MOJOK.CO – Bersama Aldo, Nurhadi si tukang pijat dari Kudus tidak hanya kacaukan model kampanye dua kubu, melainkan juga memberi pijatan sempurna untuk kita semua.
Moncernya nama Nurhadi, tukang pijat dari Kudus belakangan ini, membingungkan bagi timses kedua kubu. Mereka tahu persis, pergerakan Nurhadi dalam dunia maya ini mengacaukan strategi kampanye mereka.
Berkali-kali Nurhadi mau dikooptasi oleh kelompok timses kedua kubu, tapi berhasil dihalau dengan jenaka. Kalau dikeroyok lewat dunia maya, sebagaimana kedua kubu biasa melakukan hal itu pada musuh mereka, pembela Nurhadi juga banyak. Satu-satunya cara adalah dengan “mendekati” Nurhadi. Namun hal itu punya problem sendiri.
Kudus selama ini dikenal sebagai kota yang “angker” terhadap kekuasaan. Konon, Presiden Soeharto tidak pernah menyambangi kota yang dikenal sebagai kota kretek ini.
Konon pula hal itu disebabkan oleh apa yang dikenal sebagai “Rajah Kalacakra”. Rajah itu diberikan oleh Sunan Kudus kepada murid kesayangannya yakni Arya Penangsang. Rajah itulah yang kabarnya bisa mengisap semua aura kekuasaan.
Maka tidak heran, beberapa presiden yang dimakzulkan dipercaya oleh sebagian masyarakat Kudus dan sekitarnya, karena saat mereka memimpin, singgah di Kudus.
Presiden Sukarno, dipercaya masyarakat Kudus singgah ke kota ini sebelum dilengserkan oleh Soeharto. Entah kebetulan atau tidak, ketika Gus Dur dilengserkan lewat Sidang Istimewa MPR, juga karena keberanian beliau singgah di kota ini. Termutakhir, Anies Baswedan dicopot dari jabatan Menteri Pendidikan setelah mampir ke Kudus.
Itu sebabnya, banyak orang menyimpulkan kalau SBY berani ke Kudus di saat akhir masa jabatan keduanya. Sebelum itu tak pernah.
Menurut pantauan media onlen, Jokowi setidaknya pernah dua kali mau ke Kudus dan dua kali pula dibatalkan. Hal seperti inilah yang makin menambah “aura dan aroma mistik” kemunculan Nurhadi—yang kebetulan dari Kudus.
Sebetulnya gampang saja sih membuktikan hal ini. Coba saja masyarakat Indonesia menantang kedua kandidat untuk datang ke Kudus.
Apa ada yang berani? Boleh capresnya, boleh pula cawapresnya. Jokowi boleh. Prabowo juga boleh. Ma’ruf Amin boleh. Sandiaga juga boleh. Saya hakul yakin tidak akan ada satu di antara empat orang itu yang berani datang ke kota Kudus.
Selain persoalan asal kota, simbol lain yang patut dicermati dari sosok Nurhadi adalah profesinya sebagai tukang pijat.
Dalam khasanah pengetahuan orang Jawa, tukang pijat ini bukan sembarang profesi. Dulu, untuk dianggap sebagai tukang pijat yang mumpuni, harus punya ilmu menyeluruh, meliputi aliran darah, urat, pernafasan, dan juga jejamuan.
Tidak seperti sekarang. Orang dikursus dua minggu lalu sudah bisa mendaftar di aplikasi pijat. Hasilnya bukan aliran darah lancar, tapi malah badan makin pegal-pegal.
Tukang pijat ini punya makna memijat seluruh sendi kebangsaan yang sedang capek. Capek oleh pertengkaran. Capek oleh fitnah dan kabar burung. Capek oleh regejegan tanpa ujung.
Bagi orang yang waskita, kemunculan Nurhadi harus dipahami dari sisi seperti itu. Menyeluruh. Supaya kepala kita agak ringan. Dada kita kembali jembar. Sehingga otot-otot muka kembali rileks, dan kita bisa tersenyum kembali sebagai sesama anak bangsa.
Kalau diingatkan seperti itu tetap tidak mau, ya silakan saja keempat orang itu kalau berani datang ke Kudus dengan aneka modus. Mau nyekar ke Sunan Kudus atau Sunan Muria, silakan. Mau kulineran juga sumangga. Mau lari-lari keliling kota, dipersilakan. Mau lihat-lihat pabrik rokok juga boleh.
Kalau berani. Silakan.
Terakhir, tetap saja, coba cari siapa orang di balik kemunculan Nurhadi ini? Tidak mungkin sembarang orang.
Dari sekian banyak pilihan, kenapa yang dipilih Nurhadi? Tentu Anda tahu arti nama tersebut bukan? Sekalipun terkesan ndesa tapi nama itu punya makna: cahaya pemberi petunjuk.
Si aktor ini pula yang dengan jeli memilih asal Nurhadi yakni dari Kudus. Kenapa tidak Nurhadi dari Magelang saja? Dan profesinya harus tukang pijit? Semua itu tentu bukan kebetulan belaka. Ada orang cerdik dan waskita di balik kemunculan Nurhadi.
Siapapun dia, salut!