Kalau Mati Bisa Dihadapi oleh Sains, Agama Pasti Nggak Laku Lagi

Kalau Mati Bisa Dihadapi oleh Sains, Agama Pasti Nggak Laku Lagi

Kalau Mati Bisa Dihadapi oleh Sains, Agama Pasti Nggak Laku Lagi

MOJOK.COSains sering dianggap lebih unggul daripada agama karena beberapa hal. Fanshuri agak percaya dengan kredo itu dari dulu.

“Kalau misalnya kematian bisa dihadapi oleh sains, saya kok yakin, Gus, agama-agama di dunia nggak bakal laku lagi,” kata Fanshuri sambil menata bidak caturnya.

Gus Mut agak mengenyitkan dahinya.

“Kenapa begitu, Fan?” tanya Gus Mut.

“Ya kan, agama itu laku karena ngomongin hal-hal yang belum bisa dijawab oleh sains. Misalnya soal kehidupan setelah mati, itu kan nggak ada di sains,” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

“Iya kan, Gus?” goda Fanshuri ke Gus Mut.

“Wah, nggak tahu ya aku,” kata Gus Mut.

“Heleh, Gus Mut ini. Gus Mut pasti punya pendapat sendiri soal itu. Udah deh, Gus, omongin aja kenapa,” kata Fanshuri.

“Bukan apa-apa, lah aku ini juga nggak begitu tahu sains itu apa kok,” kata Gus Mut.

“Ya intinya ilmu pengetahuan gitu lho, Gus,” kata Fanshuri.

“Hoo, itu maksudnya?” tanya Gus Mut.

“Lah iya, apalagi? Kan sains itu yang begitu-begitu. Bisa diukur, bisa diteliti, lah kalau kehidupan setelah mati itu kan sifatnya gaib. Ya mana mungkin sains bisa ke sana, lah wong pengalaman orang masing-masing,” kata Fanshuri.

“Memangnya di sains itu nggak ada ya yang bisa meneliti pengalaman orang secara personal gitu?” tanya Gus Mut.

“Ya ada lah, Gus. Psikologi, misalnya,” kata Fanshuri.

“Oh,” kata Gus Mut, terlihat kurang berminat.

Fanshuri agak sebal melihat Gus Mut tak begitu berminat.

“Dari situ kadang-kadang saya jadi ngerasa kalau agama itu agak ketinggalan sama sains lho, Gus,” kata Fanshuri memancing.

Kali ini perhatian Gus Mut beralih, dari papan catur, ke omongannya Fanshuri.

“Coba jelasin kok bisa gitu kesimpulanmu?” tanya Gus Mut tetep santai.

“Lah iya dong, sains itu bisa menemukan macam-macam. Dari bisa bikin teori matematika, teori gravitasi, teori relativitas, banyak lho,” kata Fanshuri.

“Baru teori kok dibanggain,” kata Gus Mut sambil terkekeh.

“Lho, tapi kan dari teori-teori itu bisa melahirkan macam-macam. Dari pesawat, kapal, mesin yang membantu manusia,” kata Fanshuri.

“Justru mesin paling baik bagi manusia bukan di situ, Fan,” kata Gus Mut.

Fanshuri agak terkejut Gus Mut bilang begitu, “Ma, maksudnya, Gus?”

“Mesin manusia terbaik itu di sini,” kata Gus Mut sambil menunjuk dadanya.

Jantung? Oh, iya itu memang mesin paling baik, yang bisa bikin makhluk hidup terus bisa hidup. Tapi kan itu di sains juga dijelasin,” kata Fanshuri.

“Oh, bukan, bukan jantung,” kata Gus Mut.

“Paru-paru?”

“Bukan.”

“Terus apa?” tanya Fanshuri.

“Jiwa,” kata Gus Mut.

Fanshuri agak mundur ke belakang, tidak menyangka itu jawaban Gus Mut.

“Ta, tapi kan jiwa itu…,” kata Fanshuri.

“Tidak bisa dijelaskan sama sains?” tanya Gus Mut.

“Ya bisa sih, sebenarnya, tapi…,” Fanshuri agak kebingungan sebentar.

“Justru jiwa seseorang itu mesin paling penting dalam kehidupan, Fan. Seseorang bisa saja sehat raganya. Jantungnya, paru-parunya, kakinya sehat semua, tapi kalau jiwanya rusak, ya itu semua jadi tak berarti. Sebaliknya, orang kalau paru-parunya rusak, tapi jiwanya tidak terpengaruh sama kerusakan fisiknya, ya dia masih hidup,” kata Gus Mut.

Fanshuri agak gelagepan dengan jawaban Gus Mut.

“Duh, Gus Mut ini curang. Masak sains dibandingin ngomongin jiwa, kan itu nggak nyambung,” kata Fanshuri.

“Nggak nyambung gimana?” tanya Gus Mut.

“Ya nggak nyambung dong. Masak dari ngomongin hal-hal yang ada wujud fisiknya, tiba-tiba ngomongin hal gaib kayak jiwa, itu kan lompat banget,” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

“Memangnya jiwa itu nggak ada?” tanya Gus Mut.

“Ya ada, sih, tapi itu terlalu rumit dijelasin pakai sains. Probabilitasnya banyak banget karena antar-satu individu dengan individu yang lain kesimpulannya bisa beda-beda,” kata Fanshuri.

“Nah itu,” kata Gus Mut, “artinya, sesuatu yang nggak ada wujud fisiknya itu kan bukan berarti nggak ada.”

Fanshuri cuma manggut-manggut sebentar.

“Coba aku tanya, ada berapa hal di dunia ini lebih banyak nggak ada wujud fisiknya tapi kamu merasa itu ada?” tanya Gus Mut.

“Apa ya?” Fanshuri malah bingung sendiri.

“Aku bantu deh, udara. Sebelum ada alat bantu bernama ilmu kimia, itu kan sesuatu yang nggak ada wujud fisiknya. Atmosfer, contoh lainnya…”

“Ta, tapi, Gus,” Fanshuri memotong, “udara dan atmosfer itu kan bisa dilacak keberadaannya. Pakai itung-itungan lah. Jadi bisa muncul teorinya.”

“Sebelum ada itung-itungan dan teori itu, berarti udara dan atmosfer nggak ada dong?” tanya Gus Mut.

Fanshuri mikir sejenak. “Ya mungkin orang zaman dulu nggak mikir sampai ke sana sih,” kata Gus Mut.

“Tapi orang zaman dulu tetap tahu dong cara bernapas, jadi meski tidak mengerti teorinya, mereka tetap meyakini bahwa ada sesuatu di udara yang membuat mereka bisa tetap hidup,” kata Gus Mut.

“Oke, terus?”

“Artinya, orang itu kadang-kadang mengalami dulu hal-hal di sekitarnya, baru menafsirkannya, mempelajarinya, lalu bikin-bikin teorinya. Nah, pengalaman-pengalaman inilah yang membuat manusia jadi berpengetahuan. Dari pengetahuan itu, lalu manusia bikin ilmunya. Biar orang lain tak perlu repot-repot untuk mempelajarinya karena sudah dikasih alat bantu dalam bentuk ilmu itu,” kata Gus Mut.

Fanshuri menyimak.

“Contohnya siapa, orang yang jadi rujukan sains paling terkenal?” tanya Gus Mut.

“Albert Einstein misalnya,” kata Fanshuri.

“Oke, si Einstein itu kan punya backgroud pengetahuan sebelum-sebelumnya. Lalu dari pengetahuan itu, dikombinasikan dengan ilmu-ilmu yang udah disusun orang-orang sebelumnya, kayak Isaac Newton misalnya. Dari sana kemudian melahirkan teori yang bermanfaat oleh manusia-manusia setelahnya. Lah ini kan hal yang sebenarnya lumayan mirip dengan agama, Fan,” kata Gus Mut.

“Kok bisa sama dengan agama? Ya lain dong, Gus. Agama kan ujug-ujug hadir begitu saja, tanpa ada perangkat-perangkat sebelumnya,” kata Fanshuri.

“Kamu pikir Nabi Muhammad itu menyebarkan ujug-ujug? Ya nggak dong. Kan ada ajaran-ajaran sebelumnya. Ada Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, semua itu juga merupakan puzzle pengetahuan bagi manusia. Dalam semestanya, itu keilmuan tersendiri, cuma karena standar sains itu terlalu Barat dan terlalu Latin, akhirnya hal-hal semacam itu tidak dimasukkan dalam kategori ilmu pengetahuan,” kata Gus Mut.

Fanshuri bersandar di kursinya, mencoba mencerna kata-kata Gus Mut.

“Maksud Gus Mut, bahkan agama itu termasuk sains dalam semestanya sendiri?” tanya Fanshuri.

Gus Mut terkekeh, lalu mengambil cangkir kopinya.

“Bahkan kadang sains pun diyakini kayak agama bagi pengikutnya, Fan,” kata Gus Mut sambil menyeruput kopi hangatnya.

Fanshuri tertawa.


BACA JUGA Untuk Apa Belajar Agama Pakai Akal kalau Ujung Jawabannya Balik ke Iman? atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version