Salah satu implikasi dari media sosial, setiap percakapan kehilangan semesta dan konteksnya. Medan tafsir meluber ke mana-mana, bahkan cenderung sengkarut dan semrawut.
Kalau Anda mengunggah makanan, mungkin maksud Anda adalah berbagi informasi tentang makanan tersebut. Mungkin juga hanya ekspresi suka-suka saja. Toh akun akun Anda sendiri. Suka-sukalah.
Tapi bagi netizen, bisa saja mereka senang, dalam kadar yang tidak bisa Anda bayangkan. Tapi mungkin juga banyak yang akan memberi tafsir bahwa Anda tidak sensitif, di saat pandemi, saat banyak orang sedang tidak punya uang, Anda malah pamer makanan.
Tidak heran, jika kita simak komentar dan perdebatan di media sosial, semesta konteksnya amburadul. Hanya ada orang yang kangen dengan Yogya atau bilang Yogya kota yang romantis, eh diseret ke persoalan UMR murah.
Hal seperti itu, mirip dengan ada pengemis meminta Anda uang, keputusan Anda adalah memberi atau tidak. Tidak juga tak apa-apa. Memberi juga tak apa-apa. Begitu Anda memberi, Anda bisa saja dicap sebagai orang yang tidak tahu problem struktural.
Bahwa pengemis itu ada karena ketimpangan pendapatan, dan terlalu banyak uang yang dicuri di negeri ini oleh elite politiknya. Sehingga aksi memberi, dianggap tidak cukup. Anda harus secara radikal mengubah supaya tidak ada lagi pengemis bergentayangan di jalanan.
Kebayang kalau kita pas mau membeli sayuran di kios tetangga, Anda mencecar kepada pedagang tersebut, apakah sudah adil dengan pemasoknya, apakah pemasoknya sudah menjalankan transaksi berkeadilan dengan petani sayurnya, apakah sayurnya ditanam dengan organik atau tidak, jika iya mengapa dan jika tidak juga mengapa. Terus saja begitu sehingga hari-hari Anda tidak akan makan sayuran.
Saya percaya dengan problem struktural. Sangat percaya bahkan. Tapi memperbincangkan itu di sembarang konteks, tentu hal yang tidak perlu.
Kalau sedang membedah fenomena sosial, sedang menyusun penelitian, sedang menggalang laku advokasi, ya tentu saja itu perlu. Tapi ketika mau membeli sate ayam di pinggir jalan saja mesti memikirkan apakah bisnis itu sudah sesuai dengan persoalan sosial yang ada di pikiran kita, itu juga berlebihan.
Sebagai manusia, siapapun berhak punya pengalaman personal. Bagi saya misalnya, juga mungkin bagi jutaan orang yang pernah melewatkan waktu di Yogya, wajar saja kalau berpikir bahwa Yogya itu kota yang romantis. Bikin kangen. Sangat indah untuk dikenang.
Itu tidak harus berhubungan dengan seolah setuju UMR murah, dan sederet persoalan sosial lain yang ada di Yogya. Ya suka-suka yang punya kenangan dan persepsi soal Yogya.
Sampai sekarang misalnya, salah satu hal paling syahdu di hidup saya adalah jika malam habis hujan, saya menyusuri Jalan Kaliurang. Kenapa? Ya karena di Jalan Kaliurang itu, banyak hal telah saya lalui. Entah bersama kekasih saya, atau dengan teman-teman saya. Banyak hal romantis dan konyol terjadi di sana.
Saya juga tahu di sepanjang jalan itu ada banyak problem sosial yang bermuara pada problem struktural. Saya ingin mengenangnya saja, menikmatinya. Terus apa masalahnya?
Itu mirip sama ketika ada orang miskin dilarang merokok. Karena merokok itu mengganggu kesehatan, memperkaya orang yang sudah kaya, dan lain-lain.
Lho orang miskin beli rokok itu dengan duit mereka sendiri. Suka-suka mereka mau dipakai apa, asal bukan untuk hal yang melanggar aturan.
Kedua, orang miskin juga berhak gembira. Orang kaya bergembira dengan piknik ke luar negeri, minum anggur yang mahal, atau menonton konser musik. Orang miskin ya biar saja menikmati apa yang mereka pikir bisa menyenangkan. Terus kenapa?
Terkadang memang sikap kritis yang tidak pada tempatnya, punya kecenderungan untuk terlalu cerewet mengurusi orang lain.
Balik lagi ke soal Yogya. Jutaan orang pernah melewatkan waktu penting mereka di Yogya. Kebanyakan dari mereka adalah saat kuliah. Dan saat kuliah, adalah saat-saat penuh dinamika hidup. Segala hal tampak menyala terang.
Banyak hal yang mereka alami di Yogya. Mulai dari pacaran sampai mungkin belajar mabuk-mabukan. Mulai dari greget belajar sampai rasa putus asa karena tak bisa melawan kemalasan mengerjakan skripsi.
Ketika kemudian mereka tidak lagi tinggal di Yogya, lalu kangen dengan Yogya, lalu memandang dengan rasa romantis, ya wajar.
Sebetulnya hal seperti ini mirip dengan kampung halaman kita. Saya juga sering memandang kampung halaman saya dengan rasa kangen yang luar biasa. Bedanya, kampung saya adalah kota kecamatan kecil. Mungkin tidak lebih dari 10.000 orang yang melewatkan masa remaja di sana. Jadi ekspresi kangen itu tidak masif. Berbeda dengan Yogya.
Tapi saya juga tahu bahwa di kampung saya ada persoalan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, lalu mulai muncul persoalan penumpukan lahan pada segelintir orang, modal sosial yang mulai terus tergerus. Saya tahu.
Tapi kangen bermain hujan di kampung waktu kecil, masak harus diinterupsi dengan persoalan serius macam itu. Masak sih, saya tidak boleh sejenak memberi tempat bertamasya bagi kenangan saya?
Kalau hanya orang ingin bernostalgia dengan Yogya lalu selalu dihalau dengan soal UMR, klitih, ketimpangan sosial, dll, mendadak saya lalu ingat kepada beberapa orang yang dikit-dikit bilang kafir, haram, hijrah, dll. Apa bedanya? Sungguh tidak asyik.
Berjuang ya berjuang, nggak mesti sebegitunya. Beribadah ya beribadah, nggak perlu telunjuk selalu mengarah ke orang lain. Tetap tenang, dan biarkan orang memberi porsi kepada kenangan mereka.
Sebab banyak hal yang sudah dirampas dalam hidup ini, dari sedikit yang masih tersisa itu, salah satunya adalah kenangan.
BACA JUGA Jogja Berhati Mantan dan esai Puthut EA lainnya.