Sebuah Seni untuk Memahami Kekuasaan

Sebuah Seni untuk Memahami Kekuasaan

Sebuah Seni untuk Memahami Kekuasaan

Apa yang terjadi pada Partai Demokrat dan Cikeas baru-baru ini, bisa menjadi bahan bagi kita semua, tentang bagaimana memahami kekuasaan.

Partai Demokrat sekarang ini bukan hanya diserang dari satu kubu, yaitu kelompok versi Moeldoko, tapi juga diserang dari sisi lain yang tak kalah telaknya: sisi di mana SBY dituduh telah melakukan “kejahatan” terhadap Anas Urbaningrum sehingga politikus dari Blitar itu mesti masuk penjara dengan tuduhan yang sangat serius: korupsi. Berbagai media memfasilitasi para “loyalis Anas”, demikian mereka menyebut diri mereka, dan membongkar borok demi borok yang mereka sebut telah dilakukan SBY kepada mantan ketua umum Demokrat itu.

Saya tidak mau melihat soal mana yang benar dalam kasus ini, tapi saya mau memperlihatkan bahwa kasus SBY menambah daftar orang-orang yang menjadi pemimpin negeri ini, yang seolah tak tersentuh, tapi begitu ia tidak berkuasa, bisa dihajar dari berbagai sisi.

Tokoh pertama setelah Indonesia merdeka dalam kasus serupa tentu saja Sukarno. Presiden pertama RI itu dielu-elukan seperti dewa. Dipuja di seluruh pelosok negeri. Bahkan saking dipujanya, sampai ditahbiskan sebagai “presiden seumur hidup”. Tapi persis 20 tahun setelah dia berkuasa, kekuasaannya rapuh. Arus berbalik. Dua tahun setelah itu, tidak ada yang pernah membayangkan bagaimana Sukarno dihina di jalanan. Kekuasaan yang digenggamnya rontok. Dia mesti hidup dalam kesepian bak pesakitan hingga kemudian meninggal dunia.

Tokoh lain tentu saja Soeharto. Pada usia 38 tahun, dia pernah hampir dipecat dari dinas militer karena ketahuan menyelundupkan beras. Tapi pada usia 44 tahun, dengan pangkat mayor jenderal, perwira dari Desa Kemusuk, Yogyakarta itu, mulai memegang kendali negeri ini setelah bisa mengambil posisi yang tepat saat terjadi peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat. Pelan namun pasti, dia bisa mengonsolidasikan kekuasaan hingga ditunjuk sebagai penjabat presiden RI, dan tak lama kemudian menjadi presiden.

Hampir serupa Sukarno, Soeharto pun dielu-elukan. Dia dianggap membawa perubahan perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, termasuk ketika Indonesia bisa mencapai swasembada pangan. Saking hegemoniknya Soeharto ini, dia bisa berkuasa selama 32 tahun. 

Tapi kemudian yang kita saksikan adalah bagaimana Soeharto yang memegang kekuasaan dengan sangat otoriter itu akhirnya nyungsep dalam sebuah peristiwa yang kemudian kita sebut “Reformasi”. Nyaris tak ada yang membayangkan, bagaimana mahasiswa dan masyarakat marah. Namanya dimaki-maki di jalanan, di tembok-tembok, dan di spanduk-spanduk demonstrasi. Soeharto meninggal dunia bahkan ketika rasa kesal masyarakat belum surut.

Salah satu presiden pasca-Reformasi yang dianggap mampu mengonsolidasikan kekuatan, melalui proses yang panjang dan penuh tikungan, adalah SBY. Dia pernah kalah dalam pemilihan wakil presiden yang kala itu masih dipilih oleh MPR. Dia juga dianggap bukan unggulan ketika harus melawan Megawati yang merupakan petahana pada pilpres langsung yang pertama dihelat di negeri ini pada 2004. Tapi akhirnya dia menang. Dia dipuja. Sebagaimana Sukarno dan Soeharto, SBY cepat mengonsolidasikan kekuasaan sehingga saat digelar pilpres 2009, dia memilih pasangan yang tidak populer, yaitu Boediono, tapi tetap bisa menang mutlak satu putaran. Partai Demokrat mendapatkan suara yang nyaris tak masuk akal, yakni sebesar 26,4%. Bayangkan, padahal lima tahun sebelumnya partai ini hanya mendapat suara 7,45%. Pilpres 2009 itulah yang menghasilkan frasa politik, “dipasangkan dengan sandal pun SBY bakal menang”.

Tapi begitu tidak berkuasa, pamor SBY memudar. Perolehan suara Partai Demokrat menurun. Pemilu tahun 2019 lalu mereka hanya mendapat suara 7,77%, perolehan yang hampir mirip saat pertama kali ikut pemilu. Kemegahan Partai Demokrat seolah layu. Pamor SBY pun meredup. Namun, nyaris tak ada yang membayangkan petinggi-petinggi Demokrat yang dulu terlihat sebagai pembela setia SBY bisa menggugat dan menyerang balik. Dan tak cuma itu, mereka bahkan membuat KLB dan menghasilkan semacam Partai Demokrat tandingan.

Serangan belum berhenti. Loyalis Anas Urbaningrum melakukan serangan balik secara masif. Mereka seolah mau mengatakan bahwa Anas tidak bersalah dan Anas dipenjarakan oleh SBY. Serangan ini sebetulnya punya momentum yang pas karena tahun depan, Anas akan bebas dari penjara. Nama Anas seolah mau dibilas, dan SBY serta Demokrat yang sedang jadi bulan-bulanan dilaburi tinta hitam atas tuduhan menggunakan segala cara agar Anas dipenjara.

Tentu ini menjadi hari-hari yang berat bagi SBY. Dia juga sudah tidak lagi muda. Manuver politiknya tidak lagi lincah. Saya ragu, jenderal yang sering dianggap ahli strategi ini akan mampu menangkal serangan demi serangan yang diarahkan kepadanya. Sebab kekuasaan tak lagi ia genggam. Kalau sampai perang Demokrat AHY melawan kelompok Moeldoko begitu panjang, ditambah serbuan loyalis Anas yang sering begitu telak, besar kemungkinan SBY sulit menikmati hari tua dengan tenang.

Apa yang menimpa Sukarno, Soeharto, dan SBY sebetulnya bukan hal asing di negeri ini. Sejarah negeri ini sebelum merdeka adalah sejarah perebutan politik yang keji dan brutal. Tumpas kelor, istilahnya. Itu bisa kita lihat sejak zaman Majapahit sampai Mataram. 

Sekarang kita punya presiden yang dipuja hampir serupa dengan Sukarno, Soeharto, dan SBY. Ia masih berkuasa. Kekuasaannya sangat besar bahkan. Dan saya berharap, dia tak mengalami sebagaimana yang dialami oleh Sukarno, Soeharto, dan SBY, serta tidak mengalami apa yang jamak terjadi pada raja-raja di tanah Jawa. Semoga sejarah semacam itu tidak terulang menimpanya. Tapi yang jelas, di negeri ini, kekuasaan memang mudah dikonsolidasi, tapi begitu tidak berkuasa, mudah rapuh dan rontok.

Kekuasaan bukan hanya tidak abadi, tapi juga cepat pergi.

BACA JUGA Jalan Terjal Anies Baswedan Mendapatkan Tiket Calon Presiden dan esai Puthut EA lainnya di rubrik KEPALA SUKU.

Exit mobile version