MOJOK.CO – Bentuk respek terbesar kepada lawan seperti timnas Palestina itu adalah upaya saling mengalahkan dengan sekuat tenaga dan sekuat dukungan yang bisa diupayakan. Bukan malah sebaliknya.
Bunyi peliut akhir dari pengadil pertandingan ditiup malam itu. Pertandingan antara timnas Indonesia melawan timnas Palestina usai sudah. Hasil akhir pertandingan, Indonesia harus mengakui kalah 1-2 dari tamunya pada ajang Asian Games 2018 cabang olahraga sepak bola. Fanshuri uring-uringan melihat pertandingan tersebut dari televisi di rumahnya. Gus Mut yang menemaninya nonton cuma mesam-mesem saja melihat kekalahan Indonesia.
Fanshuri patut saja uring-uringan, sepanjang pertandingan sebagian suporter Indonesia di dalam stadion malah tampak seperti suporter Palestina. Bukannya memberi semangat kepada timnas sendiri, suporter Indonesia pada beberapa momen justru mendukung pemain-pemain Palestina bermain. Bagi Fanshuri ini hal yang di luar nalar sehatnya.
“Sudahlah, Fan. Nggak apa-apa kalah, masih ada peluang lolos juga kok. Lagian secara fisik dan tenaga pemain Palestina lebih bagus dari timnas kita,” kata Gus Mut sambil menyalakan rokok.
“Lho, kalah kok nggak apa-apa itu gimana sih, Gus?” protes Fanshuri.
“Ya namanya pertandingan kan ada yang menang ada yang kalah. Ya wajar saja dong,” kata Gus Mut.
“Bukan soal pertandingannya, Gus, aku merasa kecewa. Tapi sama suporter timnas kita di stadion sendiri itu tadi lho. Ini gimana sih, sudah tahu yang main timnas, malah ngedukung tim lawan. Ini gimana sih?” Fanshuri masih mbesengut.
“Ya wajar tho, Fan. Banyak orang Indonesia yang respek sama perjuangan orang Palestina meraih kemerdekaannya. Jadi dukungan itu juga dilibatkan juga di pertandingan tadi. Beberapa orang ini kan sadar nggak bisa langsung kasih dukungan ke Palestina langsung, jadi ya mereka manfaatin momen kayak begini. Mumpung bisa dilihat langsung sama orang-orang Palestina,” kata Gus Mut.
“Respek soal politik mah oke-oke saja, Gus, tapi ini sudah kelewatan. Sudah salah kaprah kalau ngedukung negara Palestina disamakan dengan ngedukung timnas Palestina, Gus,” kali ini Fanshuri tidak sependapat dengan Gus Mut.
“Ya itu kan reaksi spontan aja tho, Fan. Banyak yang simpati sama Palestina, jadi ya wajar saja,” kata Gus Mut.
“Hal begitu malah nggak wajar, Gus. Itu malah zalim namanya,” kata Fanshuri masih saja setel kenceng.
“Zalim? Ah, masa iya. Berlebihan itu, Fan, kalau kamu bilang itu zalim,” balas Gus Mut mulai kepancing.
“Ya zalim dong, Gus. Tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya itu namanya kan zalim, Gus. Apalagi coba?”
“Iya sih kalau dari sisi itu…”
“Makanya itu Gus, suporter kita malah kelewatan memasukkan dukungan politik ke ranah sepak bola sampai segitunya. FIFA aja punya aturan ngelarang itu. Apa-apaan tadi? Pemain Palestina malah terasa main di kandang, kita yang jadi tuan rumah malah berasa main tandang. Ini gimana ceritanya?”
“Tapi kan cuma di momen-momen kayak tadi saja dukungan rakyat Indonesia bisa kelihatan oleh dunia luar,” balas Gus Mut.
“Iya, kelihatan di dunia luarnya malah kelihatan memalukan, Gus,” balas Fanshuri.
“Lha kok gitu kamu ngomongnya, Fan?” balas Gus Mut mulai sedikit emosi.
“Ya iya dong, Gus. Dalam lapangan itu, respek terbesar terhadap tim yang bertanding adalah saling mengalahkan. Kalau misal Gus Mut lagi main badminton sama aku nih, terus Gus Mut sengaja aku menangin. Aku main asal-asalan, apa iya Gus Mut merasa aku respek sama Gus Mut? Yang ada justru aku malu-maluin Gus Mut lah. Sudah tahu secara kualitas aku bisa ngalahin Gus Mut dengan mudah, eh sengaja aku kalahin. Apa iya Gus Mut bisa bangga dengan kemenangan kayak gitu? Yang ada malah Gus Mut dapat malu, aku juga dapat malu,” kata Fanshuri.
“Lho tapi kan timnas kita tadi nggak sengaja buat mengalah kan, Fan? Pemain-pemain kita main mati-matian lho di lapangan. Mereka tetep ngejar kemenangan tuh,” balas Gus Mut.
“Lha makanya itu, Gus. Yang aku komentari itu suporter di stadionnya, bukan pemain-pemainnya timnas kita. Aku itu cuma kasihan sama pemain timnas kita sendiri. Sudah mati-matian bela negara, eh, malah suporternya ngedukung tim lawan juga. Padahal mereka nggak bikin salah apa-apa, sudah berjuang mati-matian malah nggak dapat respek yang dari sesama negaranya,” kata Fanshuri.
Gus Mut cuma menyeruput kopinya saja, masih mendengarkan.
“Di dalam lapangan sepak bola itu respek terbesar justru mengalahkan lawan dengan sekuat tenaga, dengan sekuat dukungan yang bisa diupayakan. Terlalu hormat kepada tim lawan itu juga nggak bagus, Gus. Nggak sehat.”
“Lagian, mainnya pemain timnas Palestina tadi juga kasar-kasar. Tapi apa mereka salah? Ya nggak lah, dalam pertandingan sudah ada rules of the game-nya. Mereka kasar, mereka dapat ganjaran yang setimpal. Sudah ada wasit yang memimpin. Nah, orang-orang di dalam lapangan ini pada bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Politik ya politik aja, dukung merdeka ya dukung merdeka saja, tapi ini sepak bola, cabang olahraga, Gus. Nggak sehat kalau demi politik antar negara, kita jadi malah terlalu respek sama timnas lawan pakai cara mengabaikan sportivitas dengan mendukung tim lawan. Kalau dari aku sih itu malah memalukan buat kita sendiri,” kata Fanshuri panjang lebar.
“Ah, masa segitunya, Fan? Nggak yakin aku. Coba deh cek aja besok, pemain-pemain Palestina pasti pada respek sama suporter kita,” kata Gus Mut masih kukuh.
“Aku nggak peduli sama reaksi mereka, Gus, aku lebih peduli sama apa yang dirasakan pemain timnas kita,” balas Fanshuri.
Kali ini Gus Mut bergeming.
“Coba Gus Mut bayangkan rasanya jadi pemain Indonesia di lapangan. Mereka bertahun-tahun berkarier jadi pemain sepak bola profesional yang masa depannya kadang belum pasti hanya demi bisa bermain pakai lambang Garuda di dada mereka. Buat ngebanggain orang-orang kayak kita ini, Gus. Tapi begitu mereka bermain untuk kita, dengan segala beban yang ada di pundak mereka, kita malah ngedukung tim lawan juga. Apa ini nggak zalim namanya? Apa kita nggak zalim sama pemain-pemain timnas kita sendiri itu namanya?” kata Fanshuri.
“Tapi, Fan…” Gus Mut ingin mendebat, tapi dia sadar. Kalau soal agama mungkin Gus Mut lebih unggul, tapi kalau soal bola, melawan orang yang pernah masuk sebagai pemain junior di klub lokal seperti Fanshuri meskipun gagal karena cedera, sepertinya bakal sia-sia belaka. Pengetahuan bola Gus Mut nggak ada seujung kukunya Fanshuri.
“Kalau aku sih benar-benar kecewa, Gus. Bagiku, kebanggaanku dari negara ini baru bisa diwakili sama cabang olahraga. Eh, cuma tinggal itu satu-satunya yang bisa aku banggain dari negara yang udah 73 tahun merdeka ini malah direbut sama niat-niat supaya kelihatan ngedukung, tapi malah salah jalur begitu,” kata Fanshuri yang kali ini gantian menyeruput kopi karena haus udah ngomong nggak berhenti-henti.
Gus Mut cuma tersenyum lalu membalas perlahan, “Iya, Fan… aku ngerti. Aku paham sama kemarahanmu itu. Memang nggak semua yang kelihatan benar itu bisa jadi baik kalau tempat dan waktunya nggak pas.”