Ketika Badai Mengamuk, dan ketika Cuaca Bersahabat

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.CODi pandemi corona ini, kita bisa mempelajari banyak hal dalam kepemimpinan. Juga mungkin memunculkan banyak pemimpin yang segar, yang sebelumnya tidak atau belum kelihatan.

Untuk tahu watak asli seseorang, beri dia kekuasaan. Adagium Itu banyak dikutip orang dalam konteks bagaimana ketika seseorang diberi kekuasaan. Tapi dalam pandemi corona ini, ada adagium lain yang mesti juga dikemukakan: Jika badai bertiup, akan kelihatan watak asli awak kapal.

Selama waktu hampir dua bulan ini, sesungguhnya kita semua sedang menyaksikan banyak hal. Salah satunya adalah soal bagaimana pemimpin menghadapi situasi yang buruk. Kita bisa menyaksikan banyak pemimpin, baik dari presiden, menteri, gubernur, bupati/wali kota, kepala desa, kepala dusun, sampai kepala pengurus perumahan. Semua strata dan lingkup kepemimpinan, sedang memperlihatkan watak asli mereka.

Tentu saja menjadi pemimpin itu tidak mudah. Makin besar wilayah kepemimpinannya, pasti makin kompleks persoalannya, dan tentu saja makin tidak mudah menyusun sebuah keputusan. Seorang presiden, dalam hal ini, tentu akan memikirkan banyak hal, mempertimbangkan banyak sisi, dalam membuat keputusan. Seorang kepala dusun, tanpa bermaksud menyepelekan jabatan ini, tentu tidak serumit seorang presiden dalam membuat keputusan.

Sebagai warga negara, saya mencoba memahami semua keputusan pemerintah dari mulai presiden sampai dusun atau bahkan sampai ketua pengurus perumahan tempat saya tinggal. Kalau memang harus memberi kritik, sebagai warga negara, pasti saya akan mengkritiknya. Kalau memang harus mengapresiasi, pasti saya apresiasi. Dan sudah tentu sebagai bagian dari masyarakat sipil, berpartisipasi dan berkontribusi adalah sebuah keniscayaan. Sekecil apa pun itu.

Namun saya punya perhatian tentang bagaiama para pemimpin di sekian level itu menggunakan otoritasnya. Kalau kita punya keinginan besar belajar tentang kepemimpinan, saat ini merupakan fase yang penting. Ada banyak pelajaran yang bisa kita amati dan pelajari. Setiap pemimpin memiliki langgam masing-masing. Menghitung dengan perspektif masing-masing. Dari sana kita tahu kecenderungannya seperti apa.

Tapi jangan lupa, di masa seperti ini, kita juga tahu bagaimana watak asli “awak kapal” saat badai corona mengamuk. Salah satu kawan saya bercerita tentang temannya yang banyak berkoar-koar di lingkungan kampungnya soal bagaimana menghadapi pandemi ini, tapi giliran diminta saweran untuk membeli disinfektan dan masker, tiba-tiba diam dan seolah menghilang.

Suatu saat, ketika gempa meluluhlantakkan sebagian wilayah Yogya dan Jawa Tengah pada tahun 2006, saya bertemu dengan sepasang kawan saya di jalan. Saya bertanya, mau ke mana mereka? Menyelamatkan diri pulang kampung, kata mereka. Bagi saya jawaban itu nyaris tidak masuk akal. Saya sulit sekali mengerti bagaimana bisa sepasang aktivis sosial, selamat dari gempa bumi, karena alasan takut lalu pergi begitu saja dari telatah yang telah menghidupinya. Sementara ribuan relawan dari luar Yogya berbondong-bondong datang ke Yogya untuk memberi pertolongan. Tapi ya sebatas heran saja. Tidak paham bagaimana alur berpikir mereka.

Di salah satu dusun di Gunungkidul tempat saya dan teman-teman mendampingi tanggap pasca-bencana gempa bumi saat itu, saya tertarik dengan seorang perempuan sepuh. Dia bukan pengurus kampung. Tapi saya melihat bagaimana simbah yang mungkin usianya hampir 70 tahun itu mengatur banyak hal tanpa lelah. Dia tampak disegani warga kampung. Dia mengatur mulai dari jadwal dapur umum, sampai mengamankan stok pangan. Dia tak segan menegur para laki-laki dewasa yang masih sehat, yang tak ikut serta dalam memperbaiki situasi. Rasa takjub itu membuat saya cukup dekat dengannya. Sering makan bersamanya. Bahkan sering diajak ke ladangnya untuk mengambil singkong yang diolah jadi tiwul. Dia mungkin sedikit dari banyak orang yang menganggap bahwa kami, para relawan, bukan penyelamat mereka. Kami hanya membantu sesaat. Selebihnya, kolektivitas dan kekompakan warga kampung yang menjadi tumpuan utama untuk melanjutkan kehidupan kampung tersebut.

Ketika kapal kena badai, kita tahu awak kapal mana yang mencoba ikut memperbaiki dan mengendalikan kapal, dan siapa yang siap-siap melompat dengan pelampung, seolah ingin selamat sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti juga akrab dengan hal semacam ini. Ketika sebuah lembaga kena masalah, siapa yang mencoba turun tangan, siapa yang hanya diam pasif, dan siapa yang bahkan pergi.

Tidak ada pemimpin hebat, di level mana pun, yang lahir dari situasi tenang. Karena situasi tenang tidak akan pernah bisa mengeluarkan karakter asli seorang manusia. Ini mungkin mirip slogan. Tapi orang sering lupa, slogan muncul dari rentetan pengalaman dan refleksi manusia.

Di pandemi corona ini, kita bisa mempelajari banyak hal dalam kepemimpinan. Juga mungkin memunculkan banyak pemimpin yang segar, yang sebelumnya tidak atau belum kelihatan. Masalahnya, kita sering mengacaukan antara pemimpin dan pejabat. Di Indonesia, pejabat sering tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan. Mereka bisa saja muncul karena punya banyak uang dan punya keterampilan memainkan perasaan orang.

BACA JUGA Ada Jalan yang Begitu Panjang Bernama Jalan Kaliurang dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version