Kamu Tak Harus Membaca Seluruh Isi UU Cipta Kerja untuk Ikut Menolaknya

cipta kerja

MOJOK.COBanyak orang menganggap kalau ingin menolak UU Cipta Kerja maka sudah seharusnya membaca seluruh isinya terlebih dahulu.

“Sok-sokan nolak sampai ikut demo segala, memangnya kamu sudah baca semua isi UU-nya?”

Pertanyaan miring dan menjengkelkan tersebut kerap dilontarkan kepada orang-orang yang menolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sudahlah menjengkelkan, pertanyaan itu juga sering dijawab secara serampangan, “Sudah!” Sementara kita tahu pertanyaan tersebut sebenarnya sarat akan jebakan. Si penanya kebanyakan belum membaca juga. Pertanyaan tersebut sejatinya lebih sebagai pressure untuk menyerang psikologi lawan saja.

Pada kenyataannya, urusan menolak dan mendukung itu tak melulu soal sudah membaca atau belum.

Perlu diingat, belum atau malah tidak membaca itu bukanlah sebuah kesalahan atau bahkan dosa. Santri percaya pada apa yang dikatakan kyai, walau belum membaca. Mahasiswa mencerna apa yang disampaikan dosen, walau belum membaca. Presiden menandatangani suatu produk hukum, walau bel… eh, kalau ini pasti sudah membaca lah ya, nggak mungkin seorang presiden nggak baca dokumen yang ditandatanganinya, nggak mungkin banget. Iya, nggak mungkin.

Kata kuncinya satu: trust. Pokoknya sami’na wa atho’na.

Tanggung jawab tetap ada, tidak sekadar taklid tanpa memahami persoalan dasarnya dan sanggup berpikir. Itu saja. Sama halnya dalam persoalan omnibus law. UU “super” yang berusaha menyelaraskan 79 UU yang terdiri dari seribu pasal dan lebih dari 10 klaster tersebut. Awam hanya perlu menitipkan kepercayaan pada pihak yang dipercayainya. Apa keliru kalau buruh menaruh kepercayaan pada tempatnya berserikat? Apa salah menjadikan demo sebagai media untuk menyuarakan kepentingan mereka?

Bagi yang belum membaca produk hukum berisi lebih dari 900 halaman tersebut, tidak perlu risau dan ragu kalau memang punya niat menolak. Banyak ahli dari beragam keilmuan sudah membedahnya. Bahkan sejak RUU tersebut masih dalam bentuk naskah akademik.

Di Bulaksumur, dosen-dosen senior dari fakultas hukum menjadi motor usulan ke pemerintah untuk mencabut RUU tersebut bahkan sejak masih orok. Beberapa nama besar seperti Sigit Haryanto (dekan), Maria Sumardjono, Zainal Mochtar, Eddy Hiariej dan tokoh-tokoh lainnya ada di barisan penolak. Bukan hanya asal menolak, mereka telah menguliti RUU Cipta Kerja tersebut.

Alasannya sangat mendasar: cacat formil, kurang transparan, dan kurang melibatkan masyarakat atau minim aspirasi publik.

Secara khusus, Maria Sumardjono yang pakar hukum agraria itu menyorot investasi apa yang sebenarnya ingin disasar pemerintah? SDA? Tentu saja ini menjadi pertanyaan menarik, sebab kita tidak tahu pasti seberapa ekstraktif investor akan diberi kemudahan.

Siapa saja mereka? Mewakili kepentingan siapa? Bagaimana posisi masyarakat adat yang kerap kalah dengan korporasi? Berapa banyak lapangan kerja yang dibuka? Bagaimana aspek keberlanjutan lingkungan akan dikelola? Secara kasar, kita sudah bisa menebak bagaimana jawabannya.

Buat yang paham eksternalitas, tentu bakal langsung terpelatuk, njondil, mengapa banyak investor global mengkhawatirkan RUU tersebut? Alasanya ya karena mereka tidak mau disebut bagian dari kerusakan lingkungan. Sesederhana itu, tidak perlu berpikir kita dikontrol kepentingan asing.

Tidak ada yang keliru menjadikan Indonesia sebagai negeri tujuan investasi utama sebab itu akan membuat daya saing kita melonjak. Namun bagaimana sebenarnya aspek kelembagaan kita?

Berbeda dengan fakultas hukum, di fakultas ekonomi, hanya ada segelintir yang tidak setuju dengan omnibus law. Entahlah, bisa jadi ini karena silabus yang digunakan di sana memang cenderung prokapitalisme. Tetapi dari yang segelintir itu, muncul Rimawan Pradiptyo, kepala departemen ilmu ekonomi, yang secara telak menyebut bahwa solusi yang ditawarkan RUU Cilaka tidak menjawab masalah yang dimunculkan dalam naskah akademiknya; korupsi tinggi, daya saing di bawah Thailand dan Malaysia, FDI rendah, dan perizinan rumit.

Mengapa menurut Rimawan semua kemudahan investasi yang ditawarkan dalam RUU Cipta Kerja tidak akan sebaik jika perbaikan aspek kelembagaan (KPK, BI, OJK, Kementerian-kementerian) diperbaiki? Karena tidak ada negara maju yang korupsinya tinggi. Tidak ada negara maju yang tidak mengatur sistem insentif yang rasional dan manusiawi. Sementara yang ditawarkan dalam RUU tersebut fokus pada upaya menarik investasi.

Terpenting, kita baru menghadapi pandemi. Sudah selayaknya semua sumberdaya dialokasikan untuk penanganannya. Omnibus law, sejak awal dibidani tujuannya, sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengatasi pandemi. Cara mengesahkannya pun terbilang lancung.

Sekarang, untuk menyikapinya saja, oleh para bucin pro-omnibus law kita disuruh baca 900 halaman dulu. Macam orang lupa dirinya itu siapa. Sudah tahu peringkat literasi Indonesia berada di peringkat 60 dari 61. Wong orang mau menyempatkan diri buat baca terms and conditions yang cuma beberapa halaman saat men-download aplikasi saja itu sudah sangat luar biasa, je.

Mbok ya kita ini sadar diri. Paham kearifan lokal. Ini Indonesia. Sekali lagi, I-N-D-O-N-E-S-I-A. Dan kita ada di dalamnya. Kalau ada kekurangan, apa susahnya memperbaiki bersama? Baca bersama saja, jangan malah nyuruh baca padahal dirinya juga belum tentu baca.

Bahkan tulisan pendek ini pun belum tentu dibaca sampai tuntas. Bahkan bisa jadi cuma dibaca judulnya saja. Atau bahkan malah nggak dibaca sama sekali. Gitu kok berani-beraninya nyuruh orang baca dokumen 900 halaman.

BACA JUGA Jokowi Bukan Atta Halilintar, Marahnya ke Menteri Tak Perlu Jadi Konten dan Diumbar-umbar dan artikel Haryo Setyo lainnya.

Exit mobile version