Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
13 Agustus 2021
A A
Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kalau ada pertanyaan, mengapa kita punya banyak orang saleh tapi payah soal olahraga? Apa kita butuh Olimpiade Agama?

Sebelum Greysia Polii/Apriyani Rahayu mempersembahkan medali emas dari sektor ganda putri usai mengalahkan wakil Cina dan fotonya menjadi bahan kampanye para politisi, seorang teman di Facebook memosting sebuah kutipan twit yang lucu.

India, Pakistan, Bangladesh, and Indonesia have a total population of two billion religious people.

Gold medals won at Tokyo Olympics by them = 0

Why don’t they excel at sports?

Because religions are their sports.

They should demand religious Olympics.

— Imtiaz Mahmood (@ImtiazMadmood) July 29, 2021

Sebuah “analisis” yang menggelitik. Penulis twit itu adalah seseorang yang bernama Imtiaz Mahmood. Namanya disebut dalam Wikipedia dan dijelaskan sebagai seorang petinju dari Pakistan pemenang medali emas Asian Games di Bangkok tahun 1978.

Logika Pak Imtiaz ini mungkin mirip guyonan lama tentang sepak bola di Indonesia. Meski negeri ini memiliki 200 juta lebih penduduk tapi kita kesulitan mencari 11 orang saja untuk mengisi sebuah tim yang hebat. Padahal Uruguay yang penduduknya 3,5 juta saja atau Kroasia yang hanya 4 juta menjadi langganan masuk ke Piala Dunia.

Korelasi antara populasi penduduk dengan prestasi di lapangan bola ini sudah lama disanggah oleh para pengamat. Persoalannya tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang saling membelit di dalamnya; manajemen, integritas, politik, anggaran, infrastruktur, kedisiplinan, dan lainnya.

Persoalan dalam Olimpiade rasanya juga tidak jauh berbeda. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa kita punya banyak orang saleh tapi payah dalam bidang olahraga? Saya kira jawabannya juga sama, tidak ada korelasi.

Namun menghubungkan kesalehan dalam beragama dengan rendahnya prestasi di Olimpiade mungkin tidak terlalu berlebihan, mengingat asal-usul Olimpiade yang konon merupakan perlombaan yang bersifat keagamaan. Tapi Pak Imtiaz tampaknya tidak bermaksud ke arah situ.

Diraihnya medali emas dari cabang bulu tangkis dari atlet Indonesia, salah satu negeri yang disebutnya dalam twitnya, barangkali membengkokkan sebagian sinisme Pak Imtiaz. Setidaknya, ia harus pikir-pikir lagi karena telah membawa-bawa nama Indonesia, meski untuk “analisis” lainnya bisalah dibenarkan, yaitu tentang agama sebagai olahraga kita.

Tingginya gairah beragama kita tak perlu lagi diragukan lagi. Semua orang sudah mafhum, sebagaimana gairah kita menonton sepak bola. Kulkas kita saja (((bersertikat halal))).

Kita juga punya tingkat kecemasan yang hebat terhadap kerusakan agama dan akidah umat. Sehingga segala yang dianggap bakal menodai kemurniannya dengan segera ditindak. Pihak-pihak yang dicurigai melecehkan agama akan dicoret dari daftar penghuni sorga.

Maka, jangan sekali-kali melakukan aktivitas yang menyimpang dari ajaran agama di Indonesia. Bahkan sekadar tindakan yang tampak sepele seperti ucapan selamat hari raya kepada pemeluk iman yang berbeda akan jadi masalah.

Namun demikian, saya punya keraguan tentang saran Pak Imtiaz mengenai Olimpiade Agama. Kalapun ada, entah bagaimana bentuknya, tidak ada jaminan Indonesia bisa mengumpulkan banyak medali.

Pertama, karena kita masih punya pekerjaan rumah yang banyak mengenai faktor-faktor di atas. Kedua, kita juga punya masalah yang tidak kecil dalam hubungan keberagamaan kita, yakni dalam hal kekompakan dan kerja sama.

Iklan

Aliran-aliran agama di Indonesia sangat banyak. Masing-masing aliran sering kali tidak akur. Tak jarang di antara mereka saling sindir, saling hujat, saling menyesatkan, dan bahkan saling menjatuhkan.

Apa yang oleh satu kelompok dianggap sebagai kebaikan bagi kelompok lain dipandang sebagai bidah atau penyimpangan yang tidak dapat diterima.

Iklim semacam itu tentu tidak sehat untuk membentuk sebuah tim yang dapat diandalkan. Bisa-bisa sejak awal kita akan lebih disibukkan dengan perdebatan bertubi-tubi tentang siapa atau afiliasi keagamaan mana yang berhak mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Agama.

Waktu dan energi kita akan banyak tersita untuk perdebatan sengit tentang status Syiah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte lain yang dianggap telah menyempal dari jalan yang lurus. Kita lalu kelelahan sebelum bertanding.

Atau bisa juga tim kita akan mengalami kejadian seperti tim sepak bola Irak di tahun 2007 dalam sebuah kejuaraan di Asia. Katanya, karena berselisih sekte agama, antarpemain sempat saling tidak berbicara.

Entah bagaimana jadinya kalau aksi itu terus berkelanjutan. Bisa-bisa mereka juga tidak mau saling mengoper bola kepada teman satu tim yang tidak satu aliran agama. Egoisme itu untungnya kemudian berakhir. Mereka kemudian tampil sebagai juara.

Ide Pak Imtiaz tentang Olimpiade Agama kalau dipikir-pikir penting juga dipertimbangkan. Dari Olimpiade itu setidaknya kita belajar untuk tidak mengunggulkan ego pribadi atau golongan.

Kita juga bisa mungkin bisa belajar lebih bijak dari kredo Olimpiade, yang berbunyi:

“Hal terpenting dalam Olimpiade bukanlah untuk menang, tetapi untuk berpartisipasi. Seperti juga hal yang paling penting dalam hidup bukanlah kemenangan, tetapi perjuangan. Hal terpenting bukannya karena telah berhasil mengalahkan, namun karena telah berjuang dengan baik.”

BACA JUGA Agama Saya Agama Warisan dan tulisan Muhammad Zaid Sudi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 13 Agustus 2021 oleh

Tags: Ahmadiyahapriyani rahayugreysia poliimedali emasolimpiadeSyiahtinju
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

Pekan Olahraga Nasional (PON) Sudah Saatnya Dihapus Saja MOJOK.CO
Esai

Muncul Banyak Kecurangan, Pekan Olahraga Nasional (PON) Menjadi Pesta Olahraga yang Sebenarnya Tidak Lagi Dibutuhkan

17 September 2024
Anak IPA “Nyasar” di Jurusan Sastra Rusia UI: Dulu Pengen Jadi Dokter Sunat, Kini Malah Juara Kompetisi Tinju di Negerinya Putin.MOJOK.CO
Kampus

Anak IPA “Nyasar” di Jurusan Sastra Rusia UI: Dulu Pengen Jadi Dokter Sunat, Kini Malah Juara Kompetisi Tinju di Negerinya Putin

21 Mei 2024
Menjadi Radikal Bisa Diawali dari Kebiasaan Membatasi Teman
Pojokan

Harus Diakui, Potensi Jadi Radikal Ada di Setiap Orang

16 Januari 2022
kritik untuk menpora
Pojokan

Kritik untuk Menpora dan Alasan Tak Becusnya Negara Mengurus Olahraga

18 Oktober 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.