gimana? Sudah begitu laju kereta sudah begitu cepat. Kalau nekat terjun sekarang, bisa-bisa kaki Fanshuri yang patah.
Akhirnya, tanpa bisa berpikir lagi, Fanshuri cuma bisa teriak, “Ayo, Pak Kiai, sedikit lagi. Sedikit lagi,” sambil tangan Fanshuri mencoba menggapai tangan Kiai Kholil yang semakin sulit berlari karena urusan usia dan kelebatan sarung yang susah sekali diajak kompromi.
Sampai kemudian kereta yang dinaikin Fanshuri sudah mustahil dikejar lagi, Kiai Kholil akhirnya menyerah. Nafasnya sudah benar-benar memburu. Tidak mungkin kereta secepat itu bisa dikejar. Makin lama, kereta makin menjauh. Fanshuri cuma melongo bingung.
Kiai Kholil pun cuma bisa pasrah melihat Fanshuri makin menjauh meninggalkan stasiun. Paru-paru Kiai Kholil sepertinya mau meledak, mata pun mulai terasa berkunang-kunang. Rasanya benar-benar ingin pingsan mengejar kereta secepat itu, apalagi dengan kaki-kaki setua kaki Kiai Kholil.
Baru istirahat sejenak setelah lari marathon yang luar biasa melelahkan itu, Kiai Kholil didekati oleh seorang petugas stasiun.
“Ada apa ini, Mbah? Kok ngejar kereta kayak di film India begitu?” tanya si petugas.
“Anu, Mas. Itu tadi kereta saya. Teman saya udah naik duluan tapi saya ketinggalan,” kata Kiai Kholil terbata-bata karena masih memburu nafas.
“Memangnya simbah ini mau ke mana?” tanya si petugas.
“Mau ke Surabaya, Mas,” kata Kiai Kholil.
Mendengar itu, wajah si petugas langsung pucat pasi.
“Lho kenapa, Mas?” tanya Kiai Kholil karena melihat ekspresi wajah si petugas.
“Kereta yang mau ke Surabaya yang itu, Mbah. Belum berangkat. Masih 5 menit lagi,” kata si petugas menunjuk kereta yang berbeda.
Kiai Kholil hampir saja jantungan mendengarnya.
“Lho? Lha terus kereta yang saya kejar tadi tujuannya ke mana?” tanya Kiai Kholil.
“Ke Malang, Mbah.”
Belum selesai si petugas menjelaskan, Kiai Kholil lalu berlari menuju ujung peron dan teriak sekuat-kuatnya, “FAAAN, FAAAN, KAMU YANG SALAH NAIK KERETA, FAAAN….”
*) Diolah dari kisah KH. Muchit Muzadi dan Kang Gaffar Rahman
BACA JUGA Harus atau Tidak Harus Basa-basi Ngobrol di Kereta? atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.