Dunia Setelah Corona: Bakal Lebih Baik atau Lebih Buruk?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COBeberapa kaum intelektual mulai membuat analisis tentang bagaimana wajah dunia setelah pandemi corona? Apakah lebih baik atau lebih buruk? Kenapa?

Seperti yang mudah kita tebak, para pemikir terbelah dalam melakukan analisis itu. Sebagian berpendapat bahwa dunia akan lebih baik. Sebagian lagi berpendapat sebaliknya, dunia akan lebih buruk. Tentu bagi kita, bukan kesimpulannya yang penting, melainkan bagaimana kita mencoba memeriksa argumen masing-masing.

Bagi yang berpendapat dunia bakal lebih baik, mereka meyakini bahwa sebagai makhluk yang bisa merefleksikan diri, umat manusia pasti akan merefleksikan saat paling berat di dalam hidup ini. Tentu saja dalam konteks ini adalah saat menghadapi badai corona. Manusia bakal melihat perkara lebih jernih lagi, relasi manusia dengan alam, relasi antar-manusia, relasi manusia dengan pekerjaan, dll. Corona menunjukkan kepada kita bahwa apa yang selama ini dikejar, yakni kesuksesan, produktivitas, laba, dll., tidak serta-merta dapat membuat kehidupan mereka aman dan nyaman. Dengan virus tak kasatmata, renik, peradaban manusia dibuat jungkir balik. Dengan begitu, manusia akan melihat lagi hubungan organik dirinya dengan lingkungan. Baik lingkungan hidup maupun lingkungan sesama manusia. Dari refleksi itu, dianggap manusia bakal mengalami perubahan pola relasi, dan pola relasi yang bergeser akan membuat dunia lebih baik. Manusia akan kembali menghormati lingkungan hidup dan menghargai relasi antar-manusia.

Selama pandemi corona pula manusia mengalami banyak hal yang membuatnya mencoba hal baru. Salah satunya yang dianggap penting adalah ketika bekerja dari rumah. Mau tidak mau, hal yang dulu tidak terpikirkan, harus mendadak dikerjakan. Manusia tidak perlu keluar dari rumah untuk mengerjakan hal yang dulu dianggap harus dikerjakan di luar rumah. Awalnya, itu terasa menyiksa. Tapi lambat laun terbiasa. Rapat dikerjakan jarak jauh, pekerjaan bersama dikerjakan tanpa saling bertemu. Sehingga jika pandemi ini berakhir, manusia akan terbiasa bekerja dari jauh. Konteks positifnya adalah manusia tidak perlu membuang banyak energi dan melakukan pengeluaran yang tidak perlu. Tidak perlu mesti berdesak-desakan naik KRL. Waktu produktif dan capek yang dilakukan saat berangkat kerja dan pulang kerja, tak perlu diulang kembali. Tak perlu ada nyala lampu dan pendingin ruangan di kantor. Efisiensi energi terjadi, baik energi listrik, energi bahan bakar mesin, maupun energi emosi.

Dalam masa corona, manusia menyaksikan langit kembali bersih. Laut kembali biru. Aliran sungai jadi bening kembali. Burung-burung terlihat lebih banyak di langit dan di pepohonan. Ikan-ikan kembali terlihat di sungai dan laut dangkal. Kangguru, tupai, rusa, dan hewan liar lain kembali banyak terlihat melintas di jalan. Pengalaman menyaksikan seluruh kesegaran itu membuat manusia bakal menikmatinya sebagai sebuah karunia. Selepas corona, banyak orang bilang, pasti manusia tidak mau kehilangan itu semua. Tidak mau kehilangan udara bersih, langit bersih, dan air bersih. Alam sedang membersihkan diri, manusia tidak akan mengotorinya lagi.

Ada banyak poin yang bisa disuguhkan untuk mendeskripsikan bagaimana dunia bakal berubah pasca-corona. Semua serba optimistis. Dunia akan menyenangkan setelah pandemi ini menghilang.

Tapi benerkah begitu? Sebagian pemikir bilang, itu hanyalah omong kosong yang tidak didasari argumen kuat. Kenapa? Karena ketika pandemi ini berlangsung, tidak terjadi apa yang biasa disebut sebagai “pergeseran kuasa”. Dunia memang mengalami perbaikan secara ekologis, tapi bukan karena kesadaran manusia, melainkan karena “dipaksa” oleh kenyataan lewat virus corona. Sehingga yang terjadi jika corona sudah menyingkir adalah sebaliknya. Manusia terpukul secara ekonomi, maka begitu virus menghilang, maka manusia bakal seperti kesetanan untuk mengembalikan roda perekonomian yang melambat. Dengan begitu, manusia akan dipaksa bekerja lebih keras lagi, lebih kompetitif, dan dengan begitu, alam harus dirusak dengan lebih hebat lagi.

Selama pandemi terjadi, manusia merasa telah membuang uang dan waktu. Itu semua harus balik dan berlipat. Salah satu konsekuensinya tentu saja segala hal yang dulu dianggap masih penting, mesti dimaafkan untuk dilanggar. Salah satunya justru alam dan lingkungan. Pola kapitalisme tidak berubah karena selama pandemi berlangsung, tidak terjadi pergeseran paradigma dan perilaku kapital. Kapital ketika dipaksa reda sejenak bukan oleh pergeseran relasi dan paradigma, maka seperti menarik anak panah sehingga busur panah makin melengkung. Maka ketika pandemi berakhir, anak panah kapital bakal dilesakkan. Keras dan jauh. Melampaui apa yang mestinya dilampaui. Melanggar batas dari apa yang dulu secara etis masih perlu dijaga. Perusahaan harus lebih untung karena sempat merugi. Pabrik harus lebih berdenyut sebab kemarin melemah. Dst.

Begitulah dua argumen itu berhadap-hadapan. Kalau saya sendiri, percaya argumen kedua yang bakal terjadi. Jika refleksi personal tidak melebar ke refleksi komunal, lalu mengubah paradigma, dan dari sana ada pergeseran kekuasaan dan kapital, maka yang besar kemungkinan terjadi justru kerusakan ekologis akan makin parah. Bahkan sangat mungkin pertikaian antar-negara dan antar-kapital bakal terjadi lebih keras lagi, dan yang pertama dikorbankan pastilah manusia lapis bawah (baca: kaum pekerja) dan lingkungan hidup.

Di sinilah letak tantangannya. Di saat pandemi ini masih terjadi, ketika manusia masih bisa berpikir jernih merenungkan hidupnya, maka sesegera mungkin bisa diusahakan bagaimana kehidupan bersama akan diperbaiki. Kalau tidak, hidup akan kembali menyebalkan, bahkan lebih menyebalkan, lebih melelahkan, dan kalau ekologi kembali menjadi bagian dari menggerakkan kapital dengan lebih cepat dan masif, maka kita akan menghadapi gelombang virus lain yang datang berhumbalang.

Jika itu yang terjadi, ternyata manusia tidak pernah benar-benar belajar dari masalah yang menimpanya. Itu akan sama dengan tragedi virus-virus sebelumnya. Datang, ditangisi, lalu ketika pergi, kita makin rakus lagi.

BACA JUGA Program Pelatihan Prakerja Ditunda Saja dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version