MOJOK.CO – Ucapan selamat atas kemenangan Bu Khofifah Indar Parawansa yang didapuk jadi Gubernur Provinsi Jawa Timur dari Madura. Semoga Bu Khofifah masih akan ingat Madura saat menjabat, bukan cuma ingat waktu kampanye saja.
Sebagai orang yang masa kenangannya akan mantan dihabiskan di Sumenep, Madura, terlebih dahulu izinkan saya menyampaikan selamat kepada Bu Khofifah Indar Parawansa dan Mas Emil Elestianto Dardak yang memuncaki klasemen Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada Pilkada Serentak 2018 kemarin.
Sebentar lagi Jatim dinahkodai orang baru. Ya nggak baru-baru amat sih kalau Bu Khofifah bagi rakyat Jatim, wabil khusus bagi masyarakat Madura kayak saya. Cuma kalau Mas Emil sih tentu baru, kecuali—mungkin—bagi orang Trenggalek.
Sebenarnya, kalau mau jujur, pada masa-masa musim kampanye kemarin, tentu saja yang paling dibuat bingung adalah masyarakat Madura. Sebagai pulau yang masyarakatnya menganut aliran Nahdlatul Ulama (NU) lahir batin dunia akhirat, wal hasil, masyarakat Madura terpecah menjadi dua poros, poros Gus Ipul dan Poros Bu Khofifah. Lha gimana? Bu Khofifah dan lawannya sama-sama dari NU, organisasi yang siap dibela mati-matian oleh masyarakat Madura.
Yang satu bilang kalau sampai ada perempuan yang memimpin Jatim, mau jadi apa Jatim ke depan? Yang satunya ngoceh kalau Bu Khofifah tentu lebih banyak pengalaman karena yang pernah ditangani beliau kan bukan cuma Jatim, tapi sudah terbukti sejak ia didapuk jadi Menteri Sosial.
Meski pada akhirnya Bu Khofifah yang menang, bagi masyarakat Jatim yang pro Gus Ipul saya himbau untuk bersabar saja, siapa tahu beliau tahun 2023 nanti niat berlaga lagi, dan hasilnya berbeda.
Di sisi lain, pecahnya dua poros masyarakat Madura pada masa kampanye sedikit banyak sudah bisa mereda belakangan ini. Buktinya, damai-damai saja kan di Madura? Enggak ada tuh aksi carok antar tim sukses pendukung masing-masing calon gubernur. Benar-benar berbeda dengan banyak daerah di Indonesia yang saling klaim kemenangan, meski perolehan suaranya udah kelihatan.
Lagian daripada ribut-ribut soal Pilkada, saya ingin mengajak kalian semua—khususnya masyarakat Madura—untuk lanjut ke persoalan berikutnya, yakni soal rencana pemekaran Jawa Timur yang berpotensi melahirkan Provinsi Madura. Yah, sebagai orang Jawa Timur yang pernah tinggal di Pulau Madura, tentu saja saya merasakan bagaimana pahitnya hidup di pedesaan Pulau Madura.
Apalagi kalau membaca data dari Badan Pusat Statistik Jatim, Maret tahun 2017 lalu. Kabupaten Bangkalan, misalnya, jadi daerah di Madura dengan tingkat kemiskinan terparah, yaitu dengan 23 persen masyarakatnya masih hidup kere. Disusul Kabupaten Sampang yang—yah, lumayanlah, meski nggak beda jauh—yakni 21 persen. Melihat data itu saya jadi pingin nangis. Eh, nggak jadi ding, saya kan nggak semelankolis itu.
Hal ini diperkuat dengan keterangan dari Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Jatim, yang bilang, “Pendapatan per kapita masyarakat Madura di kisaran 9-5 juta per tahun, jauh di bawah angka Jatim yang mencapai 30 juta per tahun.” Duh, dek, perbandingannya sangat-sangat jomplang ya?
Jadi jika pendapatan orang Madura 9 juta per tahun dibagi 12 bulan, maka berarti rata-rata orang Madura per bulan cuma bisa ngumpulin duit 750 ribu perak. Nah, sekarang coba kita bagi itu duit misalnya buat ngirim anak ke pondok pesantren (oh, iya di Madura mengirim anak ke pondok masih jadi tradisi), lalu untuk beli beras 10 liter—katakanlah—habis 80 ribu.
Lalu untuk duit bulanan si anak 150.000, beli peralatan mandi anggap 20.000. Total jumlah semuanya 250.000. Ini belum untuk makan di rumah, ada orang meninggal wajib bawa beras, tetangga kawin, kompoan (arisan), dan lain-lain. Cukup hidup sebulan dengan tagihan sebanyak itu dengan duit 500.000 per bulan? Ya mana cukup, makanya tak heran orang Madura perlu cari besi kiloan buat tambahan.
Dengan alasan sederhana itu, tahun 2015 mencuat kembali pemekaran Provinsi Jatim agar lahir Provinsi Madura. Ya mau gimana lagi, masa Madura sebagai penyumbang sekitar 70 persen kebutuhan garam nasional masyarakatnya tetep miskin? Di Madura para korporat minyak juga dapat mengeksploitasi11 juta barel minyak dan 94 miliar kubik kondensat. Apa coba kurangnya untuk menjadi sebuah provinsi muda?
Ini belum bicara mengenai sumber daya ikan di perairan Kabupaten Sumenep yang dapat menghasilkan 22 ribu ton per tahun. Pada tahun 2009 produksi ikan di Sumenep mencapai 44 ribuan ton dengan nilai lebih dari 169 miliar. Sayangnya, dengan hitung-hitungan duit sebesar itu, saya kok heran dengan masyarakat Madura masih banyak yang miskin. Aneh ya?
Jujur saja, saat isu pembentukan Provinsi Madura bergulir ke publik, saya sih selow aja. Toh Madura jadi provinsi rasanya mustahil, mengingat secara administratif untuk daerah yang mau jadi provinsi minimal 5 kabupaten, sedangkan Madura cuma punya 4 saja. Tipis-tipis gimana gitu ya?
Mungkin sudah jadi nasib, Madura untuk ditakdirkan jadi pulau miskin dengan sumber daya alam yang melimpah. Di sisi lain, Madura juga tidak bisa mengurusi dirinya sendiri karena tak pernah diizinkan untuk jadi provinsi.
Kalau soal stigma umum bahwa orang-orang di Pulau Madura itu masyarakatnya miskin, pendidikannya terbelakang, atau mudah dikasih janji-janji palsu elite politik sih kami tidak begitu peduli. Sebab mau bagaimana pun gubernur yang dulu-dulu memperlakukan Madura, saya sendiri tetap bangga dengan Madura.
Okelah, dari beberapa kekurangan Madura untuk berdiri sebagai provinsi sendiri (seperti infrastruktur dll), mau tidak mau Madura harus nempel ke Jatim yang sekarang ada di tangan Bu Khofifah. Dalam janji politiknya, beliau sih berjanji akan mengentaskan kemiskinan di seluruh Jatim katanya. Semoga ketika ngomong begitu, Bu Khofifah kebayang juga Pulau Madura. Mudah-mudahan saja itu bukan cuma janji kosong kayak gubernur-gubernur sebelumnya.
Harapan saya, semoga Pulau Madura tidak cuma dimanfaatkan sebagai pendulang suara saat ada pemilihan kelapa daerah saja, kemudian—lagi-lagi—dianaktirikan, dilupakan, dan dielu-elukan cuma karena ada maunya saja.
Usulnya sih untuk Bu Khofifah, orang Madura mah gampang aja dibahagiakan. Bisa dinaikkan haji satu orang satu kampung per tahun saja, kami sudah merasa jadi masyarakat yang sangat kaya di dunia yang kejam ini. Simpel kan?