Menjadi Pengamen di Hadapan Tuhan

Tuhan menganjurkan kita untuk bersedekah. Dan Dia berjanji akan membalas sedekah itu berlipat ganda. Misalnya, uang yang disedekahkan akan dibalas tujuh ratus kali lipat.

Namun, ada sebagian orang yang mengeksploitasi janji Tuhan itu untuk kepentingan tertentu. Dengan alasan yang bagus, yakni mengumpulkan dana demi umat, ada sebagian orang yang membujuk masyarakat untuk bersedekah, tapi dengan imbuhan diputar dalam bisnis, dengan janji pasti akan mendapat keuntungan berlipat ganda, sebab Tuhan sudah berjanji ini dan itu. Itu artinya dia “menggunakan Tuhan” sebagai jaminan atas keuntungan materi dunia. Ia membatasi sendiri rahmat Tuhan hanya pada soal urusan materi saja.

Tak ada larangan bersedekah dengan pengharapan imbalan materi di dunia, tapi cara beramal semacam ini kemungkinan justru menjauhkan seseorang dari tujuan amal itu dan bisa jadi niat yang tidak tepat malah menimbulkan masalah dan mengotori hati. Apalagi jika orang itu cenderung pemalas. Iming-iming “keajaiban” sedekah akan menjadi semacam “click-bait” untuk mengaktifkan potensi kemalasannya.

Persoalan ruhani semacam ini muncul karena orang lupa pada Tuhannya. Kanjeng Nabi pernah mengatakan bahwa “fitnah di antara umatku adalah harta.” Orang sibuk mencari uang dengan sedikit mengingat Tuhan, sehingga tanpa disadari timbul klaim dalam hati bahwa harta yang diperoleh itu sepenuhnya adalah atas hasil usaha sendiri dan karenanya menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri. Ini adalah awal dari timbulnya kemelekatan pada dunia, yang melahirkan sikap tamak dan bakhil.

Orang yang pernah belajar agama tahu bahwa tamak dan bakhil itu tidak diperbolehkan, dan mereka berusaha meredam nafsu itu dengan zakat dan bersedekah. Sayangnya, karena lupa pada Tuhan, hawa-nafsu yang cerdik bisa mengeksploitasi amal ibadah demi dirinya sendiri. Nafsu tamak dan bakhil memanfaatkan sedekah untuk memuaskan hasratnya.

Maka, orang yang lalai akan lebih dahulu memandang janji Allah ketimbang perintah-Nya. Mereka secara lahir mengatakan ikhlas, tapi diam-diam berharap banyak pada keuntungan yang besar dari harta yang disedekahkannya. Sedekah justru menjadi alat untuk merawat kerakusan akan harta. Sedekah menjadi modus agar Tuhan menuruti keinginan nafsunya, bukan demi niat mensucikan harta yang diamanatkan kepadanya.

Akan tetapi, di hadapan Tuhan Yang Maha Melihat, bisakah kita menyembunyikan hasrat tamak ini dengan bungkus ibadah lahiriah?

Ketika harapan balasan ratusan kali lipat tidak juga terwujud dengan cepat, ia terus rewel dengan menyebut-nyebut amal sedekahnya, setidaknya dalam hati, untuk menagih janji Tuhan. Ia menjadi lupa pada tujuan sedekah, dan rasa syukurnya surut. Secara tersirat ia tak percaya penuh kepada janji-Nya sehingga batinnya cerewet menuntut. Padahal, Tuhan memperingatkan dalam firman-Nya, “janganlah kamu menghilangkan pahala sedekah dengan menyebut-nyebutnya ….” Jika sedekahnya telah ia batalkan sendiri demi nafsu tamaknya dengan menyebut-nyebutnya dalam hati di hadapan Tuhan, bagaimana bisa janji itu akan dipenuhi?

Salah satu cara penting yang diajarkan untuk menghindari “jebakan betmen” dalam amal sedekah adalah dengan berlatih terus-menerus mengingat Tuhan saat beramal sedekah. Allah telah memberi kita amanah atau kepercayaan berupa harta yang lebih banyak untuk membagikannya kepada orang lain yang membutuhkan. Bersedekah adalah mensyukuri nikmat amanah itu. Allah tentu tidak butuh “suap” dari kita–tetapi kitalah yang membutuhkan-Nya. Maka perintah bersedekah adalah bentuk kasih sayang-Nya supaya kita berlatih memahami dua kalimat penting agar kita sampai (wushul) kepada-Nya: la haula wala quwwata illa billahi dan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Yakni merealisasikan kesadaran sepenuhnya bahwa kita kaya bukan karena usaha kita semata, tetapi juga karena Allah memberi kita kemampuan untuk berusaha memperoleh rezeki lebih banyak; bahwa kita bisa hidup karena semata-mata dihidupkan dan diberi rezeki oleh Allah. Dan bahwa itu semua akan diambil kembali oleh-Nya.

Di sinilah intinya: Bersedekah adalah proses mujahadah untuk melepaskan hal-hal yang bukan milik kita secara sukarela. Ikhlas tidak datang dengan sendirinya, sebab ikhlas mesti terus dilatih dan diberdayakan. Karenanya, orang mungkin pada awalnya bersedekah dengan berharap imbalan dari Allah; tetapi jika ia terus berusaha istiqamah mengingat-Nya, maka bi idznillah, orang akan sampai pada kondisi di mana berbagi, bersedekah, atau membantu orang lain adalah bentuk amal yang membebaskannya dari keterikatan hati pada dunia.

Dalam kondisi ini orang semacam itu telah menjadi “sedekah tersendiri” dan dicintai oleh Rasulullah. Allah berfirman: “Jenguklah Aku dalam diri orang-orang yang sakit, menderita, membutuhkan, dan kelaparan.”

Karena itu, seorang ulama sufi, Abu Sa’id ibn Abi Khair mengatakan, salah satu jalan paling dekat menuju Tuhan adalah dengan melayani dan membantu sesama manusia dengan penuh kasih sayang. Ini adalah juga jalan meneladani Rasulullah yang oleh Tuhan dipuji sebagai orang yang “yang sangat menginginkan kebaikan atas kamu, (dan) sangat penuh perasaan belas serta kasih sayang kepada orang-orang yang beriman.”

Dalam pengertian ini, bersedekah pada hakikatnya adalah membersihkan diri dari egoisme yang berbentuk cinta harta dunia agar layak untuk bertandang ke hadirat Allah dan Rasul-Nya, sehingga pengakuannya secara lahir dan batin bahwa diri membutuhkan Allah adalah pengakuan yang sah karena ucapan dan perbuatan lahir-batinnya selaras.

Dalam ajaran agama dikatakan bahwa Tuhan melihat pada hati hambaNya. Jika dalam bersedekah hati seseorang dipenuhi nafsu meraup keuntungan duniawi, bukankah secara tersirat ia menggunakan amal ibadahnya sebagai selubung dari penghambaannya kepada dunia? Tidak heran jika Rasul pernah mengatakan betapa banyak amal akhirat yang menjadi amal dunia, vice versa.

Barangkali ada baiknya kita mulai merenung dan memilih. Lebih bagus mana: menjadi seperti tamu yang penuh adab dan diterima dengan baik dan diperkenankan tinggal di sisi-Nya, atau menjadi seperti seorang pengamen yang diberi imbalan ala kadarnya lalu di suruh pergi dari hadapan-Nya?

Wa Allahu a’lam bi muradihi.

Exit mobile version