Ketika Ema Minggat dari Rumah, Kita Berdebat Siapa yang Harus Angkat Galon

Ema-Minggat-Mirip-Raisa-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Jangan terjebak pada diskusi feminisme yang begitu-begitu saja.”

Menikmati hari-hari akhir tahun di rumah, saya sempat mampir krimbat di salon langganan di kampung halaman. Bukan ritual krimbat atau produk kecantikan yang akan saya ulas, sebab hasilnya akan sama anehnya dengan perempuan berjilbab yang beriklan sampo. Ini adalah kisah banyak perempuan yang akan diwakili oleh salah seorang mantan kapster salon itu, sebut saja Ema.

Sejak lulus SMP, Ema bekerja di salon yang letaknya di tengah kota saya. Rumah Ema ada di desa yang jaraknya hampir 40 kilometer dari pusat kota. Gaji menjadi kapster tidak cukup buat ngekos sehingga Ema ditampung cicik pemilik salon di sebuah ruang belakang pada bangunan rumah utama. Untuk itu, Ema tidak membayar biaya tinggal, tapi sebagai balas jasa, ia rutin bantu-bantu membereskan rumah.

Seorang Ema adalah jejak nyata perubahan ruang hidup dan sosioekologis lingkungan dari agraris ke industrial. Pergeseran kepemilikan tanah beserta alih fungsinya telah mempersempit lapangan pekerjaan di desa. Ketika areal persawahan dan ladang dijual kepada pemodal untuk di atasnya didirikan perumahan, lelaki sebagai kepala keluarga kemudian bermigrasi ke kota untuk bekerja sebagai buruh. Itu yang terjadi pada bapak Ema.

Bapak Ema migrasi, pindah bekerja ke kota. Masalahnya, di kota ia menikah lagi. Hilangnya peran pencari nafkah utama ini lalu digantikan oleh ibunya. Ini kemudian membuat Ema berhenti bersekolah karena harus menggantikan peran ibu di dalam rumah.

Menurut penelitian Lies Marcoes, ketika suatu daerah mengalami perubahan ruang hidup yang berpengaruh kepada perubahan-perubahan relasi gender di dalam keluarga, dapat dipastikan di daerah itu terdapat kecenderungan kawin anak yang tinggi.

Indonesia berada di tingkat ketujuh dunia dan peringkat dua di Asia Tenggara setelah Kamboja dalam hal pernikahan anak. Dua per tiga dari pernikahan anak itu berujung kepada perceraian. Sebabnya? Bermacam-macam. Yang paling umum adalah kondisi psikologis anak yang belum siap menjalin hubungan suami istri sehingga marak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, yang secara umum menempatkan perempuan sebagai korban. Selain itu, pendapat bahwa mengawinkan anak perempuan cepat-cepat untuk meringankan beban ekonomi sesungguhnya salah kaprah. Kehamilan dini yang berdampak pada gangguan kesehatan reproduksi dan kehadiran anak tanpa perencanaan finansial ternyata justru jadi beban baru secara ekonomi.

Tetapi, hal itu tidak terjadi pada Ema. Ema memilih kabur dari rumah dan bekerja di salon, yang sayangnya juga tidak bertahan lama. Pada kunjungan saya sebelumnya, Ema berpamitan. Ia bilang sudah bosan jadi kapster, kerjanya capek dan pendapatannya tak seberapa.

Tergadainya tanah pedesaan kepada pemilik modal memang menempatkan perempuan dalam posisi lebih rentan. Di masa lalu, perempuan desa memiliki kecakapan untuk bergaul dengan alam sehingga tetap bisa memainkan sektor produksi. Tetapi tanpa tanah, laki-laki lebih terbekali dengan pendidikan dan keterampilan untuk bertahan di sektor produksi perkotaan dibanding perempuan.

Saya kemudian bertemu Ema lagi, kali ini dalam bentuknya yang begitu lain. Ia telah pandai berdandan. Alisnya dibentuk, gincunya mengilap, polesan kosmetik wajahnya tebal. Cara berpakaian dan bahasa tubuhnya sudah lebih percaya diri.

Ia bilang ia ikut bibinya yang bekerja di sebuah orkes dangdut di Pantura. Ya, Ema kini jadi penyanyi.

Saya teringat kisah tokoh utama pada novel Telembuk karya Kedung Darma Romansha. Perasaan khawatir Ema kelak bergoyang terlalu seru lalu ia jadi primadona dangdut pantura yang sekaligus bisa disewa oleh laki-laki hidung belang yang terkadang memperlakukannya dengan romantis tapi ia juga akan sering bertemu dengan laki-laki yang menganggap tubuhnya bagaikan kiriman paket tahan banting yang bebas dipukul dan dilempar-lempar seenaknya. Bagaimana kalau ia tertular penyakit menular seksual? Bagaimana kalau ia hamil tapi tidak ada yang mau bertanggung jawab? Bagaimana jika ia melakukan aborsi nonmedis yang berujung pada cacat organ reproduksi bahkan kematian?

Buru-buru saya tepis pikiran buruk itu.

Beberapa tahun terakhir, gerakan perempuan yang memperjuangkan lahan makin mendominasi. Suara-suara itu datang dari ibu-ibu Kendeng hingga Kulon Progo. Perempuan-perempuan tangguh yang sering kali diremehkan karena dianggap sia-sia mempertahankan tanah yang tak seberapa itu, sudah tentu punya pemikiran jauh ke masa-masa mendatang: mereka tak mau melahirkan narasi seperti Ema lebih banyak lagi.

Cerita Ema adalah tarik-menarik problem kemiskinan struktural dan diskursus keperempuanan. Persoalan Ema tidak bisa menjadi subjek dalam perdebatan jilbab dan konteks kemuliaan perempuan. Daya tahan Ema dalam menjalani hidup tidak cocok dengan indikator kemuliaan berdasar simbol seperti itu. Ema adalah realitas, yang tidak bisa pula diwakili dengan perdebatan lebih baik nikah dini tapi halal daripada berzina. Toh, baru-baru ini, seorang pemuda hafiz Quran yang menikah buru-buru pun terbukti tidak memiliki kecakapan psikologis yang baik dan berujung kepada perceraian.

Sementara memikirkan nasib pelik Ema, seseorang bercuit di lini masa twitter, “Kalau feminis, jangan minta jatah duduk di kereta.” Atau, “Ngaku feminis, tapi angkat galon masih minta bantuan laki-laki.” Yaelah, Boy, cuitanmu itu memang menyimbolkan tipe laki-laki yang enggan berbagi peran dengan perempuan. Atau jika kau bagi peranmu dengan perempuan, ego dan pamrihmu lebih besar dibanding kerjamu.

Dan yang lebih sedih adalah cuitan semacam, “Tidak ada yang lebih galak dari feminis PMS dan jarang ngewe.” Mereka lalu protes mengapa baru akhir-akhir ini feminisme ramai diteriak-teriakkan dan mengusik maskulinitas mereka yang sebetulnya rapuh itu.

Jadi begini, Boy, abad sebelum Hijriyah itu, negara Arab juga negara jahiliyah yang suka membunuhi perempuan atau menguburnya hidup-hidup. Baru setelah Islam datang bersama Nabi Muhammad yang mulia, laki-laki diminta belajar menghargai hak hidup dan hormat sama perempuan. Demikian pula generasi kita. Kalau dulu perempuan digoda di jalan itu dianggap wajar, ya kita pelan-pelan hilangkan tradisi itu.

Ingat lho, Yuyun, gadis Bengkulu usia 14 tahun yang diperkosa 14 anak laki-laki kemudian dibunuh pada 2016 lalu itu, awalnya juga dari tradisi siul-siul dan merasa boleh gangguin perempuan yang jalan sendirian. Kalau dulu perempuan dianggap wajar nggak disekolahkan karena ujungnya toh dinikahkan cepat-cepat, ya kita tepis anggapan itu karena perempuan juga boleh pintar. Kalau dulu perempuan dianggap makhluk lembut yang nggak boleh melawan seperti feminis-feminis yang bikin kau kegerahan itu, ya ternyata perempuan yang jadi korban kekerasan itu sakit dan lama-lama mereka pasti melawan juga.

Belajar memang sulit dan nggak semua bisa paham, tapi seenggaknya, jangan pura-pura tuli dan sengaja menutup mata.

Exit mobile version