MOJOK.CO – Setelah kesehatan, kini pekerjaan orang-orang terkena dampak wabah. Berat sekali cobaan kali ini.
Saya baru saja mengecek laman Facebook dan menemukan sana seorang kawan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Ini bukan kabar baru bagi saya. Pandemi corona mulai menyerang perekonomian kita.
Bahwa pandemi corona akan membuat perekonomian dunia terpuruk, kita semua sudah tahu. Bahwa pandemi itu juga memukul perekonomian kita, kita juga tahu. Pemerintah sudah mencoba membuat strategi supaya imbasnya tidak terlalu buruk buat masyarakat. Tapi mengalami sendiri atau melihat orang-orang di sekeliling menutup bisnisnya, entah untuk sementara waktu, dan menjadi saksi terdekat orang-orang kehilangan pekerjaan, tetaplah sebuah pengalaman yang memilukan.
Semenjak pandemi berlangsung, saya punya kebiasaan baru keluar malam tanpa harus turun dari kendaraan. Saya berputar saja di jalanan. Selain mencoba mengusir stres, saya mencoba memperhatikan jalanan, kedai makan dan minum, para pedagang kaki lima, dan para ojol yang berseliweran.
Berita tentang puluhan ribu orang mudik ke kampung halaman karena bisnis mereka terpuruk, memang tidak bisa dinilai dalam posisi benar atau salah. Dalam hal ini, saya setuju dengan pernyataan Gubernur DIY: “Mosok mulih ora oleh?” Masak tidak boleh pulang ke kampung halaman? Yang perlu dipersiapkan adalah prosedur standar jika mereka pulang kampung. Memang seruan mudik mulai didengungkan para gubernur, dan saya kira seruan itu bermaksud baik. Supaya pandemi ini tidak menyebar terlalu cepat. Tapi orang-orang yang kehilangan pekerjaan adalah orang-orang yang punya masalah, dan hanya mereka yang tahu betul masalah mereka.
Di media sosial, saya juga menyimak argumen bahwa kelas menengah perkotaan adalah kelompok masyarakat yang rentan atas krisis ini. Mereka bukan hanya terpuruk dalam bisnis, tapi juga mendapat beban ganda, salah satunya adalah mencoba menyelamatkan karyawan mereka. Tapi sejauh mana hal itu bisa dilakukan? Saya kurang tahu.
Di dunia perbukuan, salah satu dunia yang saya ketahui, industri buku pun terpuruk. Awalnya, ini soal toko-toko buku yang kebanyakan berada di mal, ditutup. Kalaupun tidak tutup, sudah pasti sepi. Toko buku menginginkan pengunjung dan kerumunan, sementara corona mensyaratkan tidak ada kerumunan. Setelah itu, percetakan mulai membatasi jam kerja, bahkan sebagian juga mulai tutup. Apa yang hendak mereka cetak jika toko buku sepi atau tutup? Andalannya pun berpindah ke toko buku online yang masih agak menjanjikan. Tapi akhirnya terjadi penurunan juga karena beberapa ekspedisi pun mulai tidak mengirim barang ke beberapa daerah. Mungkin karena tidak ekonomis lagi. Selain itu, daya beli merosot. Buku bukan kebutuhan primer. Perlahan, satu per satu penerbit mulai mengumumkan tidak menerima naskah. Mereka tinggal menjual stok buku yang ada, lewat online, walaupun tentu sudah tidak sama dengan sebulan lalu.
Seminggu lalu, kedai kopi langganan saya memberi pengumuman kalau kedai ditutup sementara. Waktu saya tanya kapan buka lagi? Jawabnya singkat: “Tidak tahu, Pak.”
Makin ke sini, setiap keliling kota di malam hari, saya menyaksikan satu per satu warung kaki lima tutup. Kalau ada yang tersisa, jam buka mereka diperpanjang. Beberapa warung tenda yang biasanya sudah tutup pada pukul 23.00, rata-rata tutup lewat tengah malam. Berharap masih ada pembeli.
Kemarin sore, saya mengecek wadah jeruk nipis di rumah. Tersisa hanya tiga butir. Jeruk nipis sangat penting di keluarga kami karena semenjak ada pandemi, istri saya selalu membuat jamu. Salah satu bahannya adalah jeruk nipis. Saya hampir pergi ke salah satu supermarket, tapi tiba-tiba ingat kalau ada teman saya yang tinggal di pinggiran kota Yogya pernah menawari jeruk nipis. Saya mengontaknya. Dia mengirim jeruk nipis dalam jumlah yang banyak, dan bukan hanya itu, masih ada belasan telur ayam yang dia kirim lewat jasa Gosend. Saya mau membayar semua benda penting yang dia kirim. Tapi saya tahu jawabannya, dia tidak mau. Menurut kawan saya, dia tinggal petik saja buah jeruk nipis di belakang rumahnya yang sedang berbuah lebat dan tinggal mengambil butiran telur ayam kampung di kandang miliknya. Dia merasa tidak sedang dirugikan jika memberikan itu kepada saya. Di detik ketika saya menerima kiriman paketnya, saya hampir mengeluarkan air mata.
Belum lama, saya juga dikirimi madu dengan kualitas tinggi hanya karena saya mengunggah kiat membikin jamu melalui akun medsos saya. Di sana saya pajang bahan-bahan jamu, termasuk madu agar anak saya yang berusia 7 tahun tidak merasa terlalu pahit. “Mas, saya kirim madu bagus ya.” Saya tidak kenal si pengirim. Dua hari kemudian, dua botol madu berkualitas sudah mendarat di depan rumah saya.
Banyak orang mulai kehilangan pekerjaan. Tentu itu hal yang menyedihkan. Tapi saya tahu persis, di banyak tempat, orang-orang menggalang dana untuk membantu pengadaan masker, alat pelindung diri bagi paramedis, dan banyak pula yang membuka dapur umum. Saya sebetulnya bukan termasuk orang yang harus dibantu, tapi saya tetap dikirimi jeruk nipis, telur ayam kampung, dan madu.
Orang-orang banyak yang kehilangan pekerjaan, tapi banyak pula dari kita yang tidak mau kehilangan rasa kemanusiaan. Di titik itulah saya percaya, kita akan bertahan dan mampu melalui pandemi ini. Semoga. Amin.
BACA JUGA Kabar Baik dari Presiden Jokowi dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.