Hubungan saya dengan kopi hitam berhenti dengan cara yang tidak menyenangkan. Dua tahun lalu saya kena serangan jantung. Dokter memvonis kala itu kalau saya mesti dipasang ring. Singkatnya, setelah dioperasi, ternyata pembuluh jantung saya bersih. Operasi pemasangan ring dibatalkan. Dokternya bingung, saya lega.
Tapi dua bulan kemudian, saya kena semacam serangan jantung lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk pindah rumah sakit dan tentu saja berganti dokter. Dokter kedua inilah yang kemudian dengan cermat memindai sakit saya. Ternyata detak jantung saya lebih tinggi dibanding kebanyakan orang. Saya tidak diperkenankan berolahraga terlalu keras yang memacu detak jantung lebih cepat, istirahat cukup, dan mendeteksi sendiri jenis makanan atau minuman yang bisa memacu detak jantung saya lebih cepat. Dengan jujur, akhirnya saya menemukan. Salah satunya adalah minum kopi hitam. Saya memang tidak dipasang ring jantung, dan itu tentu saja melegakan, namun di sisi lain, saya mesti menalak tiga hubungan erat saya dengan kopi hitam.
Saya punya hubungan panjang dengan kopi hitam. Semenjak kecil saya suka ngopi, makin suka ketika saya duduk di bangku SMA. Hal yang paling menyenangkan saat itu adalah ngopi di warung bersama teman-teman, tentu saja sambil merokok. Saya memang aktif merokok sejak SMA. Maklum saat itu, saya sudah ngekos sehingga lebih bebas dalam menjalankan kegiatan rekreatif bernama merokok.
Makin senang kopi ketika saya hijrah ke Yogya. Di kota ini, karena saya berkenalan dengan banyak orang dari luar daerah dan dari luar Pulau Jawa, petualangan lidah saya dengan kopi makin kaya. Saya mulai suka kopi Jambi, Toraja, Bali, Jember, Lampung, Aceh, dll. Ketika kemudian saya mulai sering ikut penelitian lapangan dan menjadi penulis, hobi saya ngopi naik kasta, saya mulai suka dan belajar tentang kopi. Bahkan jauh sebelum kopi begitu “mewabah” di Yogya, saya sudah pernah ikut kursus cupping kopi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember. Sehari semalam, minimal saya menghabiskan tiga cangkir kopi. Intinya, hari saya dimulai dengan secangkir kopi, bekerja ditemani bercangkir-cangkir kopi, dan ketika selesai bekerja, saya menghadiahi diri saya dengan secangkir kopi. Tidak pernah ada di pikiran saya, kelak, ternyata saya mesti pegatan dengan kopi hitam.
Tapi saya masih bisa meminum varian minuman yang memiliki unsur kopi. Setidaknya itu agak melegakan juga walaupun awalnya terasa ganjil. Saya masih bisa minum cappuccino, latte, dan kopi susu. Kopi susu, menurut guyonan para pencinta kopi hitam, adalah minuman yang membingungkan. Susu konon membuat orang rileks dan bisa menjadi minuman pengantar tidur, sementara kopi adalah minuman yang bikin semangat dan bisa menahan kantuk. Jadi kopi susu adalah minuman yang ambigu, di satu sisi menyuruh kita tidur, di sisi yang lain menghalangi kita tidur. Tentu saja itu guyonan lho ya….
Dari situ mulailah saya kembali mengonsumsi es. Ya. Saya mulai minum es kopi susu, es cappuccino, es latte. Kenapa saya bilang “kembali”? Karena sejak mulai kuliah, berarti sudah lebih dari 25 tahun, saya tidak minum es atau segala minuman dingin. Kecuali bir dingin.
Sebetulnya saat SMA, saya peminum es, apalagi kalau bukan es teh. Rembang, tempat saya belajar waktu SMA, adalah kota yang sangat panas. Pantura. Dekat laut. Kabupaten dengan garis pantai terpanjang di Pulau Jawa. Istirahat pertama, saya selalu minum dua gelas es teh. Rasanya, semua teman SMA saya tidak ada yang tidak minum es teh. Istirahat kedua, saya minum segelas es teh. Di luar jam sekolah, barulah saya minum kopi.
Tapi semenjak tinggal di Yogya, entah kenapa saya mudah pilek kalau minum es teh. Akhirnya saya putuskan tidak minum es lagi. Teh, sesekali saya minum. Terutama setelah makan. Anda bisa membayangkan jika sarapan soto dengan kuah pedas, lalu minum teh manis hangat, dijamin gemrobyos. Badan jadi segar, dengan peluh menetes.
Ketika saya mulai minum es kopi susu dan kawan-kawannya itu, saya mulai tertarik untuk minum es teh. Namun selalu tidak jadi saya lakukan. Hingga saya memperhatikan, ada dua kawan saya yang suka sekali minum es teh. Sebut saja namanya Mujib dan Dodo. Di saat hujan, malam hari, mereka tetap minum es teh. Kalau mereka capek bekerja, segelas es teh yang enak seolah bisa menyegarkan pikiran mereka. Saya yang sudah gerang daplok ini, akhirnya terpengaruh juga oleh mereka, akhirnya saya mencoba minum segelas es teh. Es teh pertama yang saya minum adalah es teh dari warung angkringan Mas Kendang yang konon merupakan es teh terenak di sekitar rumah saya.
Dan memang benar adanya. Saya menemukan kesegaran di sana. Sekali dua. Lama-lama terbiasa. Sekarang saya pun bisa minum es teh sebagaimana Mujib dan Dodo, di saat malam hari, dingin, plus hujan pun, saya bisa minum es teh.
Istri saya sampai geleng-geleng kepala. Akhirnya dia pun belajar membuat es teh yang enak untuk saya. Bahkan sebelum dia tidur, dibuatkanlah segelas es teh yang ditaruh di kulkas. Sehingga jika saya sedang menulis atau bekerja di malam hari seperti malam ini, menulis tulisan ini, ada segelas es teh yang siap menemani saya.
Dulu, saya merasa sedih ketika harus berpisah dengan kopi hitam. Itu sebuah proses perpisahan yang sangat melankolis. Tapi kini, semenjak saya mulai suka kembali minum es teh, perasaan itu memudar. Begitulah hidup, yang satu menghilang digantikan yang lain.
Selamat tinggal kopi, selamat datang (kembali) es teh….
BACA JUGA Nggak Hanya Gudeg, Aset Jogja Adalah Es Teh Angkringan dan esai di rubrik Kepala Suku lainnya.