“Fuck Tha Police” dan “Bayar Bayar Bayar”
Niggaz Wit Attitude (NWA) adalah pioner dari musik gangsta rap era 80 sampai 90-an. Namun, super grup ini tidak hanya bicara kehidupan glamor ala gangster. Mereka juga menjadi corong perlawanan. Terutama terhadap isu rasial dan kekerasan polisi. Lagu “Fuck Tha Police” adalah puncaknya.
Ice Cube, MC Ren, dan Eazy-E meneriakkan kemarahan dalam rima yang padat. Disempurnakan oleh musik gubahan Dr. Dre dan DJ Yella. Kombinasi apik ini menjadi seruan perlawanan yang menakutkan kepolisian Amerika Serikat dan FBI. Akhirnya pembredelan menjadi jawaban. Apakah berhasil? Kita bahas nanti.
Sukatani sendiri adalah duo punk yang memadukan lirik ganas, musik cadas, dan penampilan ala Pussy Riot. Twister Angel merangsek melalui vokal, Alectroguy menyayat dengan distorsi gitar. Karya mereka, “Bayar Bayar Bayar”, jadi lagu yang dinanti penggemar setiap manggung.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” begitu sederhana. Liriknya juga lugas tanpa bunga. Namun kesederhanaan ini membuatnya mudah diingat. Lagu ini adalah muara dari kemarahan terhadap polisi yang serba bayar. Marah yang lugas, sederhana, namun kini terbukti berbahaya.
Buktinya adalah penghapusan “Bayar Bayar Bayar” dari semua platform resmi Sukatani. Diikuti video klarifikasi yang berisi permintaan maaf atas lagu yang (dianggap) menyinggung instansi kepolisian. Namun, apakah penghapusan dan klarifikasi menghentikan kemarahan dalam “Bayar Bayar Bayar”?
Streisand effect dan otoritas yang mati langkah
Jawaban dari setiap pembredelan karya selalu sama. Karya itu akan makin menyebar dan tertanam dalam benar masyarakat. Makin ditekan, karya akan makin membuat penasaran. Bukannya melemah, ia akan makin lantang terdengar.
Fenomena ini disebut streisand effect. Ketika ada upaya pembredelan dan penghapusan karya, masyarakat akan makin penasaran. Mereka akan membagikan karya tersebut lebih luas. Dalam kasus NWA, pembredelan “Fuck Tha Police” malah melentingkan mereka makin tinggi. Bahkan ancaman FBI dan represi aparat jadi alat promosi gratis.
“Bayar Bayar Bayar” dari Sukatani juga sama saja. Sejak muncul video klarifikasi, lagu ini tidak meredup. Bahkan makin disebarkan dan didengarkan masyarakat. Lagu yang awalnya kurang terkenal kini menjadi trending topic dan pembicaraan.
Semuanya makin sempurna. Guru yang berusaha menutup identitas demi bersuara kini jadi simbol perlawanan. Karya mereka yang sangat “subkultur” kini dicari banyak orang yang penasaran. Polemik pasti muncul, namun dukungan mengalir deras seperti banjir yang siap merobohkan gerbang keangkuhan aparat.
Inilah streisand effect, fenomena pembredelan yang menjadi bumerang. Bukannya menutupi dan menghapus kritik, ia malah memicu penasaran. Meskipun framing buruk disematkan, hasilnya adalah viral yang bagai api membakar sabana. Benar kata Eazy-E, “Every publicity is good publicity.”
Sukatani berhak berkarya, kita juga sama
Penghapusan “Bayar Bayar Bayar” masih jadi misteri. Banyak yang marah, namun ada suara skeptis. Apapun yang terjadi, api sudah berkobar. Apakah Sukatani harus minta maaf? Yang jelas, band ini jadi simbol baru pada momen demonstrasi #IndonesiaGelap.
Pembredelan adalah keniscayaan. Cepat atau lambat, apa yang disembunyikan otoritas akan terbuka makin lebar. Pramoedya Ananta Toer yang baru saja diperingati sudah membuktikan.
Lalu setelah ini apa? Pembredelan terlihat tidak akan surut. Maka suara kritis bersama lagu Sukatani harus ikut lantang! Bukankah kritik adalah bahasa paling jujur? Jangan gentar, karena kita semua berhak bersuara dan berkarya. Jangan sampai hidup kita berakhir dengan bayar bayar bayar!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Wajar Ada Orang yang Mau Keluar Duit Ratusan Juta demi Masuk Polisi dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.










