Menurut Gus Mus, kiai zaman dahulu—apalagi kiai kampung—harus selalu siap ditanya apa saja. Itu artinya, para kiai kampung, selain harus tahu banyak hal, juga memiliki berbagai macam sikap kebijaksanaan.
Kiai kampung harus tahu pranata mangsa karena sering ditanya kapan saat menebar benih tanaman. Harus waskita karena pasti menjadi rujukan jika ada hama tanaman yang menyerang. Harus punya kejembaran hati karena sering menyelesaikan urusan percekcokan antarwarga. Harus punya kedigdayaan karena kerap terlibat jika keamanan desa terganggu. Pendek kata, seorang kiai tidak selalu berurusan dengan tata cara salat dan aneka hukum agama.
Sampai kelas 5 sekolah dasar, kalau saya sakit, hal pertama yang dilakukan oleh Bapak adalah membawa saya ke rumah guru mengaji saya, almarhum Mbah Kiai Misron Ma’ruf. Dan seingat saya, hampir semua sakit saya sembuh cukup dengan cara beliau berdoa lalu menyebul ubun-ubun saya. Atau memberi doa yang ditiupkan di segelas air kemudian saya menandaskannya. Kalau agak parah, baru beliau mengikatkan benang kecil di tangan saya. Benang itu sudah dikasih doa terlebih dulu tentu saja.
Saya tidak mau memperdebatkan apakah itu ilmiah atau tidak. Bapak saya jelas orang yang sangat ilmiah, selain guru beliau juga orang Muhammadiyah, maunya kalau saya sakit ya pergi ke dokter. Tapi karena saya mberot selalu meminta ke Mbah Misron, ya saya selalu dibawa ke sana. Buktinya juga sembuh. Berarti satu lagi, kiai kampung harus merangkap jadi semacam juru medis.
Mbah Misron ini galak sekali. Kalau mengajar mengaji, selalu ada bilah bambu kecil di sampingnya. Kalau yang diajar keliru membaca, tak segan beliau menggitik tangan maupun paha kami. Kalau zaman sekarang, bisa saja beliau dituduh bentuk penganiayaan dari guru ke muridnya. Tapi ya kami, anak-anak kampung, senang-senang saja mengaji kepadanya, bahkan sangat menghormatinya. Berarti sekali lagi, kiai kampung juga mampu mengurus anak kecil sampai orang dewasa.
Sampai suatu saat, Mbah Misron ini membuat semacam syukuran. Bukan syukuran biasa. Pondok kecil di sawah, tempat beliau menyimpan hasil panen, dibobol maling. Sehari-hari, aktivitas beliau memang bertani. Saya mengingat kejadian itu dengan baik karena orang kampung tahu semua. Anehnya, tidak ada saya tangkap kemarahan. Malah dibuat acara syukuran, si maling didoakan dengan baik.
Ingatan saya atas keterangan Gus Mus dan almarhum Mbah Misron langsung mendatangi kepala saya ketika usai mendengarkan ngaji bersama Gus Baha’. Dalam salah satu sesi, Gus Baha’ bercerita.
Suatu hari beliau kedatangan seorang perempuan, kakak dari salah satu santrinya. Perempuan itu menjadi TKI. Dia bercerita, setiap hari selalu memasak daging babi untuk keluarga tuannya. Selain itu, setiap hari Minggu pasti mengantar anak si majikan pergi ke gereja. Perempuan itu datang meminta fatwa sambil menangis.
Gus Baha’ berpikir, perempuan yang datang kepadanya itu pastilah sudah berusaha mencari pekerjaan lain. Sebab bagi muslimah yang taat, tentu kegiatan yang dilakukannya punya beban yang berat.
Gus Baha’ kemudian menjawab. Kira-kira begini yang diucapkannya. “Kamu setiap kali bekerja, entah memasak babi atau mengantar ke gereja, jangan kamu pikirkan apa yang kamu lakukan. Tapi pikirkanlah bahwa kamu sedang mencari nafkah, yang sebagian dari nafkah itu kamu pakai untuk membiayai hidup adikmu yang sedang mondok. Membiayai saudara yang sedang tekun mengaji dengan sepenuh hati.”
Tentu saja sambil mengatakan itu, dalam hati Gus Baha’ mendoakan agar perempuan tadi segera mendapatkan pekerjaan yang lebih pas dan lebih baik, agar tidak ada beban berat di hatinya. Tapi dengan memberikan jawaban seperti itu, Gus Baha’ berusaha meringankan beban di hati orang tersebut. Dengan beban yang ringan, Gus Baha’ berharap, ada kelapangan hati untuk bersyukur.
“Sebab salah satu tugas orang alim seperti saya, berusaha senantiasa membuat setiap orang mensyukuri hidup ini, dalam kondisi seberat apapun,” ucap kiai muda dari Narukan, Kragan, Rembang itu.