Benarkah Anak Perempuan Pakai Jilbab itu Selalu karena Paksaan Orang tuanya?

MOJOK.COMas Is merasa anak perempuan tidak seharusnya perlu dipakaikan jilbab oleh orang tuanya. Itu bisa berujung pada pemaksaan terhadap anak.

Perdebatan Mas Is dengan Fanshuri terdengar cukup alot di depan serambi masjid. Matahari sudah tergelincir cukup lama dari ubun-ubun, tapi panasnya masih kalah dengan kengototan Mas Is dan Fanshuri.

“Tidak bisa begitu, Mas. Ini namanya pendidikan agama buat anak,” kata Fanshuri.

“Iya, pendidikan itu kan kalau si anak menerima dengan ikhlas gitu aja. Tapi yang begituan namanya tetap pemaksaan, Fan,” kata Mas Is.

Gus Mut baru keluar usai mengimami jamaah salat duhur di masjid. Begitu menuruni tangga pendek teras masjid langsung terlihat perdebatan antara Mas Is dengan Fanshuri. Sambil mengenakan terompahnya, Gus Mut bertanya.

“Ada ini, Mas Is? Kok ribut-ribut di depan masjid?”

“Ini lho, Fanshuri, Gus,” kata Mas Is.

Gus Mut mendekat. Langsung menoleh ke arah Fanshuri.

“Lah kok jadi saya? Ini semua yang memulai kan Mas Is,” kata Fanshuri.

“Gini lho, Gus,” kata Mas Is langsung mengambil alih pembicaraan, “Fanshuri ini kan punya keponakan perempuan baru umur lima tahun. Diajak ke mana-mana kok udah dipakaikan jilbab. Kan nggak baik, anak itu ya masanya main-main. Jangan kasih tekanan dulu lah sama anak-anak, bebaskan dulu.”

Gus Mut cuma manggut-manggut mendengar kesimpulan Mas Is. Belum sempat Gus Mut komentar, Fanshuri sudah langsung menyemprot Mas Is lagi.

“Loh, sampean ini gimana, Mas? Namanya anak kecil itu ya terserah orang tuanya mau dibentuk kayak gimana. Dipakaikan jilbab dari usia begitu kan supaya nanti terbiasa. Agar nanti kalau udah masuk akil balig nggak ujug-ujug disuruh pakai jilbab, tapi bisa pakai sendiri karena sudah jadi kebiasaan. Nggak kaget gitu,” kata Fanshuri.

“Ya itu kan sama aja memaksa, Fan. Kalau di dalam lingkungan ini boleh lah begitu, tapi kalau dia keluar kampung sini gimana? Ketemu sama teman-temannya yang nggak pakai jilbab, lalu merasa aneh sendiri? Kan kasihan,” kata Mas Is.

Fanshuri melirik ke Gus Mut, berharap Gus Mut membantunya mendebat Mas Is. Tapi guru ngajinya itu tetap bergeming, belum mau komentar apa-apa.

“Sebentar, kok sampean jadi aneh gini, Mas? Itu kan hak keluarganya? Lagian anak kecil itu belum punya kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Bisa bahaya kalau nggak dibimbing dong, Mas. Mas Is gimana sih?” kata Fanshuri sudah mau kesal.

“Waduh, itu namanya kamu meremehkan seorang anak kecil, Fan. Nggak baik itu. Seolah anak kecil nggak punya hak menentukan kehidupannya. Kebiasaan pakai jilbab kayak gitu memang bagus niatnya, mengenalkan nutup aurat ke anak-anak, tapi nggak baik. Biarkan aja sih seorang anak punya pilihan, Fan,” kata Mas Is.

“Lalu maksud Mas Is, si anak ini dikasih tahu hadis-hadis soal pakai jilbab gitu? Diajak dialog soal firman-firman kewajiban nutup aurat gitu? Ya mereka belum sampai ke level itu dong, Mas Is. Sampean ini kok udah aneh banget cara mikirnya,” kata Fanshuri.

“Siapa yang aneh? Aku ini ngasih tahu sebagai temen yang baik. Kasihan keponakanmu itu, Fan. Dari kecil udah nggak dikasih kebebasan,” kata Mas Is.

“Kalau anak kecil dikasih kebebasan boleh main-main di luar rumah sampai malam itu gimana, Mas?” tanya Gus Mut tiba-tiba.

Mas Is agak terkejut karena tiba-tiba Gus Mut bertanya.

“Ya kalau itu sih, buat keselamatan si anak sebaiknya jangan…” tanya Mas Is.

“Nah kan? Sampean ini sama sekali nggak konsisten. Ngawur, Mas Is. Anak itu butuh kontrol dari orang yang lebih tua. Kalau dibebasin di segala hal ya bisa bahaya dong, gimana sih, Mas Is ini. Pesoalan jilbab buat anak kok dimasalahin. Goblok kok ya dipelihara,” kata Fanshuri

“Heh? Enak aja kamu biang aku goblok. Aku ini ngasih tahu kamu biar kamu itu paham soal hak asasi anak. Kamu sih nggak pernah baca-baca buku. Anak itu juga harus punya pilihan, Fan. Jangan diatur begitu,” kata Mas Is.

Fanshuri mulai kesal sampai ujung ubun-ubun.

“Sampean itu sama aja sedang menghina cara orang mendidik agama ke anaknya, Mas Is. Jadi kaum munafik sampean kalau gitu caranya,” kata Fanshuri marah.

“Eh, anak aja kamu bilang aku munafik. Kamu itu yang beragama nggak mau pakai akal. Makanya jangan jadi katak dalam tempurung. Tahunya cuma itu-itu doang,” kata Mas Is balik marah.

Gus Mut yang mendengar mereka cuma tersenyum.

“Gus, panjenengan ini gimana? Mas Is ngomong ngawur begini kok diam aja?” Fanshuri balik marah ke Gus Mut.

Gus Mut malah terkekeh mendengarnya.

“Ya kamu itu juga lucu, Fan. Begini aja pakai acara marah-marah segala,” kata Gus Mut.

“Iya itu, Gus. Sembarangan bilang orang lain munafik lagi,” kata Mas Is.

“Tapi sampean emang kaum munafik kalau model mikirnya kayak gitu,” sengak Fanshuri.

“Sudah, sudah. Mas Is, sampean nggak usah terlalu serius pula,” kata Gus Mut.

“Lho? Jadi Gus Mut mendukung pendapatnya Mas Is?” tanya Fanshuri.

“Siapa yang mendukung Mas Is?” tanya Gus Mut.

“Lah itu, panjenengan nggak membantah sama sekali pernyataan Mas Is,” kata Fanshuri.

“Aku itu cuma mau denger secara keseluruhan dulu, baru mau komentar. Kalau belum utuh takutnya nanti aku salah,” kata Gus Mut.

“Jadi?” kejar Fanshuri.

“Ya kalian semua itu punya niat yang baik. Yang satu pengin mengenalkan sekaligus membiasakan jilbab ke anak anak-anak, yang satu pengin hak-hak anak juga jangan diabaikan. Bagus semua itu,” kata Gus Mut.

“Lah kalau niatnya sama-sama baik, terus yang salah apanya, Gus?” tanya Mas Is kali ini.

“Caranya.”

“Maksudnya?” tanya Mas Is dan Fanshuri berbarengan.

“Ya caranya. Fanshuri yang ngotot terus merasa terhina agamanya lalu jadi merasa berhak kasih label munafik ke orang, dan Mas Is yang kurang pas menempatkan hak anak pada porsinya. Jangan lupa Mas, bahwa mengajarkan agama ke anak sendiri itu juga merupakan hak seseorang. Kecuali kalau cara pengajarannya itu menggunakan kekerasan. Kalau sampai dewasa si anak berubah pikiran lalu nggak mau pakai jilbab, terus orang tua melakukan paksaan sampai kekerasan, nah pendapat soal hak seorang anak itu baru jadi relevan, Mas, ” kata Gus Mut.

Mendengar itu, Mas Is merasa kurang sependapat. Tapi baru mau membantah Gus Mut tiba-tiba dari arah belakang muncul Khairul, putra Mas Is, yang baru pulang dari sekolah. Sambil membawa keranjang yang berisi jajanan pasar.

“Pak, ini jualan Khairul di sekolah sisa segini. Lumayan bagus tadi jualannya,” kata Khairul langsung menyalami Mas Is, bapaknya, dan menyetorkan hasil jualan di sekolah.

“Wah, bagus. Besok nggak usah bawa banyak-banyak kalau gitu. Biar nggak sisa banyak-banyak,” kata Mas Is.

Khairul pun salaman ke Gus Mut dan Fanshuri.

“Yah, gini ini namanya mengajari anak biar bisa mandiri. Saya ajarin jualan sejak dini. Biar Khairul nggak kaget kalau besok gede saya suruh nerusin bisnis keluarga,” kata Mas Is bangga.

Gus Mut dan Fanshuri cuma melongo bingung. Melihat kedua orang di hadapannya bingung, Mas Is jadi heran.

“Kalian ini kenapa? Kok kayak kaget gitu?”

BACA JUGA Indonesia, Surganya Bakul Hijab dan tulisan kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version