Pengalaman Keliling Indonesia Naik Honda Beat: Catatan Kebodohan yang Berakhir di Jogja

Keliling Indonesia Naik Honda Beat tapi Sayang Berakhir di Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Keliling Indonesia Naik Honda Beat tapi Sayang Berakhir di Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya dan Gogon, dari Lampung, ingin keliling Indonesia naik Honda Beat. Bagi saya, perjalanan penuh kebodohan ini berakhir di Jogja.

“Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Lirik di atas berasal dari lagu “Paman Doblang” milik Kantata Takwa. Dan, lirik di atas adalah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perjalanan keliling Indonesia naik Honda Beat ini. 

Lirik tersebut menyihir otak 2 anak muda tolol yang masih berapi-api akan dunia dan segala isinya. Begitulah, pada pertengahan 2018, saya dan teman saya bernama Gogon membicarakan tentang rencana menuju Pulau Jawa dari Lampung, dan kelak saya “terdampar” di Jogja.  

Perjalanan ini memang tidak selalu terjadi di atas motor. Namun, Honda Beat itu yang mengubah sebagian alurnya. Dan perlu saya beritahu di awal, bahwa Jogja bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah cepat-cepat pergi dari rumah selepas wisuda.

Dua anak tolol merencanakan perjalanan yang terdengar dramatis 

Lagu “Paman Doblang” sedang diputar dari playlist Spotify saya saat Gogon membuka obrolan. “Bebas lah, pokoknya jalan ke desa-desa yang seru naik kendaraan umum, berhenti kalau lihat tempat menarik di perjalanan,” ujarnya polos. 

Maksud “desa seru” di sini adalah yang punya bentang alam memanjakan mata dan berbeda dari suasana kota tempat kami tinggal. Sebuah perencanaan yang jauh dari kata “matang”. Terdengar dramatis, tapi ya goblok juga. Awal dari segala petualangan yang bagi saya berakhir di Jogja.

Ketika Gogok pidato, saya sendiri sedang menyimak bait-bait karya WS Rendra di lagu itu: “Keberanian menjadi cakrawala.” 

Oke, tanpa menimbang bagaimana caranya mampu bertahan nanti, saya memutuskan berangkat. Berani saja dulu. Kami sepakat melakukannya setelah lulus kuliah karena jadwal wisuda kami yang hanya terpaut 3 bulan. 

Gogon yang wisuda lebih cepat memutuskan pergi duluan naik bus ke Bogor. Di sana, dia mukim di rumah pamannya yang kosong. Dua bulan menggunakan moda transportasi umum membuat Gogon meralat rencana perjalanannya. Dia menyuruh saya untuk membawa motor Honda Beat miliknya dari Lampung ke Bogor.

“Angkot di sini ribet, banyak jenisnya dan sulit banget bedain trayeknya. Setelah dihitung-hitung juga, ongkosnya jadi lebih bengkak. Ini masih di Bogor, lho, belum daerah yang lebih dalem lagi. Makin sulit mengaksesnya.” 

Pembicaran via voice call WhatsApp sekitar Juni 2019 itu saya akhiri dengan kalimat: “Oke, Aman.”

Awal petualangan, awal dari rentetan kebodohan di atas Honda Beat

Kalau bukan karena orang tua yang ingin melihat anaknya memakai toga, saya akan melewatkan rangkaian acara formalitas itu dan segera pergi ke Bogor. Cuma bermodal selembar ijazah tanpa sempat mengurus transkrip nilai, 3 hari setelah wisuda, saya meninggalkan Palembang. 

Saya mengumpulkan tenaga dan persiapan lain selama 1 minggu di Lampung. Termasuk rencana perjalanan di Pulau Jawa. Semua saya rencanakan di dalam kepala meski kelak berakhir juga di Jogja. Setelah itu, saya mantap memulai hal yang selama ini orang-orang sebut sebagai “petualangan”.

Saya memulainya dengan berangkat kesiangan. Perjalanan dari rumah saya menuju Pelabuhan Bakauheni itu 3 jam. Menyeberang ke Pelabuhan Merak, 1 jam. 

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB saat saya turun dari kapal. Rute menuju Bogor yang terlihat di Google Maps membawa saya dan Honda Beat milik Gogon lewat Kota Serang, ke arah Rangkasbitung. Setelah itu, saya masuk ke wilayah Kecamatan Maja di Kabupaten Lebak. 

Jalurnya sepi tanpa penerangan dan berupa jalan beton yang baru jadi. Kanan-kirinya seperti rawa-rawa dan lahan gambut, terlihat agak rawan. Pedagang bensin eceran mengonfirmasi kecemasan saya.

“Lepas Magrib emang cukup bahaya, Mas.” 

Dia menerangkan sambil menuangkan Pertalite menggunakan corong. Bangun siang lalu memilih jalur alternatif (yang sudah pasti sepi) adalah ketololan membahayakan nyawa. 

Setelah melalui jalur yang banyak turunan dan tanjakan, melintasi perkebunan di daerah Jasinga, sampailah saya di Bogor dengan selamat. Baru saya mematikan Honda Beat yang mesinnya menderu itu, Gogon membanjiri saya dengan ketololan lain. Dia baru saja kena tipu saat hendak membeli carrier via Instagram. Kami sudah mengurusnya ke kepolisian. Tapi, yah, tentu kalian bisa menebak bagaimana akhirnya.

Niatnya petualangan, malah jadi survival 

Ingat, kami berdua adalah anak yang baru wisuda dan hanya berbekal sedikit uang tabungan serta pemberian orang tua. Terjebak dalam kondisi uang menipis, saya mengusulkan cari kerjaan sampingan. Kebetulan, sebelum wisuda, saya mendapat tawaran kerja dari Ridwan, teman SMP yang sudah lama bekerja di satu perusahaan AMDAL di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. 

Kami setuju dan paginya segera berangkat ke Jakarta Selatan. Lantaran belum mengenal jalanan, rasanya jadi cukup sulit mengemudikan Honda Beat di jalanan Parung yang ramai. Hasilnya, saya menabrak bumper mobil Brio putih berplat Cikampek. 

Sial, pengendara mobil adalah seorang ibu-ibu yang meminta ganti rugi. Sudah pasti kami tidak bisa membayar saat itu juga. Sial 2 kali, ijazah S1 yang masih segar itu menjadi jaminan. Dia meminta ganti rugi sebesar Rp1,2 juta. Niat kami mencari bekal perjalanan malah dihantui oleh harga bumper mobil yang remuk. 

Sesampainya di kantor Ridwan, kami langsung mengikuti serangkaian tes kerja. Hasilnya, saya lulus dan Gogon tidak, tanpa kami paham betul alasannya. 

Pekerjaannya adalah menjadi petugas sampling tanah, air, udara, hingga biota sebagai media untuk diteliti di laboratorium. Saya bisa ikut kerja 3 sampai 4 hari dalam seminggu dan mendapat bayaran per hari sebesar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu tergantung lokasi dan berat pekerjaannya. 

Saya pernah mencicipi hampir semua media untuk sampel. Seperti masuk ke septic tank di satu hotel di Karawang untuk mengambil sampel tanah, tidur di parkiran mall di PIK untuk mengambil sampel udara, hingga menimba sampel pasir dan karang di Kepulauan seribu. 

Terakhir adalah yang paling berkesan karena dilakukan di atas kapal yang mengambang di laut dengan kedalaman 20 meter, membuat badan saya serasa melayang selama 2 hari. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, saya pulang ke Bogor naik KRL. Untungnya ada stasiun kecil dekat dengan rumah Bogor di kecamatan Tanah Sareal itu.

Baca halaman selanjutnya: Haru dan seru di atas Honda Beat.

Kena tilang, SIM “lenyap”

Saya mengumpulkan uang dari hasil bekerja, sedangkan Gogon menjual PS4-nya di Lampung. Ini siasat kami untuk membayar ganti rugi. Dua bulan bekerja, akhirnya bumper mobil terbayarkan. 

Tapi tidak cukup sampai disitu, Jakarta masih ingin “keras” pada kami. Karena aturan jam, saya kena tilang di Jalan Sudirman yang penuh gedung pencakar langit itu. Biaya denda yang mesti saya bayar sebesar Rp500 ribu. SIM saya ditahan dan tidak saya tebus sampai sekarang. Lalu, petualangan kami di Jakarta ditutup dengan ikut demo #ReformasiDikorupsi di Senayan naik Honda Beat. Hampir terjebak kerusuhan demo, kami langsung pulang ke Bogor. 

Keesokan harinya, kami langsung bertolak ke Bandung. Namun, baru 15 menit keluar dari rumah, giliran Gogon yang kena tilang di sebuah lampu merah sekitaran Kebun Raya Bogor

“Kalian menyalip mobil dari sebelah kiri.” Tegas Satlantas yang sigap menyetop dan mencabut kunci motor Honda Beat itu. Kami menebak isi pikiran petugas satlantas itu: “Wah ada motor berplat BE dikendarai 2 bocah dekil yang berkeliaran di wilayah kekuasaan saya nih,” membuat dia bebas melayangkan surat tilang dengan alasan paling kocak yang pernah kami dengar. 

Dengan pikiran yang masih heran dan sedikit dongkol, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung. Ingat, kali ini, tidak ada dari kami yang punya SIM. 

Perhatikan semua rambu-rambu jalan dan lengkapi surat-surat. Dua hal yang mesti kamu ingat kalau ingin melakukan perjalanan dan melewati kota-kota besar macam Jakarta, Bogor, hingga Jogja. Dan yang tak kalah penting, berdoa supaya Satlantas dalam mood yang baik.

Berantem dengan Gogon di atas Honda Beat

Hanya berbekal surat tilang, sampailah kami di Bandung. Dan, serunya, kami langsung menuju Gedung Sate untuk ikut demo (lagi), masih dalam suasana #ReformasiDikorupsi. 

Aksi cukup tenang sampai seorang dari dalam pagar gedung DPRD Bandung melempar sesuatu ke arah massa. Situasi kian memanas sampai polisi menembaki semua orang, bahkan yang bukan pendemo, dengan gas air mata ke arah Lapangan Sabuga. Kami sempat terjebak dan gas air mata yang makin menyebar sampai ke permukiman warga. 

Kami harus keluar-masuk gang sempit sambil menahan perih dan sesak akibat gas air mata. Dalam kekalutan itu, saya dan Gogon sempat bersitegang karena berdebat perihal memilih jalan. 

Saya dan Gogon adalah sahabat sejak SMA. Walaupun banyak perbedaan pandangan, ketegangan yang kami alami kali ini sedikit berbeda. Bisa jadi karena kesialan yang cukup intens, amarah yang tertahan, dan situasi pelik. Semua itu terakumulasi dan meledak di atas Honda Beat. 

Setelah menemukan jalan keluar, akhirnya kami sampai di kos Angga, teman saya, di sekitar Dago. Kos mewah seharga Rp3 juta per bulan itu kontras dengan keseharian kami yang serba prihatin. 

Selama 3 hari di sana, Gogon menyelesaikan urusannya di Lembang. Saya hanya berdiam diri di kos sambil menamatkan game Spiderman di PS4 milik Angga. Me time buat saya dan Gogon cukup memberikan jeda untuk hari-hari kami di atas Honda Beat yang kacau banget.

Haru di Desa Tanjungwangi

Setelah semuanya selesai, Gogon merekomendasikan Desa Tanjungwangi di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, sebagai destinasi selanjutnya. Kata Gogon, pemandangan di sana “cukup menarik”.

Kami berangkat naik Honda Beat saat hari sudah siang dan berhenti di sebuah warung untuk beli rokok. Di sana, kami sempat mengobrol dengan pemilik warung, seorang bapak paruh baya yang kebetulan hansip dan mantan RT di desa itu. Karena tahu kami tidak punya tujuan dan hari menuju gelap, dia mengajak kami kami untuk bermalam di rumahnya yang mungil. Si bapak tinggal bersama istri dan anak laki-laki yang umurnya lebih muda dari kami. 

Di belakang rumahnya terdapat sungai yang cukup lebar dengan terasering membentengi sawah padi di seberangnya. Sebuah pemandangan spektakuler untuk hari-hari keluarga kecil yang bahagia itu. 

Kami menghabiskan sore di pinggir sungai sambil menyeduh kopi dengan kompor portable sembari membincangkan beberapa hari yang kami lewati dengan kurang lancar. Termasuk nasib ketika membawa Honda Beat tanpa ada yang punya SIM. Suram sekali. Bagaimana sampai ke Jogja kalau seperti ini.

Malam di desa Tanjungwangi sangat hening. Membuat kami lupa akan riuhnya Jakarta, Bogor, Bandung, dan segala permasalahannya. Malam itu, pemilik rumah menjamu kami dengan lauk ikan goreng kering, sambal terasi, dan petai yang ditumis “cuma” pakai garam. Mendapat jamuan dari orang yang tidak kami kenal, dengan bahan-bahan yang mungkin hanya cukup untuk mereka bertiga, membuat saya terharu.

Air Mata saya hampir tumpah di suapan pertama. Nikmat masakan si ibu seperti membasuh awal perjalanan saya dan Gogon yang penuh kebodohan dan masalah. Tapi air mata itu urung tumpah karena lirik “Kesadaran adalah matahari,” tetiba melintas di kepala saya. Malam itu kami habiskan dengan berbincang-bincang dengan pemilik rumah dan Pak RT yang menahan KTP kami, untuk jaga-jaga.

Mencoba kembali ke Bogor

Bangun sejak pagi adalah waktu yang tepat untuk menikmati suasana sungai dengan mandi dan mencuci baju. Kami lalu bersantai di sawah yang sedang hijau-hijaunya sambil menyusun rencana berikutnya, yaitu jalan ke arah pantura sebelum balik ke Bogor lagi untuk menebus SIM Gogon di pengadilan. Yah, Honda Beat yang kami kendarai kudu “diamankan” dulu.

Hari sudah siang saat kami memutuskan jalan tanpa arah dan langit tiba-tiba sudah gelap padahal kami baru sampai Subang. Akhirnya kami memutuskan cari masjid di pinggir jalan ramai agar lebih aman. 

Tapi entah masjid itu tertutup di luar jam ibadah atau cuma takut dimasuki musafir random seperti saya dan Gogon. Setelah salat Isya, semua pintu dan gerbang dikunci, kami tidur di teras masjid dan terkurung. 

Perlu diingat, ketika kamu tidak paham betul dengan daerah yang kamu mampir, rumah ibadah adalah tempat terbaik untuk bermalam. Dari masjid di sekitar Alun-Alun Subang kami meluncur ke arah pantura, melewati jalan Raya Kalijati yang tidak terlalu lebar, lalu mampir untuk tidur siang di pondokan pinggir sawah.

Saat bangun, sudah ada 2 orang bapak-bapak di sebelah kami, sepertinya pemilik sawah. Melihat Honda Beat dengan plat motor Lampung dan kondisi fisik kami yang kurus serta dekil, membuat mereka melemparkan banyak pertanyaan.

“Oh jadi, mas-mas ini kayak yang di YouTube itu ya? Jalan-jalan terus direkam?” Bapak 1 bertanya. 

“Enggak, Pak. Jalan aja.” Jawab saya singkat. 

“Terus, tujuannya apa?” Susul Bapak 2. 

“Cuma pengin lihat aja desa-desa di Pulau Jawa, pengen interaksi langsung dengan warganya, Pak.” Jawab Gogon. 

Kedua bapak itu tidak bisa menutupi ekspresi heran di wajahnya. 

Kenangan di Cirebon

Matahari sudah turun saat kami memasuki Cirebon. Tanpa tujuan, Gogon yang memantau Google Maps membelokkan Honda Beat kami ke Jalan Ki Ageng Tepak, jalur alternatif menuju Kuningan. 

Sungai yang tercemar produksi batu alam mengalir di sebelah kiri jalan. Sementara itu, di sebelah kanan, area sawah mendominasi dengan latar perbukitan yang berbaris. Sinar matahari sore mengintip dari salah satunya. Gunung Ciremai juga searah lurus dengan aspal mulus yang kami lalui. Mendapat suguhan pemandangan sore secantik ini, kami memutuskan istirahat sejenak sambil memotret pemandangan dari pinggir jalan. Tiba-tiba, seorang bapak mendekat. 

“Lah, ini plat Lampung!” Teriaknya mengejutkan kami. “Saya juga dulu di Lampung, di daerah Pasar Bambu Kuning.” Lanjutnya. 

Langsung saya sambar, “Wah, itu mah dekat rumah saya, Pak. Saya di Lebak Budi.” 

“Terus ini mau kemana?” Tanya bapak itu lagi. 

“Belum tahu, Pak. Belum ada tujuan.” Jawab Gogon. 

Tanya jawab singkat, belum saling memperkenalkan diri, obrolan itu ditutup dengan kalimat: “Ya sudah, ayok ke rumah. Tapi bukan teroris, kan?” 

Ketika ada tawaran seperti itu, sudah pasti kami iyakan. Hal ini juga berlaku untuk kalian yang ingin menjadi musafir. Jangan sok-sokan nolak ajakan untuk menumpang di rumah warga, karena itu adalah rezeki orang-orang di perjalanan. Belum tentu kamu bisa menemukannya di kota besar macam Jakarta, Bandung, atau Jogja.

Tidak sampai 1 kilometer dari Jalan Ki Ageng, sampailah kami di rumah Pak Maman. Beliau memperkenalkan istri dan anak perempuannya yang masih SMA.

Kekeringan dan pesta politik di Cirebon

Barangkali kamu masih ingat, tahun 2019 adalah tahun di mana kemarau berlangsung lebih lama dari biasanya. Hal ini berdampak pada gagal panen di banyak daerah yang kekurangan air. Sebagian besar sawah di Cirebon salah satunya. Selain itu, banyak aliran sungai yang tercemar limbah pabrik batu alam yang saya ceritakan tadi.

Sepetak ladang milik Pak Maman yang tidak memungkinkan untuk ditanami padi, akhirnya digunakan untuk menanam bonteng. Ini sebutan untuk timun suri bagi orang Cirebon. Sebagian aktivitas kami selama seminggu habis untuk memanen bonteng. 

Waktu itu juga sedang musim kampanye pemilihan kades. Kebetulan salah satu calonnya masih kerabat Pak Maman. Kami banyak ikut di agenda kampanye. Kami juga berkesempatan salat Jumat di Masjid Agung Cirebon, “nyore” di kaki Gunung Ciremai, dan banyak kegiatan lainnya. Saat akan berpamitan di suatu pagi, istri Pak Maman membekali kami dengan uang.

“Untuk makan siang di jalan, jangan ditolak,” katanya. Cirebon amat berkesan bagi saya dan Gogon.

Menebus SIM demi keamanan tunggangan kami, Honda Beat

Di Bogor, setelah menebus SIM, kami beristirahat di Perpustakaan Cinta Baca sebelum bertolak ke Pangalengan untuk nge-camp di Sunrise Point Cukul. Untung Honda Beat kuat diajak menanjak.

Semalam di sana dan mendapat suguhan landscape serta suasana desa yang menakjubkan memberi kami ide untuk berkeliling di Desa Sukaluyu. Mampirlah kami di sebuah warung makan kecil di tengah desa. 

Teh Erni sedang meniriskan cireng saat kami masuk ke warung mungilnya. Kebetulan perut kami sudah bunyi sejak bangun tidur. Sembari menyantap cireng itu, tanya jawab singkat tentang situasi kami pun terjadi. Lalu, dia mengajak kami untuk bermalam di rumahnya. Teh Erni tinggal bersama suami dan 3 anak lelakinya yang masih kecil.

Kekeringan juga terasa di desa ini. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, kebanyakan warga mesti mengambil air dengan jerigen besar tiap hari dari Situ Cileunca dan Situ Cipanunjang. Danau terbesar di sana kian hari makin menyusut. 

Warga memanfaatkan lahan yang terbuka di sisi danau untuk menanam sayur. Yah, walaupun saat itu semua petani tomat merugi karena harga anjlok. Nah, danau yang mengering menjadi tempat terbaik untuk menjala ikan bagi warga, tidak terkecual A’ Asep, suami Teh Erni. Ikan hasil tangkapannya jadi menu makan malam kami hampir setiap hari. Petai yang ditumis simpel dengan garam juga jadi menu andalan di rumah ini. 

Menuju Tasikmalaya dan kelak Jogja

Petualangan mesti berlanjut. Kami lumayan riang siang itu ketika mengendarai Honda Beat andalan. Maklum, kami pergi membawa sekantong besar tomat ceri dari keluarga kecil yang hangat itu. Tomat ceri itu dari kebun mereka sendiri. 

Perjalanan membawa kami sampai Tasikmalaya, ke rumah Penyok, teman dari Lampung juga. Kami tidak sempat berkeliling ke desa-desa di sini karena mesti cepat mendarat di kota yang katanya paling istimewa, kota yang hanya memiliki “Pulang, Rindu, dan Angkringan.”

Perjalanan dari Tasik ke Jogja kami tempuh selama 8 jam. Kami jalan santai bersama Honda Beat dan dan banyak berhentinya. Begitu sampai di Jogja pukul 8 malam, kami langsung menumpang di kos Esan, teman dari Lampung yang sedang kuliah. Tempat pertama yang kami kunjungi di Jogja adalah sebuah toko buku yang nantinya jadi tempat saya bekerja.

Setelah berkeliling di banyak tempat di Jogja, saya dan Gogon memutuskan nge-camp di Waduk Sermo, Kulon Progo, selama 2 hari. Kami lalu naik ke arah Kalibiru, Desa Girimulyo. Membentangkan hammock di sebuah bukit dekat permukiman warga kami bermalam. Sebelumnya, kami menitipkan Honda Beat andalan di rumah sepasang suami-istri yang menawarkan satu ruangan kosong di rumahnya sebagai tempat tidur kami keesokan harinya.

Kenangan indah di Girimulyo, Kulon Progo, Jogja 

November 2019, hujan mengguyur sebagian besar wilayah di Jogja. Desa Girimulyo yang berada di Perbukitan Menoreh memasuki musim peralihan yang cukup ekstrem. Angin kencang menumbangkan banyak pohon besar dan merusak rumah-rumah. Ikut gotong-royong bersama warga mengevakuasi pohon tumbang menjadi satu agenda selama seminggu di sana. 

Sebagai informasi, warga di kecamatan ini terbagi menjadi 3 penganut agama berbeda; Kristen, Buddha, Islam. Setiap agenda keagamaan salah satu warga, seluruh masyarakat saling membantu. Minimal menghadiri acara seperti syukuran sampai hari raya. Kebetulan kami berkesempatan ikut di salah satu agenda syukuran di rumah warga beragama Buddha. Sesekali, saya yang masih tinggal di Sleman, menyempatkan mampir ke desa yang guyub ini. 

Girimulyo, desa eksotis di perbukitan menoreh itu adalah desa terakhir yang Gogon dan saya sambangi bersama. Selanjutnya, saya “bersandar” di Jogja untuk bekerja hingga sekarang. Sementara itu, Gogon melanjutkan petualangan “keliling Indonesia” yang lebih epik dan terjebak aturan PPKM di Dompu, NTB. Dan ya, dia masih setia bersama Honda Beat andalan itu.

Menikmati segala kesulitan yang muncul selama perjalanan

Sejak awal kami sudah paham bahwa perjalanan ini tidak mungkin mulus tanpa halangan. Kesialan di Jakarta dan Bogor saya kira sudah jadi alasan kuat untuk membuat kami putar balik pulang ke rumah. 

Namun, di saat yang sama, orang-orang baik yang kami temui di sepanjang perjalanan memberi semangat kami untuk meneruskannya. Di Lampung, provinsi yang memiliki image sebagai pencetak begal dan bandit saja, kami sering bertemu dengan orang-orang baik, apalagi di Jawa. 

Pemikiran ini memang naif, tapi justru memberi kami keberanian untuk yakin bahwa masih banyak orang baik di Nusantara. Yah, mungkin kami cuma sedikit beruntung. Kalau kata WS Rendra, tenaga gaib memupuk jiwamu.

Mungkin perjalanan ini cuma manifestasi dari bait “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Tapi sungguh, waktu dan materi yang “dikorbankan” dalam petualangan ini tidak mengharapkan sebuah monetisasi konten apalagi pengakuan publik. 

Sejak SMA, kami hanya gemar menghabiskan waktu di alam terbuka dan antusias ketika bisa berinteraksi dengan warga sekitar. Kemudian mencoba ke tempat yang masih asing untuk bertemu orang yang tidak kami kenal. 

Ini bisa disebut sebagai tingkatan lain dari hal yang kami senangi. Saya juga tidak cukup puas menikmati tempat indah dari Instagram atau membaca peristiwa lewat Twitter. Saya ingin melihat dan menyentuhnya secara langsung. Tentu hal ini sepaket dengan segala risiko serta konsekuensi yang akan saya telan sendiri. 

Hanya ingin mengarungi waktu

Tidak jarang, kami mendengar kalimat “Wih, seru ya kalian bisa jalan-jalan gitu,” yang keluar dari mulut beberapa teman. Biasanya langsung saya timpali “Ya, jalanlah kalau kelihatannya seru.” Dan sudah pasti, ekspresi heran muncul dari wajah mereka ketika kami mulai menceritakan alasan untuk melakukan petualangan konyol bersama Honda Beat ini. 

Lalu Penyok, teman saya di Tasik itu pernah melempar pertanyaan: “Kira-kira, perjalanan ini bakal membentuk kalian jadi orang yang kayak apa setelahnya?” 

Saat itu, kami bertiga sedang duduk di antara deretan pinus Ciherang. Cuma ada diam dan bunyi isapan rokok yang dalam. “Entahlah, aku cuma ingin duduk bersila dan mengarungi waktu,” batin saya sok keren.

Penulis: Razi Andika

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Honda BeAT: Motor Honda yang Seperti Lahir Hanya untuk Lansia dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version