MOJOK.CO – Ada beberapa poin yang memberatkan PSI untuk lolos ambang batas parlemen dalam Pileg 2019.
Sebagai orang yang punya banyak teman politikus, juga berteman dengan mereka yang bergelut dengan tema politik, saya cukup sering mendapat pertanyaan di atas. Sebelum menjawab pertanyaan jenis itu, tentu kita perlu melihat beberapa hal terkait dengan tema itu.
Pertama, hampir di semua survei pemilu, PKS selalu masuk ke dalam daftar partai yang tidak lolos ambang batas parlemen, seingat saya mulai tahun 2009, 2014, sampai menjelang tahun Pemilu 2019. Tapi pada kenyataannya, partai tersebut selalu lolos dengan persentase yang cukup tinggi.
Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Hal ini dikarenakan, survei tentang partai, menggiring pada ‘merek’ partai itu sendiri. Padahal pada kenyataannya, ketika pileg dilaksanakan, lebih banyak orang yang memilih orang dibanding partai itu sendiri.
Saya ambil contoh, misal Jamhari dari partai X. Orang lebih memilih Jamhari daripada partainya. Bahwa dengan dipilihnya Jamhari, secara otomatis akan menyumbang perolehan suara ke partai, itu sudah jelas sekali. Nah, di hampir semua survei, rata-rata faktor Jamhari dihilangkan. Namun faktor partai X yang sering digunakan.
Sementara, kerja Jamhari yang paling bakal mendominasi perolehan suaranya ada pada minggu-minggu akhir menjelang minggu tenang, termasuk ketika minggu tenang. Istilah ‘tenang’ itu hanya formalitas belaka. Prakteknya justru di minggu tenang, pertarungan makin sengit terjadi di lapangan.
Hal seperti itulah yang bisa menjelaskan kenapa misalnya PAN juga tetap mendapatkan suara cukup banyak dengan strategi mendorong para selebritas untuk mencalonkan diri. Para selebritas sudah lebih dulu punya modal nama dan keterkenalan. Hal inilah yang mungkin akan susah dilakukan oleh orang yang nisbi tak begitu dikenal.
Hal itu pula, lepas dari perdebatan etis atau tidak, terjadi migrasi caleg dari satu partai ke partai lain. Ketika Jamhari yang sudah teruji sukses jadi anggota legislatif dari partai X, maka ketika dia pindah ke partai Y, jika modal sosialnya kuat, kemungkinan besar dia akan terpilih kembali. Hal inilah yang secara cerdik dilihat oleh Partai Nasdem.
Kedua, bagaimana dengan Nasdem yang langsung sukses dalam pemilu pertama yang diikutinya? Hal pertama yang harus dibaca adalah Nasdem itu dipimpin oleh Surya Paloh, orang yang berpuluh tahun malang melintang sebagai politikus di Indonesia. Oleh karena itu, jaringan politiknya tentu luas sekali. Selain itu, dia memiliki media massa, baik teve maupun surat kabar, sehingga kampanye lebih mudah dijalankan. Lalu yang terakhir, dia termasuk orang kaya. Faktor finansial tetap tidak bisa diremehkan.
Ketiga, Pileg 2019 ini agak berbeda karena dibarengi dengan laga pilpres. Itu artinya, parpol mesti punya mesin ganda: mesin untuk kekuatan pileg dan mesin untuk pilpres. Tentu tidak mudah menyetel kedua mesin ini dalam satu kinerja partai. Pasalnya, semua caleg sebagai salah satu mesin paling dominan akan sibuk dengan diri masing-masing, baik bersaing antarpartai maupun antarkolega separtai. Sementara itu berbagai jenis relawan capres-cawapres akan turun juga ke dapil. Suasana tambah pikuk. Menyelaraskan itu semua dengan berbagai dimensi kepentingan bukanlah sesuatu yang mudah.
Dengan beberapa poin umum di atas, tentu pada Pileg 2019 berat bagi PSI untuk lolos dalam ambang batas parlemen. Pertama, tentu saja kekuatan caleg. Sebagai partai anak muda, kekuatan caleg mereka di dapil belum tentu kuat. Pengalaman politik yang paling sahih adalah pengalaman memenangkan suara di TPS. Dilihat dari situ, para caleg PSI termasuk paling minim dalam pengalaman lapangan.
Kedua, faktor kekuatan jaringan. Bagaimanapun setiap anggota legislatif yang punya jam terbang tinggi, didukung dana dari pemerintah untuk mengurus dapil mereka, tentu lebih mudah dalam melakukan kerja-kerja politik. Jaringan mereka lebih matang dan lebih dulu mengakar.
Ketiga, PSI kurang didukung oleh media yang kuat. Sekalipun ini medsos, tentu saja media konvensional juga tetap dibutuhkan. Pasalnya di berbagai daerah di Indonesia, media dianggap sebagai ‘media’ jika itu berwujud (fisik) dan dikenal. Koran daerah maupun media digital yang sudah mapan seperti Detik, Kompas, Merdeka, dll, tentu lebih dipercaya dibanding media sosial.
Keempat, efek ujung jas jelas akan bekerja dengan baik, sehingga bagaimanapun juga PDIP maupun Gerindra akan mendulang suara besar karena Jokowi dan Prabowo. Prabowo kalah atau menang, suara Gerindra bakal naik. Padahal basis suara PSI serupa dengan basis konstiuen PDIP dan Gerindra, moderat-nasionalis.
Kelima, brand PSI sebagai suara ‘milenial’ memang bagus. Tapi persoalannya, studi politik soal milenial di Indonesia baru sampai pada karakter mereka, belum sampai pada aspirasi politik dan belum menyentuh arsiran antara milenial dan teritori maupun sektor.
Seperti kita ketahui, pembagian politik itu jamaknya ada dua: sektoral dan teritorial. Dalam prakteknya kecerdikan membaurkan dan merumuskan kedua hal itulah yang bisa membesarkan suara partai. Baru kemudian, pada perkembangannya muncul variabel pemilih pemula dan milenial.
Tapi jangan keliru, keduanya pun tidak lepas dari variabel sektoral dan tertorial. Milenial yang menjadi pegawai negeri sangat mungkin berbeda dengan yang bekerja di industri kreatif. Milenial di Jeneponto sangat mungkin punya aspirasi dan ekspresi politik yang berbeda dengan milenial di Sragen maupun di Cirebon.
Tentu saja, apapun itu, PSI adalah partai yang telah membuktikan diri bisa menjadi peserta pemilu. Artinya, pasti punya modal dasar untuk lolos ambang batas parlemen. Selain itu, PSI juga mulai identik dengan Jokowi. Kalau strategi itu makin dikencangkan, bisa jadi ada sedikit efek ujung jadi kepala banteng yang direbutnya, sehingga bisa lolos ambang batas parlemen.
Tapi seandainya pun PSI tidak lolos, masih ada tahun 2024. Pemilu 2019 akan menjadi modal pengalaman penting bagi caleg mereka, dan kalau nanti Jokowi berkuasa lagi, para politikus PSI bisa ikut memanen bersama hasil kerja mereka. Panen politik itu penting untuk modal berlaga pada 2024. PSI dapat menjadi sebuah partai baru yang punya potensi langsung untuk belajar berkuasa. Tidak banyak partai yang seperti itu di dunia.