Agama Jangan Dicampuri Politik, Padahal Beragama itu Sikap Politis

MOJOK.CO – Ah, kata siapa agama itu harus selalu apolitis dan bebas kepentingan? Justru langkah-langkah politis itu sering berguna untuk kelangsungan hidup suatu agama.

Tidak biasanya Gus Mut gundah sampai harus merasa perlu untuk mendatangi abahnya, Kiai Kholil, untuk mencari nasihat. Kegelisahan Gus Mut ini bermula saat beberapa hari ini rumahnya sering didatangi oleh orang-orang partai.

Pada mulanya Gus Mut menduga orang-orang ini cuma mau minta nasihat atau permintaan mengisi ceramah, tapi setelah sering main ke rumah, ternyata mereka menginginkan Gus Mut maju sebagai wakil dari salah seorang calon bupati yang ingin mencalonkan diri beberapa tahun lagi.

Nama Gus Mut memang sedang moncer-moncernya belakangan ini. Sering ngisi pengajian di mana-mana dan namanya dikenal luas. Beberapa jamaahnya pun dikenal militan meski hanya untuk wilayah kabupaten. Bagi orang-orang partai ini, Gus Mut sudah punya kecakapan untuk memimpin dan sudah saatnya untuk tampil.

Tawaran dari orang-orang ini memang menggiurkan, meski Gus Mut sendiri sangsi apakah dirinya mampu. Untuk itulah Gus Mut merasa perlu membicarakan lebih dulu dengan abahnya.

“Jadi baiknya saya gimana, Bah?” tanya Gus Mut kepada abahnya.

Tentu saja ada rasa bangga dari Kiai Kholil ketika mendengar cerita dari Gus Mut. Siapa abah yang tidak bangga ketika tahu putra kebanggaannya “dilamar” orang untuk jadi pemimpin meski cuma jadi wakil?

“Kalau Abah sih setuju saja, Mut, kalau kamu merasa mampu dan mau,” kata Kiai Kholil mengejutkan Gus Mut.

Gus Mut sampai hilang kata mendengar jawaban Kiai Kholil. Sebab, yang terpikirkan oleh Gus Mut, jawaban abahnya pasti akan menolak habis-habisan. Bahwa politik itu kotor, hanya ada kepentingan sesaat di sana, dan tentu saja kekhawatiran bahwa putranya cuma dimanfaatkan untuk mendulang suara.

“Apa Abah ndak khawatir kalau aku ini cuma dimanfaatkan saja?” tanya Gus Mut hati-hati.

Kiai Kholil diam sejenak.

“Tentu saja Abah khawatir. Apalagi kamu juga belum punya pengalaman. Tapi ada benarnya kalau dakwah bil quwwah lebih punya pengaruh daripada dakwah bil lisan,” kata Kiai Kholil.

“Ta, tapi, Bah.” Gus Mut hilang kata-kata.

“Hanya saja jika memang kamu merasa mampu dan mau,” kata Kiai Kholil.

Gus Mut semakin bingung. Padahal maksud kedatangannya kali ini adalah untuk minta penguat atas alasannya untuk menolak permintaan orang-orang partai itu. Meski ada juga pemikiran bahwa dengan maju sebagai pemimpin, akses untuk berdakwah semakin luas, tapi Gus Mut merasa ragu karena khawatir pemahaman agamanya jadi terkungkung pada kepentingan politis. Jawaban Abahnya justru semakin membuat Gus Mut ragu.

“Bukannya kalau aku maju, nanti malah dikira aku ini mempolitisasi agama ya, Bah?” tanya Gus Mut.

“Kok mempolitisasi agama? Maksudnya gimana itu?” tanya Kiai Kholil.

Belum juga Gus Mut menjawab pertanyaan itu, Kiai Kholil melanjutkan kalimatnya, “Jangan salah, Mut. Agama itu sendiri sudah politis. Pilihanmu untuk beragama itu sebenarnya sudah pilihan politik. Ya, meskipun ndak sama seperti politik-politiknya partai juga, tapi ada unsur-unsur politis juga di sana.”

Gus Mut semakin heran. “Lha kok bisa, Bah? Bukannya beragama itu justru harusnya murni, bebas kepentingan?”

“Ah, bebas kepentingan apa,” kata Kiai Kholil.

“Lha iya kan, Bah? Kalau kita lagi melaksanakan salat atau ceramah kan harus ikhlas, harus lillahita’ala tho, Bah?”

“Iya memang, tapi itu kan urusannya bukan di bentuknya. Lillahita’ala itu nggak ada bentuknya, Mut. Masing-masing orang beda-beda soal lillahita’ala. Itu soal keimanan. Iman dan agama itu beda. Agama itu syariat komunal. Bareng-bareng, bermasyarakat, habluminannas. Nah, apapun yang habluminnas itu sudah pasti politis. Kalau habluminallah, nah itu baru bisa apolitis. Baru bisa dikatakan murni.”

“Aduh, gimana sih, Bah, aku kok jadi makin bingung?”

“Gampangnya gini, Mus. Agama itu mensyariatkan kalau puasa itu batalnya karena makan, minum, atau berhadas besar. Tapi ada tuntunan juga kalau puasa itu hakikatnya mengendalikan hawa nafsu. Biasanya gampang marah, kalau puasa baiknya jadi nggak usah suka marah-marah. Tapi apa iya kalau orang marah-marah itu jadi batal puasanya?”

“Ya nggak sih, Bah.”

“Lha itu. Orang marah itu tidak membatalkan puasa, karena pada dasarnya syarat sah dan rukunnya puasa tidak ada soal itu. Ulama bilang itu mengurangi pahala saja, tapi bukan berarti puasanya jadi tidak sah atau batal. Ya tetep sah. Nah, syariat soal puasa itu letaknya di agama, spesifiknya di fikih, sedangkan hal-hal yang jadi tujuan dari dilaksanakannya puasa itu, seperti misal agar jadi hamba yang dekat dengan Allah, itu letaknya di sini,” kata Kiai Kholil menunjuk dadanya, “di hati. Di iman.”

Kiai Kholil lalu melanjutkan, “Persoalan seorang ulama maju sebagai umara atau pemimpin itu memang bisa saja dianggap sebagai bagian dari politisasi agama, tapi jangan kemudian dianggap bahwa politisasi agama itu selalu buruk. Nggak selalu, Mut. Sebab kalau tanpa ada kepentingan politis, keberadaan agama bakalan tergerus sama kepentingan lain.”

Gus Mut semakin bingung. Bukan bingung dengan “khotbah” abahnya malam itu, melainkan karena pemahaman bahwa politisasi agama itu selalu buruk benar-benar hancur lebur di hadapan abahnya.

“Tapi ya itu, Mut. Karena persoalan ini tidak hanya mengenai agama, tapi juga soal hubunganmu sama Allah, cuma kamu sendiri yang bisa menakarnya, apakah dirimu merasa mampu atau tidak tetap menjaga keimananmu. Kalau sampai kamu mengecewakan orang yang memilihmu, apalagi sampai korupsi—semoga nggak akan terjadi—berarti bukan agamamu yang salah, tapi keimananmu itu yang bermasalah,” kata Kiai Kholil.

“Lha kok bisa, Bah?”

“Ya iya dong, ngaku orang beriman kok bisa nggak yakin kalau pas maling duit rakyat Allah tahu,” kata Kiai Kholil.

Gus Mut tertawa mendengarnya, tapi meski mendapat banyak nasihat dari abahnya, Gus Mut tetap kukuh dengan pilihan awalnya.

“Jadi gimana, Mut, apa pilihanmu?” tanya Kiai Kholil.

“Sepertinya aku nggak mampu, Bah,” kata Gus Mut.

Tiba-tiba Kiai Kholil gantian yang tertawa keras. Gus Mut bingung apa yang ditertawakan oleh abahnya.

“Lho, kok Abah tertawa? Memang ada yang lucu?” tanya Gus Mut.

“Ah, nggak. Baru dua hari kemarin calon bupati yang bakal jadi lawan dari yang melamarmu itu datang ke sini,” kata Kiai Kholil.

Gus Mut hampir saja kena serangan jantung mendengarnya. Perasaannya tidak enak.

“Abah dilamar juga untuk maju?” tanya Gus Mut serius.

“Begitulah,” kata Kiai Kholil sok-sokan berteka-teki.

“Lalu apa jawaban Abah?”

Kiai Kholil cuma tersenyum penuh arti ke anaknya. Gus Mut tidak berani menebak apa jawaban abahnya, meski rasa khawatir dan takut yang lebih besar kini semakin muncul.

“Sama kayak kamu kok, Mut. Abah juga takut.”

Sesaat kemudian bapak-anak ini baru bisa saling menertawakan kepengecutan mereka masing-masing.

Exit mobile version