Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai Kepala Suku

Reformasi Kebijakan Pangan: Gimmick Apa Lagi? 

Puthut EA oleh Puthut EA
23 April 2020
0
A A
es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Reformasi pangan yang didengungkan Presiden Jokowi, saya kira itu hanya pernyataan sesaat, yang tidak bakal punya implikasi kepada kebijakan dan sikap pemerintah pada sektor tersebut. 

Dua hari lalu, saat memimpin rapat terbatas dalam mengantisipasi pandemi corona, Presiden Jokowi menyebut daftar bahan pangan dan mengkritisinya. Pada akhir pernyataannya dia bilang bahwa ini saat yang tepat untuk mereformasi kebijakan pangan kita.

Informasi seperti itu sebetulnya menggembirakan. Tapi bagi saya tidak. Saya cukup punya argumen untuk bersikap pesimistis dengan pernyataan Presiden Jokowi. Pertama, persoalan pangan sudah menjadi janji kampanye Pak Jokowi saat berlaga di Pilpres 2014. Ketika dia menang, saya tidak melihat ada perubahan apa pun di kebijakan pangan. Impor pangan kita masih besar. Produktivitas pangan yang dihasilkan oleh masyarakat kita juga tidak banyak perubahan. Tapi yang miris adalah, Presiden Jokowi justru tidak memilih lagi Menteri Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, padahal Bu Susi sudah terbukti mengamankan kebijakan laut kita sehingga lebih berdaulat. Dan kita tahu, laut adalah sumber pangan bagi yang sangat penting.

Kedua, selama 5 tahun memimpin, yang banyak kita saksikan justru berbagai lumbung pangan di Indonesia makin tergusur oleh kebijakan industri ekstraktif. Berbagai daerah yang sudah membuktikan diri menghasilkan banyak bahan pangan, malah dijadikan sentra pembangunan pabrik entah itu semen maupun tambang. Hajat hidup petani sebagai sokoguru kedaulatan pangan makin terpinggirkan. 

Ketiga, di tahun pertama masa pemerintahan kedua Presiden Jokowi, justru mendorong aturan seperti Omnibus Law, yang jika kita kupas lebih dalam, ada banyak kebijakan di sana yang malah akan makin mengancam sentra lumbung pangan kita dengan memberi tempat yang makin jembar untuk mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup. Sementara kita tahu, bahan pangan hanya bisa tumbuh di lingkungan dan alam yang nisbi baik.

Jadi, mohon maaf jika orang seperti saya sulit percaya akan ada reformasi pangan terjadi, melalui serangkaian pembelajaran atas pandemi ini. Yang justru mungkin terjadi, begitu pandemi kelar, maka alam dan lingkungan hidup akan makin dieksploitasi lebih kencang lagi karena kapital sempat mandek. Harus diputar lebih kencang dan keras lagi. Alam akan lebih dirusak lagi.

Sebetulnya tidak butuh argumen lebih banyak untuk mengatakan bahwa kita mesti berdaulat dalam pangan. Sistem sosial kita sejak dulu, sudah banyak yang memastikan itu. Terbukti dengan lumbung-lumbung pangan yang ada di kampung-kampung atau komunitas masyarakat tertentu. Memang semua itu sudah hampir tidak ada jejaknya. Tapi sejarah sosial kita sudah menerangkan dengan gamblang soal itu. Pemerintah tinggal mendorong dan memfasilitasinya. Tapi sepertinya, sebetulnya pemerintah memang tidak terlalu tertarik dengan kedaulatan pangan karena perhitungan ekonomisnya tidak lebih menjanjikan dibanding jika mineral yang terkandung di tanah diambil. Pada akhirnya, deret angka pendapatan (yang sebetulnya bisa kita perdebatkan), memang lebih disukai banyak orang, termasuk pemerintahan Presiden Jokowi.

Di salah satu desa di Gunungkidul Yogyakarta, belum lama ini membuat sebuah tindakan kolektif yang menarik. Para perantau dari desa itu sudah mulai kehabisan uang di Jakarta. Warga di sana kemudian melakukan rembuk desa. Keputusannya, warga desa mengirim bahan makanan untuk warga mereka yang di perantauan. Sekian truk mereka sewa untuk mengirim bahan makanan. Para perantau diminta jangan pulang dulu karena dikhawatirkan bisa membawa dan menyebarkan virus corona. Strategi yang diambil warga desa jelas bukan hanya menunjukkan solidaritas warga desa, namun juga menunjukkan betapa pentingnya bahan pangan untuk strategi hidup berbangsa.

Kalau Anda orang kampung seperti saya, contoh seperti ini sangat biasa. Memangnya orang-orang yang sekarang ini pada bangkrut usaha mereka balik ke mana kalau bukan ke desa? Jika balik ke desa, siapa yang menanggung hidup mereka kalau bukan orang desa? Sementara kita tahu, perekonomian orang desa jelas bertumpu pada pertanian dan salah satunya tentu saja pertanian yang menghasilkan bahan pangan.

Tidak butuh tingkat kecerdasan yang tinggi untuk menelaah hal ini. Tapi yang kita saksikan bertahun-tahun lalu sampai sekarang, dan mungkin sampai tahun-tahun yang akan datang tetap sama. Petani kehilangan sawahnya, entah untuk pabrik semen, pembangunan bandara, sampai dikeruk untuk diambil emas dan mineral lainnya. 

Reformasi pangan yang didengungkan Presiden Jokowi, saya kira itu hanya pernyataan sesaat, yang tidak bakal punya implikasi kepada kebijakan dan sikap pemerintah kepada sektor pertanian, ketahanan pangan, kelestarian alam, dan kesejahteraan petani serta nelayan. Pulau-pulau kecil tempat penting bagi habitat ikan dan kelestarian laut kita, tetap bakal ditambang juga. Limbah industri bakal dibuang sesuka hati di laut. Begitu seterusnya.

Sampai tiba nanti, alam menghukum kita (lagi). Memastikan. Kita bisa punya uang banyak, harta melimpah, kota yang megah, lalu kena wabah renik tak kasatmata. Kemudian kita panik. Cuma bedanya, tak ada lagi yang bisa kita makan seperti saat ini. Lalu kita bergelimpangan di jalan, sambil memegang uang, dengan wajah menghadap gedung-gedung tinggi. 

Kamera menjauh, kemudian terdengar syair lagu yang dinyanyikan anak-anak kecil. Generasi yang kecewa dengan kita, para pendahulunya: “Tanam jagung, tumbuh gedung. Tanam padi, tumbuh besi. Laut suci, dicemari.”

BACA JUGA Hidup Tanpa Rencana dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Terakhir diperbarui pada 23 April 2020 oleh

Tags: jokowipanganreformasi panganwabah corona
Iklan
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi.MOJOK.CO
Aktual

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi

7 Maret 2025
3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO
Esai

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

26 Februari 2025
Afnan Malay: Membedah Hubungan Prabowo-Jokowi Setelah Pemilu dan Janji Program MBG
Movi

Afnan Malay: Membedah Hubungan Prabowo-Jokowi Setelah Pemilu dan Janji Program MBG

18 Februari 2025
Herlambang P. Wiratraman: Sebab Akibat Kekuasaan yang Antisains dan Dunia Akademik yang Memburuk di Era Jokowi
Movi

Herlambang P. Wiratraman: Sebab Akibat Kekuasaan yang Antisains dan Dunia Akademik yang Memburuk di Era Jokowi

28 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kerja di Blora jauh lebih untung timbang Jakarta. MOJOK.CO

Tak Sanggup Kerja Kantoran di Jakarta, Putuskan Resign dan Tinggal di Cepu dengan Upah Empat Kali Lipat UMK Blora

8 Juli 2025
Pakuwon Mall Surabaya tarif parkir mahal bagi orang Jakarta. MOJOK.CO

Syok Saat Pertama Kali ke Pakuwon Mall Surabaya, Tarif Parkirnya Lebih Mahal daripada di Jakarta padahal Cuman Ingin Nongki

3 Juli 2025
3 Strategi Menikmati Kopi Klotok, Ujung Tombak Wisata Jogja (Hammam Izzudin:Mojok.co)

Kopi Klotok Jogja Bikin Malas Warga Lokal, tapi Dicintai Wisatawan meski Harus Antre Panjang sambil Berdiri Sampai 1 Jam

6 Juli 2025
JVWF 2025 Music Fest Hadirkan Sheila On 7, Catat Tanggal Main dan Rangkaian Acaranya.MOJOK.CO

JVWF Music Fest 2025 Hadirkan Sheila On 7, Catat Tanggal Main dan Rangkaian Acaranya

5 Juli 2025
5 Barang Paling Murah yang Bisa Ditemukan di Warung Madura, Zaman Segini Masih Ada yang Dijual Seharga Rp500 Perak Mojok.co

5 Barang Paling Murah yang Bisa Ditemukan di Warung Madura, Zaman Segini Masih Ada yang Dijual Seharga Rp500 Perak

3 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.