Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai Kepala Suku

Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama

Puthut EA oleh Puthut EA
9 April 2020
0
A A
es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kita sedang mengalami kecemasan yang sama. Jangan sampai ekspresi kecemasan itu justru akan membahayakan dan melukai sesama manusia.

Tidak banyak di hidup ini di mana setiap manusia punya kecemasan yang sama. Hal besar yang lazimnya sering menautkan satu orang dengan yang lainnya tentang kecemasan adalah kematian. Tapi kematian itu konsekuensi dan sekaligus ada, langsung tercipta, begitu muncul kehidupan. Karena sudah dari dulu ada, dan sudah jamak dipahami, maka kecemasan akan kematian tidak pernah lagi menjadi “kecemasan sosial”, kecemasan yang dalam satu waktu membuat orang merasakan hal yang sama, lalu merasa perlu memikirkan bersama untuk mengatasinya.

Kini di seluruh dunia, juga di Indonesia, kita punya kecemasan yang sama. Pandemi corona. Orang cemas kalau tertular, terpapar, kena, positif, lalu entah bisa bertahan entah tidak. Negara Amerika punya kecemasan yang sama dengan Prancis. Para taipan punya kecemasan yang sama dengan kelas menengah dan kaum papa.

Sebelum itu, kita hampir tidak pernah punya kecemasan seperti ini. Memang, kecemasan macam ini tidak sering terjadi dalam peradaban manusia. Bahkan karena kepentingan ekonomi dan politik, setiap kecemasan parsial dan bahkan kontroversial. Para pengusaha yang mengeksploitasi lingkungan punya kecemasan proyek bisnis mereka dilawan oleh masyarakat setempat. Sementara masyarakat setempat melawan karena punya kecemasan alam mereka rusak karena tambang atau pertanian bersekala besar. Biasanya dalam kecemasan seperti ini, energi purba manusia untuk bekerja sama akan mengalami soliditas kembali.

Memang pasti ada pertentangan-pertentangan di dalam situasi seperti ini. Buzzer politik masih bekerja dengan cara kontraproduktif, yang pasti akan dilawan oleh masyarakat kritis. Atau sengkarut kebijakan yang memantik perbedaan pendapat dan pemikiran. Bahkan di level masyarakat bawah pun, masih ada warga yang menolak jenazah positif corona untuk dimakamkan.

Dan memang tidak mudah mengelola kecemasan yang sifatnya massal. Jangankan setrategi penanggulangan, ekspresi emosi setiap orang berbeda. Ada orang yang tetap berusaha berpikir jernih, ada yang panik.

Sialnya, manajemen kecemasan yang sifatnya massal ini tidak banyak pelajarannya. Sehingga referensi perilaku manusia dalam mengatasi kecemasan dalam skala dunia ini juga minim. Ini yang tampaknya harus segera diatasi, sebab besar kemungkinan kita akan menghadapi masa puncak pandemi pada bulan Mei. Sebentar lagi. Masa yang kita tidak bisa bayangkan bagaimana reaksi orang maupun pasar. Reaksi pemerintah baik pusat maupun daerah dengan warga negara. Bahkan reaksi antar-orang dalam lingkup komunitas kecil seperti perumahan atau kampung.

Diperkirakan, jika puncak pandemi terjadi, maka akan ada situasi di mana orang yang positif terkena corona, namun dianggap sehat, akan diminta untuk melakukan swakaratina di rumah. Sebab rumah sakit penuh, juru medis dan alat kesehatan terbatas. Maka yang diprioritaskan dirawat di rumah sakit pastilah orang-orang yang sudah akut, yang membutuhkan pengawasan melekat, serta butuh bantuan peralatan medis spesifik seperti misalnya ventilator.

Masalahnya adalah jika pada orang tersebut dilakukan penerapan swakarantina di rumah, maka harus ada persiapan lingkungan yang baik. Di sini, edukasi, sosialisasi, berserta juklak dan juknisnya juga mesti jelas. Sebab jangan sampai orang yang mengidap positif corona, ketika dilakukan swakarantina di rumah, justru tidak diterima oleh tetangga dan lingkungannya. Padahal daya dukung sosial adalah kata kunci dalam melakukan protokol ini.

Orang tersebut sudah pasti harus berada di tempat yang jelas, supaya mudah diawasi dan dirawat oleh otoritas pemerintah dan kesehatan di daerah tersebut. Dia tidak boleh diusir. Mengusir orang yang kena corona sementara dia diminta swakarantina di rumah bisa sangat kontraproduktif dalam skema besar penanganan pandemi ini.

Kita tidak menerapkan lockdown, itu artinya kita masih bisa keluar dari rumah untuk keperluan yang sangat penting. Tinggal di rumah pun kita masih membutuhkan hubungan dengan orang lain, yang itu artinya potensi kita terpapar masih sangat besar. Kita semua. Karena corona tak pilih kasih. Sehingga cara paling mudah memahamkan itu dimulai dari berpikir: Bagaimana jika saya yang kena? Apakah enak diusir dari lingkungan? Apakah bisa bertahan tanpa bantuan dan daya dukung sosial?

Saya setuju dengan salah satu dokter yang diwawancara di sebuah televisi, dia bilang kurang lebih begini: Kalau belum ada anggota keluarga kita yang kena, memang belum dapat pelajaran berharga. Orang yang ngeyelan, menyepelekan, sering menolak masukan orang, memang hanya bisa belajar dari kenyataan. Lewat dirinya yang kena atau anggota keluarganya yang kena. Tapi mengasumsikan hal seperti itu mesti terjadi sungguh berat rasanya. Karena manusia dilengkapi oleh imajinasi, akal, dan perasaan, salah satu pintu masuk penyadarannya adalah cukup membayangkan saja dirinya yang kena.

Maka mulai sekarang, kita harus membicarakan hal seperti ini di keluarga kita, teman dan kerabat dalam satu kota, dan yang sangat penting adalah tetangga serta lingkungan terdekat kita.

Kita sedang mengalami kecemasan yang sama. Jangan sampai ekspresi kecemasan itu justru akan membahayakan dan melukai sesama manusia.

BACA JUGA Ketika Badai Mengamuk, dan ketika Cuaca Bersahabat dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Terakhir diperbarui pada 9 April 2020 oleh

Tags: wabah corona
Iklan
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

luhut ppkm level 3 mojok.co
Kilas

Luhut Panjaitan Ditunjuk untuk Mengawal Penanganan Pandemi di Provinsi-provinsi Rawan Corona

15 September 2020
Tugas Airlangga Hartarto Memang Mengkritik Anies Baswedan dan Menolak PSBB psbb mojok.co
Esai

Tugas Airlangga Hartarto Memang Mengkritik Anies Baswedan dan Menolak PSBB

12 September 2020
es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres
Kepala Suku

Mungkin Sekarang Saatnya Jokowi Melakukan Reshuffle Kabinet

6 Agustus 2020
jacinda ardern selandia baru melawan wabah corona keberhasilan resep tips langkah mojok.co
Pojokan

4 Hal Penentu Keberhasilan (Sementara) Selandia Baru Melawan Virus Corona

1 Juni 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

3 Dosa Pedagang Es Teh Jumbo Cuan, tapi Bahaya untuk Pembeli (Unsplash)

3 Dosa Pedagang Es Teh Jumbo yang Menguntungkan Mereka tetapi Sangat Merugikan Pembeli

4 Juli 2025
FIFGROUP Dorong Pemberdayaan UMKM Lewat FIFestival Kuliner 2025

FIFGROUP Dorong Pemberdayaan UMKM Lewat FIFestival Kuliner 2025

8 Juli 2025
Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran Ryu Hasan MOJOK.CO

Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran dr. Ryu Hasan

3 Juli 2025
Yamaha NMAX Bukan Motor, tapi Benteng Takeshi buat Ibu-ibu Kayak Saya

Yamaha NMAX Bukan Motor, tapi Benteng Takeshi buat Ibu-ibu Kayak Saya

4 Juli 2025
5 Dosa Pedagang Merusak Kuah Bakso demi Cuan, Penuh Bahaya (Unsplash)

5 Dosa Pedagang Bakso Merusak Kuah Bakso demi Mendapatkan Cuan Besar Hingga Punya Banyak Cabang

9 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.