Saya mendapatkan buku Cerita untuk Sahabat ini dari acara Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta pada awal Agustus.
Baru hari ini saya sempat baca. Dan saya merasa agak terusik oleh salah satu cerita tentang seorang anggota keluarga yang pindah agama (dari Katolik menjadi Islam), ditulis oleh Filisianus Richardus Viktor dengan judul “Dia Tetap Keluargaku.”
Saya terusik bukan karena salah satu anggota keluarganya pindah agama, tetapi karena khotbah seorang pastor yang berbunyi: “Merupakan kegagalan terbesar bagi para orang tua jika mereka tidak bisa membuat anak-anaknya terus percaya kepada Yesus.” Dan seketika itu juga orang tua dari anak yang pindah agama itu menangis. (Halaman 4)
Saya kaget, terdiam cukup lama, dan akhirnya merasa jengah. Saya kok tidak setuju ya dengan pernyataan seperti ini. Bijakkah seorang pemimpin agama menghakimi seperti itu? Apakah beliau memikirkan akibat dari ucapan beliau? Apakah tindakan anak pindah agama merupakan kegagalan orang tua dalam mendidik anak? Apakah orang tua yang anak-anaknya tidak pindah agama bisa dikategorikan sebagai orang tua yang sukses?
Saya merasa kasihan dengan orang tua yang disalahkan karena anak mereka pindah agama. Orang tua sudah terluka hatinya karena si anak pindah agama, sekarang malah ditambah dengan beban penghakiman dari sosok panutan dalam agama mereka sendiri. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Padahal saya yakin, dari sekian banyak orang yang menghakimi, belum tentu mereka tahu bagaimana pergulatan orang yang memutuskan untuk pindah agama tersebut. Pun dengan pimpinan agama tersebut. Saya yakin beliau tidak mengetahui pergumulan-pergumulan yang mereka hadapi sampai pada akhirnya memutuskan untuk pindah agama. Bagaimana mereka memikirkan perasaan orang tua, bagaimana perasaan mereka ketika dihakimi masyarakat, dan bagaimana mereka dipandang sebagai pengkhianat oleh umat agama yang ditinggalkan. Kebanyakan hanya bisa melihat kuman di seberang lautan, tanpa bisa melihat gajah yang berada di pelupuk mata. Bisa menghakimi orang lain tanpa mengoreksi diri sendiri.
Pada akhir cerita tersebut, orang tua yang anaknya pindah agama belajar menerima dan mereka belajar untuk saling menghargai dan menghormati keberagaman di antara mereka. Dan mereka bisa hidup rukun dalam harmoni. Jika pada akhirnya semua mendapatkan pelajaran hidup yang berharga seperti ini, apakah ini bisa disebut sebagai kegagalan? Menurut saya ini seharusnya disebut sebagai kemenangan. Kemenangan melawan arus dan kemenangan berdamai dengan keadaan. Sungguh, Tuhan memberikan pelajaran hidup dengan berbagai kejadian-kejadian tak terduga. Dengan misteri-misteri yang tak terselami nalar manusia.
Di Indonesia, sebagian besar agama yang dianut merupakan agama yang diturunkan oleh orang tua. Anak yang lahir dari keluarga Hindu akan otomatis beragama Hindu dan anak yang lahir dari keluarga Buddha akan otomatis menganut agama Buddha. Jarang sekali (atau bahkan tidak pernah) saya temui keluarga yang beragama Kristen membabtiskan bayi mereka di Gereja Katolik dan menentukan agama yang berbeda dari agama yang dianut oleh orang tua si bayi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, anak-anak beranjak dewasa, mengenyam pendidikan, dianugrahi nalar untuk berpikir dan kehendak bebas (free will) untuk menentukan arah hidup masing-masing. Salah satu keputusan yang masih dianggap kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia adalah keputusan seseorang untuk pindah agama.
Sebelum mengikuti Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta, kami perwakilan dari Keuskupan Ketapang melakukan pembekalan sebelum keberangkatan. Berdasarkan tema AYD 2017: Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia, dihadirkanlah seorang pembicara yang merupakan seorang Muslim yang memutuskan untuk menjadi Katolik. Pada saat itu, dia menceritakan pergumulan dan pergulatan yang dia alami sebelum akhirnya mantap untuk memilih agama Katolik. Semua peserta duduk dan mendengarkan dengan antusias dan mata berbinar. Karena apa? Saya rasa karena yang memberikan testimoni adalah seseorang yang dulunya berbeda dan akhirnya memilih untuk berpijak pada tempat yang sama seperti mereka.
Apakah sikap seperti ini bisa kita tunjukkan ketika seorang diantara kita ingin menceritakan pergumulan yang sama ketika dia mau berpindah dari agama kita ke agama lainnya? Suatu pertanyaan yang menarik untuk direfleksikan.
Sejauh yang saya amati, semua orang akan menjawab bahwa “semua agama itu baik” ketika ditanya dan dimintai pendapat mengenai agama lain. Tetapi ketika saudara kita ingin pindah ke agama sebelah, hati kita akan berontak. Marah. Merasa terkhianati. Padahal sudah dikatakan bahwa semua agama itu baik.
Apakah slogan “semua agama baik” itu hanya di mulut saja, tetapi hati terbakar amarah?
Saya tidak tahu. Hati kita masing-masinglah yang bisa menjawab. Yang jelas, proses menghakimi itu ada. Dan itu jelas dirasakan oleh orang yang memilih convert his religion.
Begitu pula di lingkungan tempat saya tinggal. Ketika ada seseorang yang berproses dan akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Katolik, semua umat bersuka cita. Mereka menganggapnya sebagai domba yang hilang dan telah ditemukan. Tetapi ketika orang Katolik berproses dan merasa kebutuhan rohaninya terpenuhi dalam agama lain, semua umat bersama-sama menghakimi.
Dan saya rasa ini bukan hanya terjadi pada agama Katolik saja. Tetapi semua agama. Agamanya baik, tetapi penganutnya saja yang belum bijak dalam bertindak, sehingga dengan mudah menghakimi orang yang memutuskan untuk pindah agama.
Mari kita belajar bersama untuk tidak selalu fokus mengomentari hidup orang lain, tetapi lebih menata hidup kita sendiri.
Karena karma itu ada. Saat ini kita bahagia menyinyiri orang, suatu saat hidup kita yang akan dinyinyiri orang.
Walk a mile in their shoes.
See what they see.
Hear what they hear.
Fell what they feel.
Then maybe you’ll understand,
Why they do what they do.