MOJOK.CO – Jombang dan Jogja memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama berbudaya, tapi di sisi lain, jalanan mereka dikuasai kejahatan. Kontradiksi.
“Suasana di kota santri asyik senangkan hati.” Penggalan lirik lagu “Kota Santri” yang saya comot, akan berbeda 180 derajat dengan keadaan kota santri, Jombang, akhir-akhir ini.
Saya mudik ke Jombang tepat H-4 Lebaran kemarin. Kebiasaan saya saat pulang ke rumah adalah menghubungi beberapa karib untuk nongkrong. Belum genap 3 jam, dengan sisa kopi setengah gelas, sudah puluhan kali kata “pembacokan” muncul dalam obrolan kami.
“Aku balik dulu, wes wayahe jalanan dikuasai gaman,” gumam teman saya sembari membereskan barang-barangnya. Perbincangan tentang kejahatan jalanan di Jombang harus berakhir tepat pukul 11 malam. Tepat ketika salah satu teman saya pamit pulang duluan sebab takut menjadi korban selanjutnya.
Begitulah Jombang hari-jari ini. Sepuluh tahun tinggal di jogja tidak membuat mental saya kebal tentang berita buruk dari jalanan.
Kekerasan dan kejahatan jalanan di Jogja
Tahun ini, tepat satu dekade saya tinggal di Jogja. Kekerasan jalanan sudah menjadi bagian dari lansekap harian.
Bagaimana tidak, baru beberapa minggu tinggal di Jogja, mata saya terbelalak melihat kejadian yang tidak biasa. Bayangkan saja, tepat di depan matamu yang masih newbie di tanah rantau, harus melihat adegan kejar-kejaran dengan membawa parang. Pemandangan ini sangat kontras dengan adegan di FTV, yang biasa saya tonton di SCTV.
Setelahnya, saya tersadar bahwa hal-hal semacam ini bisa menimpa saya kapan saja di Jogja. Klitih, tawuran antar-suku, demonstrasi yang sesekali berujung ricuh, hingga perselisihan suporter bola, semua itu membentuk pola pikir bahwa jalanan punya aturannya sendiri.
Jalanan adalah arena pertarungan yang paling luas tanpa wasit. Hanya ada satu aturan, yang menang akan melenggang mencari tantangan berikutnya. Yang kalah? Bisa kapan saja membalas dendam ke siapa saja yang telah masuk arena.
Di Jogja, klitih menjadi momok utama yang selalu mengintai. Target yang acak, serupa peluru nyasar. Siapa saja bisa jadi korban.
Ketakutan tercecer di sepanjang jalan saat musim klitih tiba. Menurut buku Jogja Bab Getih dan Klitih yang ditulis Gusti Aditya, fenomena klitih adalah fenomena musiman. Ia menuturkan cukup gamblang,
“Ketika pengawasan mulai mengendur, para remaja ini akan kembali ke jalanan, dan barangkali dengan tingkat kebrutalan yang meningkat.”
Pengalaman saya selama 10 tahun di Jogja seketika remuk melihat ketakutan kolektif di teman-teman saya. Cerita-cerita tentang klitih dan kekerasan jalanan nuansanya cukup berbeda saat saya mendengar itu di Jombang.
Padahal, Jombang ini punya begitu banyak pesantren di beberapa daerahnya. Predikat kota santri tidak serta merta membuatnya lebih santun dari kota pelajar.
Baca halaman selanjutnya: Makasih klitih, mental saya jadi rusak.
Ritus harian kekerasan jalanan di Jombang
Di satu titik, lagu “Kota Santri” itu serupa ramalan yang menjadi kenyataan akhir-akhir ini. Dari lirik, “Suasana di kota santri, asyik senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari.”
Kota Santri hanya asyik menyenangkan hati “hanya tiap pagi dan sore”. Sebab malam hari adalah panggung milik opera kekerasan tanpa naskah yang siapa saja bisa menjadi korban.
Sejak mudik tahun ini, tema obrolan dalam tongkrongan berkutat antara kekerasan hingga kekerasan. Seputaran siapa yang menyerang siapa, dari geng mana yang menuntut balas, kelas berapa pelaku dan korbannya. Tidak ada cerita-cerita lain lagi. Kayak kamu lagi nongkrong hanya boleh memesan satu menu tiap datang, kekerasan dengan topping ketakutan.
“Biyen tak pikir, kita ini uda paling nakal loh pas SMA. Ternyata nggak ada apa-apane yo dibanding arek saiki,” kalimat itu muncul di hari kedua saya nongkrong dengan salah satu pentolan SMA saya dulu.
Siapa yang akan menyangka, bahwa kota santri akan menyimpan banyak kontradiksi yang menghantui warganya tiap malam. Apalagi di bulan Ramadan.
Di satu sudut, tadarus menggema dari masjid. Di sudut lainnya, teriakan pertarungan dan dentingan senjata menjadi melodi malam yang tak kalah familiar. Seolah-olah semuanya hidup berdampingan dalam satu entitas sosial. Seperti 2 sisi koin yang tak pernah bisa dipisahkan.
Setiap jalan menjadi teritori tak tertulis. Siapa saja bisa mengklaim sebagai tuan rumah yang kedaulatannya diikrarkan melalui darah dan keberanian. Dengan remang lampu jalan, di beberapa jalan menjadi medan perang mikrokosmik.
Para remaja tanggung siap berperang tanpa tahu akan melawan siapa atau akar masalahnya dari mana. Mereka hanya tahu bahwa hari itu akan menjadi hari paling keren atau hari paling apes di kalender hidupnya.
Memasuki kultur kekerasan?
Munculnya fenomena gangster di kota-kota besar telah menjadi sirine penanda bahwa tiap daerah memiliki kultur kekerasan masing-masing. Setelah Jogja, kini saya mengenal Jombang sebagai palagan kekerasan yang kelak menjadi kultur.
Iya, beberapa waktu ke belakang, saya mulai sering mendapatkan berita soal kekerasan jalanan, tawuran, penyerangan orang tidak dikenal, dan sebagainya. Bibit kekerasan ini tumbuh subur di beberapa kota lain seperti di Semarang, Surabaya, dan Bandung.
Tidak terkecuali apa yang terjadi di Jombang. Sebuah siklus baru? Saya rasa tidak, siklus kekerasan yang akan terus berulang. Dan saat ini ada sebuah inovasi yang diorkestrasi oleh gangster dan beberapa oknum perguruan silat.
Nyatanya, saya yang telah 10 tahun tinggal di Jogja dengan kultur kekerasan jalanan yang tidak pernah terbayang di kepala saya, tetap jiper saat di jombang. Awalnya, saya pikir sudah cukup kebal. Tapi, setelah beberapa hari nongkrong membahas pembacokan, kekerasan, pembunuhan dan sebagainya, nyali saya tetap saja menciut. Dari sana saya sadar bahwa kekerasan punya banyak bentuk dan cara untuk bikin kita ciut.
Jadi pertanyaannya bukan lagi “Gimana cara biar nggak takut?” tapi “Harus segitunya kah kita siap-siap kalau cuma mau keluar rumah?”
Jangan-jangan, sebentar lagi kita nggak cuma perlu helm buat naik motor, tapi beli rompi besi ala pasukan romawi kalau tiba-tiba ada serangan dari belakang.
Rantai kekerasan yang harus dipotong
Tentu, membutuhkan energi besar untuk menelisik fenomena kekerasan di Jombang hingga ke akarnya. Jangan sampai kita harus mendengar berita buruk soal kekerasan jalanan setiap pagi di penjual sayur atau malam hari saat nongkrong.
Tidak seharusnya kita mengukur keberanian dari kemampuan bertahan di tengah kekerasan semacam ini. Sebab, satu hal yang saya pelajari dari Klitih dan Jogja, kota yang istimewa bukan hanya yang mampu melahirkan generasi yang tahan banting. Kota yang berbudaya itu mampu memotong rantai kekerasan sebelum meracuni generasi berikutnya.
Ketika malam turun di Jombang, pertanyaan yang sama menggantung di udara. Siapa yang harus bertanggung jawab ketika anak-anak menjadikan jalanan sebagai medan pertempuran dan darah sebagai tinta untuk menulis riwayat mereka?
Berapa harga yang harus dibayar setiap keluarga yang anaknya luka, cacat, hingga meninggal di jalanan?
Sebagai penghujung, tidak ada solusi yang saya berikan. Ini bukan kado dan saya tidak wajib menutupnya dengan solusi. Sebab, saya hanya warga sipil yang menginkan ketakutan ini tidak berkelanjutan.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Melihat Sisi Lain Jombang yang Nggak Diketahui Orang Banyak dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
