Seminggu lalu, saya menerima kiriman paket dari Bapak. Ini paket pertama yang saya terima dari rumah yang tidak dipersiapkan dan dibungkus oleh Ibu. Isinya juga kebetulan sangat khas, setoples belalang goreng. Makanan kesukaan almarhumah Ibu dan saya.
Ibu saya bukan kategori pintar memasak. Saya tahu persis itu. Ada beberapa ibu teman saya yang jauh lebih jago memasak dibanding Ibu. Tapi hanya Ibu yang bisa memasakkan masakan yang saya suka, dengan resep yang sangat sederhana, yang entah kenapa jika dicoba dimasakkan oleh orang lain, rasanya berbeda. Kalau saya sedang pulang ke rumah, sekalipun misalnya yang memasak makanan adalah Yu Sumi, perempuan yang jadi rewang di rumah kami, Ibu selalu memberi sentuhan. Satu sentuhannya, mengubah segalanya.
Jika sedang berada di Yogya, dan biasanya agak lama, Ibu selalu memasak. Tentu saja memasak untuk saya. Semua menu sederhana. Saya terbiasa bekerja dari dinihari sampai pagi, dan setelah salat Subuh, Ibu menghampiri saya, daam bahasa Jawa dia bertanya apakah saya mau dimasakkan nasi goreng? Saya selalu mengiyakan. Resep nasi goreng Ibu sederhana saja, bawang merah, bawang putih, cabe, garam. Sudah. Tidak pakai kecap. Rasanya, naudzubillah. Atau dia akan menggoreng tempe dan membuat sambal. Resep sambalnya juga sangat sederhana, cabe merah dan bawang merah digongso sebentar. Dikasih terasi bakar. Diulek. Dikasih garam secukupnya. Diiulek lagi. Selesai. Hanya ada satu menu yang biasa dimasakkan Ibu yang sedikit rumit yaitu sayur asem. Sayur asem pantura, agak berbeda dengan sayur asem Yogya. Saya tidak tahu persis apa yang membedakan bumbunya. Sudah tiga menu itu saja yang sering dimasakkan Ibu untuk saya jika dia sedang di Yogya. Paling sesekali, saya minta dimasakkan Indomie goreng atau rebus. Dan rasanya pun berbeda. Padahal ya begitulah cara memasak Indomie.
Selera makan saya memang mirip dengan selera makan Ibu. Saya bahkan tidak menemukan apa yang Ibu suka tapi saya tidak. Paling ada yang Ibu suka sekali, saya cukup dengan kategori suka saja. Misalnya, durian. Ibu saya suka sekali makan durian. Saya cukup merasa suka. Kalau ada ya ikut makan, kalau tidak ada ya tidak pernah merasa perlu untuk makan durian. Ada lagi, lele goreng. Saya cukup suka saja, Ibu suka sekali.
Belalang goreng adalah penganan istimewa bagi Ibu dan saya. Di daerah saya, pada musim tertentu, banyak orang menangkap belalang di hutan. Harganya lumayan mahal. Lebih mahal belalang dibanding daging sapi atau ayam. Ketika saya sudah berkeluarga, Ibu rajin mengirimi belalang goreng. Diwadahi toples, dibungkus rapat, dikirim pakai pos. Semenjak proses mengirim sampai belalang itu tiba, Ibu selalu mengecek. Apakah sudah sampai atau belum. Jangan lupa memasukkan ke kulkas. Kalau perlu digoreng lagi supaya lebih kemeripik, digoreng saja. Tentu biasanya, ibu akan berhubungan langsung soal seperti itu dengan istri saya. Untuk kiriman penganan yang lain, Ibu tidak akan sedetail itu. Sebab dia tahu persis, dia yang memilih langsung belalangnya, memberi arahan kepada orang yang menggorengnya di rumah, dan memastikan tetap enak waktu sudah sampai Yogya.
Jadi ketika Ibu sudah meninggal dunia beberapa bulan lalu, dan saya menerima setoples belalang, saya menikmati penganan itu dengan bergumpal-gumpal kenangan tentang Ibu. Mungkin karena tradisi Ibu yang selalu mengirim belalang ketika musimnya tiba, Bapak kemudian berusaha tetap melakukannya.
Sebetulnya ada yang lain selain belalang, yaitu mangga. Ibu selalu bersikeras mengirim mangga yang tumbuh di halaman rumah kami ke Yogya. Padahal ongkos kirimnya lebih mahal dibanding jika saya membeli mangga di Yogya. Tapi Ibu tidak peduli. Cuma kalau soal mangga, Ibu selalu berpesan, mangga yang sudah dikirim dibagikan ke tetangga. Mungkin karena Ibu tahu, kami sekeluarga tak mungkin menghabiskan kiriman mangga darinya. Kirimannya selalu terlalu banyak. Pantas saja ongkos kirimnya cukup mahal.
Beberapa bulan sebelum saya dan Istri menikah, saya mengajak calon istri saya itu ke rumah. Calon istri saya ingin mendapatkan pesan khusus dari Ibu. Saya tidak tahu kenapa hal seperti itu perlu dilakukan. Saya melakukannya karena calon istri–yang kemudian menjadi istri saya–yang meminta.
Di rumah, saya memberi kesempatan Ibu dan calon istri saya ngobrol berdua. Saat perjalanan balik, saya bertanya kepada calon istri saya, apa pesan Ibu kepada calon menantunya itu? Saya hanya penasaran saja.
Kata calon istri saya, hanya ada tiga saja pesannya. Karena Ibu tahu persis bahwa calon istri saya sudah sangat mengenal saya. Maklum, kami berpacaran lima tahun sebelum kemudian memutuskan untuk menikah.
Seluruh pesan sebetulnya hanya soal informasi saja. Pemberitahuan. Menguatkan apa yang mungkin sudah diketahui calon istri saya kepada saya. Pertama, saya orang yang loyal dan royal dengan teman. Tanpa peduli. Sejak saya kecil, di kampung, saya kerap mendapatkan masalah bukan karena masalah saya sendiri melainkan masalah teman-teman saya. Itu sudah bawaan lahir, kata Ibu, tidak akan atau sulit berubah.
Kedua, jika saya punya keinginan, saya tidak akan pernah berhenti, tak peduli omongan orang, bahkan omongan orang tuanya sendiri. Ibu saya mencontohkan bagaimana saya menjadi penulis. Saya sebetulnya pernah punya kesempatan untuk bekerja yang lebih nyaman dan pasti. Profesi penulis tak menentu. Soal itu, saat obrolan terjadi, sangat kontekstual karena saya saat itu memang sudah berprofesi sebagai penulis, dan sempat membuat bingung keluarga besar calon istri saya. Profesi kok penulis…
Kata calon istri saya. Ibu bahkan tidak terlalu yakin apakah kelak saya jika menikah nanti, bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga saya. Jadi kira-kira pesannya, kalau nanti menikah dengan saya dan situasi ekonomi kami tak terlalu baik, jangan sungkan-sungkan memberitahu Ibu. Keluarga kami memang bukan keluarga kaya, tapi Ibu meyakinkan kalau cuma untuk memberi makan saya dan Istri, pasti bisa. Hal itu menunjukkan bahwa Ibu pun tidak terlalu yakin dengan apa yang saya kerjakan. Tapi yang ditekankan juga oleh Ibu adalah jika terjadi kesulitan ekonomi ketika kami sudah menikah nanti, saya punya kesempatan untuk meninggalkan dunia menulis untuk mendapatkan uang yang lebih besar, hal itu tidak akan saya ambil. Ibu tahu persis itu. Dan sebaliknya, calon istri saya juga tahu hal itu.
Ketiga, pesan Ibu adalah saya bisa makan apa saja. Tidak ribet urusan makanan. Digorengkan nasi saja, pasti dimakan, kata Ibu. Tempe sama sambal saja, saya sudah sangat suka. Sudah. Cuma itu saja. Saya tidak tahu kalau ada yang lain, yang merupakan rahasia kedua perempuan yang sangat saya cintai itu. Setiap orang berhak punya rahasia.
Ketika Kali masih berusia antara 3 sampai 5 tahun, dia selalu berlari saat saya makan belalang goreng. Jika Ibu pas di Yogya dan menyaksikan itu, dia terlihat agak sedih. Seolah berpikir, makanan kesukaan kami berdua tidak disukai oleh cucunya. Ketika Kali berusia 6 tahun, dia mulai bisa memakan belalang goreng. Walaupun hanya bagian kepalanya saja. Saat itu terjadi, saya langsung menelepon Ibu, memberitahu. Mengambil foto dan video saat Kali memakan kepala belalang. Di saat itu, Ibu langsung gembira. Dan ketika musim belalang tiba, makin banyak kiriman belalang goreng ke rumah kami.
Setoples belalang goreng yang bobot mentahnya dua kilogram itu habis dalam waktu 5 hari. Saya memakannya bersama Kali. Tentu saya yang lebih banyak memakannya. Istri saya tentu saja tidak doyan. Tidak semua orang memang bisa memakan belalang goreng. Tapi lumayan, kalau dulu, istri saya sering menjerit dan bergidik kalau menerima paket belalang. Belakangan ini, dia sudah mulai biasa. Setidaknya biasa menyaksikan saya dan Kali makan belalang, dan dia menemani.
Yang berbeda adalah ketika belalang goreng kiriman dari kampung halaman habis, tidak ada yang menelepon saya. Bertanya apakah sudah habis atau belum. Karena jika sudah habis, dan musim belalang belum berakhir, Ibu akan mengirim lagi, dan lagi.
Saya memang masih sangat bersedih kehilangan Ibu. Tapi saya akan terus memenuhi rongga kenangan saya dengan segala yang indah tentangnya. Setiap kenangan tentangnya, selalu saya akhiri dengan doa.