Kampanye “Bangga Produk Indonesia” Jelas Nggak Mempan Hadapi Retail China

Retail China sediakan produk yang pasti laku.

Kampanye Bangga Produk Indonesia Itu Nggak Mempan Hadapi Retail China Seperti KKV

Ilustrasi Kampanye Bangga Produk Indonesia Itu Nggak Mempan Hadapi Retail China. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMau buka bisnis retail itu harus paham sejarah dulu. Kalau nggak, bakal dilibas sama retail China macam KKV, Miniso, atau Usupso.

Industri retail itu memang tidak ada matinya. Bahkan ketika ancaman resesi sedang menjadi topik kekinian di berbagai kalangan, industri retail diperkirakan tetap tumbuh sebesar 5 persen tahun 2023 ini. 

Dua perusahaan teratas di Fortune Top 5000 Company pun masih menguasai industri retail, yaitu Walmart dan Amazon. Pendapatan kedua perusahaan tersebut lebih tinggi daripada Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia saat ini. 

Nah, industri retail juga menjadi industri yang paling dinamis dan cepat sekali inovasinya. Bisa dipastikan, industri retail sasarannya pasti wilayah-wilayah yang penduduknya banyak. Namun, tidak semua wilayah dengan penduduk gemuk itu akan mereka sasar, lihat lagi daya belinya. Nah, itu menjelaskan kenapa Walmart dan Amazon tidak kencang gaungnya di sini kan?

Pesta retail China di Indonesia 

Terus Indonesia emang nggak menarik buat industri retail gitu? Jangan salah, Indonesia itu menjadi ladang terbuka yang sangat menarik bagi industri retail asing. Beberapa tahun terakhir ini, kita bisa melihat industri retail yang mengusung konsep home improvement semacam IKEA dan Mr DIY. Kedua retail yang berasal dari Swedia dan Malaysia itu sudah akrab di telinga dan cukup bikin waspada dompet kita. 

Ada juga industri retail yang mengusung konsep lifestyle semacam Miniso, Usupso, dan yang terbaru menyerbu Indonesia saat ini adalah KKV. Industri retail yang mengangkat tema lifestyle sangat agresif masuk pasar Indonesia dan yang menarik, mereka semua berasal dari China daratan. 

Salah satu pemain retail internasional baru yang masuk ke pasar Indonesia dengan mengusung konsep lifestyle adalah KKV. Mengusung tagline, “Making Your Life Better” dengan warna gerai kuning terang. Berbeda dengan pemain retail lifestyle sebelumnya yang mengandalkan home brand dan konsep Jepang untuk masuk Indonesia. 

Pada laman websitenya, KKV mengidentifikasikan bisnisnya dengan fokus pada gaya hidup trendi dan kreatif. Mereka menghadirkan koleksi pilihan produk impor dan lokal serta menjualnya w-brand atau with brand. KKV juga menjamin orisinalitas semua merk karena sudah melalui proses pemilihan dan di bawah pengawasan bea cukai dan pemerintah. Sehingga kualitasnya terjamin dan harga terjangkau menjadi unggulannya.

Jeli lihat demografi Indonesia 

KKV adalah perusahaan retail yang mulai beroperasi tahun 2015 dan masuk ke Indonesia tahun 2019. Saat ini terdapat 2.000 lebih cabang di seluruh dunia dan menargetkan untuk membuka 200 cabang di Indonesia pada tahun 2021. Yogyakarta, menjadi salah satu wilayah gemuknya. 

Mereka menjual semua produk lifestyle dari jepitan rambut sampai bunga-bunga plastik dengan brand asli produsennya. Dari masker wajah sampai alat tulis semacam jangka. Dari Lego untuk usia balita hingga miniatur-miniatur segala rupa untuk koleksi. Mau cari perhiasan ala Korea Style yang lagi nge-hits di Indonesia atau segala macam ukuran kanvas lukisan dari sebesar telapak tangan hingga yang besar? Semua ada.

Mayoritas produknya adalah produk China, alias barang-barang impor semua. Jelas KKV ini adalah offtaker produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) hingga Industri Kecil Menengah (IKM) China. Khusus untuk pasar Indonesia, mereka menyediakan gondola end untuk produk-produk mie instan Korea yang ragamnya paling komplit. Pilihan halal dan non-halal ada dan dipisahkan tempatnya. Tentu saja, ini karena mereka membaca pasar demografi Indonesia dengan jeli yang sedang gandrung-gandrungnya produk makanan Korea. 

Produk UMKM Indonesia kalah saing

Saya hitung minimal ada 45 jenis merk mie instan Korea. Sedang mie instan Indonesia yg dipajang di gondola mereka ada beberapa merk, seperti Nissin, Best Wok, dan Lemonilo. Satu lagi produk UMKM Indonesia yang saya lihat yaitu Sundoro yang memiliki dua varian rasa, bakmi godog Jogja dan bakmi goreng Jogja.

Sayang, letak mie-mie instan lokal ini tidak di lokasi yang strategis pada wall of noodles mereka. Perlu pengamatan khusus sampai kita menemukan produk-produk lokal ini.

Di lorong makanan ringan, ragamnya juga luar biasa. Produk Indonesia macam Astor, Roma, dan produk Grup Mayora ikut dipajang di sini dengan kemasan-kemasan berbeda dari produk mereka yang bisa kita jumpai di swalayan-swalayan Indonesia. Bersaing ketat dengan produk-produk snack dari Thailand, Malaysia, Korea, dan tentu saja China. Kemasan makanan ringan kita, untuk segmentasi KKV ini tampaknya masih banyak yang kalah bersaing dengan snack impor.

Hal yang cukup menarik ada di bagian kosmetik. Brand lokal dan besar Indonesia yang tembus hanya Wardah. Justru jenama-jenama baru kosmetik Indonesia yang mengusung konsep Korea Selatan dan selama ini mengandalkan penjualan secara online yang banyak dipajang.

Wardah pun diletakkan di rak bagian ujung kanan bawah. Hanya satu varian saja. Lainnya? Tentu saja produk impor dari China, Jepang, dan Korea. 

Penggemar face mask & hair mask seperti menemukan surganya di sini. Jenis pilihan face mask-nya benar-benar luar biasa banyaknya. Bahkan ada wall of face mask juga di sini. Mau yang ampul, clay mask, sheet terus entah apalagi variannya, ada semua. Belum lagi soal urusan beragam krim yang deretan raknya panjang banget.

Tidak ada produk unggulan

Konsep KKV ini menarik karena tidak ada produk andalan. Semua produk dijual dengan skema end gondola. Artinya di dunia retail Fast Moving Consumer Goods (FMCG), semua barangnya diperhitungkan laku cepat karena semua ada peminatnya. Inovasinya adalah mereka bikin wall of product by theme. Ada mie instan, kosmetik, permainan Do It Yourself (DIY). Semua didesain secara Instagramable. Bebas selfie-selfie sepuasnya. Retail modern cross cutting dengan selfienomics, ini keunggulan KKV.

Semua ‘pulau’ di KKV ini padat pengunjung kalau weekend. Saya antre bayar ada setengah jam. Panjang mengular. Ada dua jenis pembayaran, tunai dan non-tunai dengan debit atau credit card saja. Belum bisa QRIS.

Terus terang, walau toko sedang penuh sesak yang bikin mendadak kepala migren, saya tetap masuk dan melakukan analisa pasar. Memperhatikan durasi setiap kelompok usia konsumen berbelanja di KKV. Paling lama adalah usia kelompok 13-20 tahun. Apalagi kalau mereka datangnya bareng peers atau teman-teman sebayanya. Mereka rata-rata belanjanya sedikit. Hanya beberapa kantong snack, masker wajah atau masker rambut, dan alat-alat tulis yang lucu-lucu.

Paling lama yang kedua adalah usia mama muda dengan membawa bayi atau balita. Saya melihat mereka lama juga muter-muternya di pulau-pulau KKV. Mereka banyak dijumpai di tempat permainan bayi, kemudian bagian perawatan wajah dan make up serta di home decor. Terakhir, ibu-ibu usia 50 tahunan ke atas. Mereka mendominasi tempat dekorasi rumah, bagian bunga-bunga plastik, dan peralatan dapur yang lucu-lucu banget.

Jelas, industri retail FMCG ini inelastis terhadap harga. Kondisi ekonomi macam apapun, geliat FMCG tetap ada. Harus diakui, pola China menciptakan kanal bagi produk-produk UMKM dan IKM-nya dengan konsep lifestyle store seperti ini patut diacungi jempol.

Bagaimana UMKM Indonesia?

Nah, pertanyaannya kemudian, menghadapi pola trading retail China yang seperti ini, apa iya UMKM kita bisa bersaing dengan mereka yang menggunakan strategi bisnis luar biasa seperti ini? Jujur saja, kampanye, “Cintailah Produk UMKM” ataupun “Bangga Produk Indonesia” di hadapan pasar konsumen retail itu tidak efektif ketika dihadapkan dengan pasar end consumer riil seperti ini. Nggak ada ideologi, nggak ada nasionalisme. Adanya needs and wants-nya konsumen akhir. Keuntungan bisnis retail adalah membentuk ‘needs’ nya konsumen dan mengubahnya jadi ‘wants’, jadi muncul reason to buy.

Era ekonomi digital? Jelas momentum untuk industri retail FMCG seperti ini. Pemainnya semakin padat dari luar, setelah Miniso kini KKV. Apalagi kekuatan industri retail asing ini, pasti selalu kuat strategi marketingnya dengan optimalisasi omni channel. Bukan multi channel lagi. Karena yang disasar adalah customer journey setiap pembelinya. Membeli di toko fisik dan toko online akan mengalami ‘experience’ yang sama. Terutama dari sisi harga produk saja dan pilihan pengiriman barang via belanja online-nya. 

Bayangkan strategi yang retail China susun sehingga pricing policy-nya bisa secakep itu. Artinya mereka sangat kuat di jalur distribusi dan rantai pasok produk-produknya. Menghadapi pola bisnis retail lifestyle seperti ini, yang mayoritas barang-barang impor, siapkah kita?

Bisa tidak kita membangun proses bisnis barang-barang UMKM seciamik ini? Mampukah kita mempengaruhi psikologis konsumen dengan produk-produk UMKM kita yang selanjutnya mereka kemudian mau membeli?

Pemahaman sejarah dan jejak perdagangan itu jadi strategi bisnis retail

Oh iya, fenomena Miniso, Usupso, dan kini KKV sebenarnya bukan hal yang baru. Tahun 1939-1944, produk-produk retail dari Asia Timur, banyak di Indonesia. Saat itu yang jadi acuan adalah Jepang. Mereka membuka banyak toko kelontong semacam ini dengan titik awal Purwakarta di Hindia Belanda. 

Bandung, kemudian menjadi sentra perdagangan barang-barang FMCG impor dari Jepang, hasil manufaktur mereka. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, membuat proses bisnis mereka di Hindia Belanda banyak dilanjutkan mitra lokal mereka, yaitu kelompok Tionghoa. Pusatnya pun kemudian bergeser ke Glodok, Mangga Dua sampai Pasar Baru, dan Jelambar di Jakarta.

Pemahaman sejarah dan jejak perdagangan Nusantara jadi sangat perlu kan? Terutama untuk mengembangkan strategi bisnis retail seperti yang dilakukan retail China. Saat ini justru industri-industri retail asing yang memanfaatkannya. Mereka mengoptimalkan riset pasar yang memotret sejarah, setting kewilayahan, institusi sosial, agama, dan pola hidup masyarakat Indonesia dengan jeli dan cermat. 

Semua disusun berdasarkan data dan market based. Bukan lagi zamannya jualan macam jualan kecap, semua klaim nomor satu, tapi nasibnya tetuko alias sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Ya to?

Penulis: Arum Kusumaningtyas
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA 5 Orang yang Sebaiknya Nggak Belanja di KKV dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

 

Exit mobile version