Jika TOA Masuk Surga, Maka Surganya Adalah Madura

MOJOK.CO – Mohon diingat, yang suka TOA disetel keras-keras itu di Madura. Makanya, jangan samakan Madura dengan daerah lain seperti Tanjung Balai atau Tolikara itu. Eh.

Terinspirasi oleh tema pijat badannya Motu & Patlu yang saya tonton bareng anak, sore itu, dengan niat yang sama, saya berkunjung ke rumah Pak Sudai. Secara fisik, beliau ini level 11 jika Hulk Hogan adalah 13-nya. Tapi, sentuhan pijatnya menakjubkan, selembut tangan ibu di punggung bayinya.

Saya  dipersilakan duduk di langgar kayunya, dikasih kopi, sembari menunggu ia selesai “mengerjakan” pasien yang lain. Perlakuan seperti ini juga berlaku bagi siapa pun. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, terdengar lantunan—lebih tepat kalau digunakan: “dentuman”—musik dangdut yang bersumber dari tata suara berkekuatan sekurang-kurangnya 5000 watt dalam taksiran.

“Ini tema bagus untuk berbasa-basi,” pikir saya di dalam hati, hitung-hitung jadi pembunuh rasa bosan dalam menunggu si pasien yang sedang digarap.

Bhada parlo, Pak?” (Anda mantenan, Pak?)

Tadha’.” (Tidak ada)

Monyina essound ka’essa?” (Bunyi sound system itu?)

“Oh, ka’essa Saiful (anggap saja begitu namanya karena saya sudah lupa dia menyebut nama apa) se nyettel. Pajat sapaneka sabban are, sabban mole dhari teggal.” (Oh, itu Saiful yang membunyikannya. Memang begitu kebiasaan dia setiap hari [nyetel sound system keras-keras] setiap kali pulang kerja dari tegalannya).

* * *

Memutar lagu dengan pengeras suara sangat lantang dalam keadaan tidak ada kegiatan apa pun, baik menggunakan tata suara (sound system) atau speaker corong (TOA), adalah hal wajar di Madura. Sekurang-kurangnya di area Sumenep dan Pamekasan.

Hal ini berkebalikan dengan banyak anak muda yang suka memutar lagu menggunakan headset, didengarkan sendiri. Di tempat umum, di atas bis, di stasiun, dll. Bagi masyarakat seperti Syaiful, mereka justru merasa harus berbagi musik (kadang pula ceramah) dengan warga sekitar karena alasan “berbagi kebahagian dan kebaikan”.

Cobalah kamu main ke Madura, atau ke tempat saya, dan perhatikan, suara-suara itu akan ramai. Dulu, ada warga yang suka memutar selawat Langitan di penjuru yang satu dan pengajian kitab dari speaker TOA di arah mata angin lainnya, setiap pagi. Semua berlangsung biasa saja. Suara-suara bertarung di udara, memperebutkan kuasa di hadapan telinga. Dugaan saya—barangkali—prinsip inilah yang membuat alunan musik di serambi rumah Syaiful itu harus diputar dengan keras.

Di acara-acara hajatan, penduduk kadang membunyikan pengeras suaranya bahkan secara “anarkis”. Saking kerasnya, tata suara sudah dibunyikan sejak terbit matahari dan baru senyap setelah lewat pukul 22.00—bahkan kadang lebih—itu pun terjadi H-1 atau H-2. Pada saat acara berlangsung, yakni hari H-nya—puncaknya—sering pula ia  dibunyikan melampaui kemampuan telinga untuk menangkap desibel suara secara wajar, sehingga untuk ngomong dengan teman duduk, kita harus setengah berteriak.

Apakah di tempat kamu juga begini?

Volume tata suara hanya berjalan normal kalau acara inti sedang berlangsung. Itu pun bukan karena volume dikecilkan, melainkan karena yang keluar dari sound system hanyalah suara murni (voice) penata suara, qari’, ceramah, atau doa, tanpa iringan musik. Namun, setelah pembacaan doa sebagai penutup rampung, pada saat hidangan mulai disuguhkan, volume akan kembali ke “setingan pabrik”: berisik!

Bagi warga setempat, bagi kami, semua ini adalah hal yang wajar, atau dianggap wajar (karena terlalu sering terjadi), atau diwajar-wajarkan. Bagi sebagian orang, terutama bagi kamu yang untuk pertama kalinya datang ke acara seperti itu di Madura, kamu akan merasa betapa tersiksanya makan dalam keadaan seperti itu. Sate kambing muda pun bakal terasa kambing hitam. Lebih-lebih apabila kamu adalah warga Swiss atau Belanda.

Kalau ingat aturan tata suara di negara-negara maju, kami lantas merasa, alangkah Madura itu, atau Indonesia secara umum, adalah surga beneran ya? Bebas mau ngapain aja. Penyebab ketidaksamaan prinsip ini sebetulnya adalah soal sudut pandang, dan memang tidak perlu disamakan.

Di sana, mereka menjunjung privasi. Jangankan memutar musik di tempat umum dengan keras, tertawa ngakak kalau tengah malam bisa dipolisikan. Sementara di sini, orang kita menganggapnya berbagi kebahagiaan dan kebaikan.

Padanannya mirip-mirip dengan merokok. Di Eropa, tidak boleh kita sembarang merokok karena asap rokok dianggap membawa racun yang membahayakan dan mengganggu pernafasan. Itu kata mereka yang rokoknya terdiri dari banyak kertas dan sedikit daun, sedangkan di sini, di Madura misalnya, bagaimana warga tidak mau merokok wong di mana-mana tempat, seluruh petak tegalannya, nyaris ditanami tembakau?

Sudut pandangnya: merokok adalah kegiatan herbal, yakni menghirup sayuran yang dikeringkan.

Balik lagi ke soal keberisikan…

Sebagian warga menganggap bahwa menurunkan volume suara adalah pantangan. Alasannya, tata suara sudah disewa mahal, lalu untuk apa diputar pelan-pelan? Barangkali begitu pola pikirnya.

Kadang, operator yang  justru tidak sudi karena khawatir power amplifier-nya dianggap murahan. Yang bisa mengontrolnya justru kiai atau tokoh yang diundang pada acara tersebut, terutama yang akan mengakad nikah atau berceramah, meskipun biasanya dia pilih diam karena takut menyinggung perasaan tuan rumah.

Sebelum tata suara (sound system) seperti ini populer, masyarakat di daerah kami menggunakan TOA (metonimia untuk speaker horn; sebab biasanya memang bermerek TOA). Umumnya, yang digunakan adalah sejoli, baik yang 25 watt atau 35 watt.

Pada awal hingga pertengahan tahun 90-an, kebiasaan seperti ini masih banyak ditemukan. Akan tetapi, semakin ke belakang, orang memilih tata suara bercagak dengan varian speaker 8, 12, 15, hingga 18 (ukuran inchi) atau digantung, tidak diunjuk menggunakan dengan tiang bambu lagi.

Pada dasarnya, pengeras suara semacam ini berfungsi sebagai pengumuman, semacam woro-woro bahwa ada orang yang sedang menyelenggarakan hajatan, pernikahan, dsb. Ia juga berfungsi sebagai pemberitahuan publik yang lain, seperti sarwah (kegiatan sejenis tahlilan dan ngaji). Dengan cara ini, anggota kelompok tidak perlu diundang satu per satu lagi. Sejak hadirnya SMS/WA, pemberitahuan gaya ini jauh berkurang drastis.

Keunikan lain adalah; hampir setiap pengeras suara memutar qiraah, kadang Nasida Ria, kadang selawatan. Belakangan malah dangdut koplo yang banyak.

Adapun qiraah yang diputar untuk acara-acara sejenis ini adalah murattal-mujawwad versi Syaikh Mahmud Khalil al-Husari, yakni Surah Al Hujurat (dan terkadang Ar-Rahman). Agaknya, langgam bacaan Al-Husari dalam kaset ini sangat khas dan tidak ada satu pun yang menyamainya di dunia karena beredar hanya di Indonesia sejak tahun 60-an.

Di dalam album kaset yang direkam oleh PT Lokananta Solo (biasanya, kaset berwarna kombinasi kuning-hitam atau kuning-oranye) tersebut, terdapat pula bacaan selawat dan azan dari Syaikh. Ia sudah viral sejak dulu, tersebar nyaris se-Nusantara. Saya pernah mendengarnya di Jambi (di barat) dan di Ternate (di timur).

Dari saking terkenalnya qiraah ini, di Madura, konon ada sebagian masyarakat yang sampai-sampai membuatnya sebagai kode berkat/besek: jika tuan rumah memutar Al-Hujurat, maka berkat/oleh-olehnya nanti akan berisi, antara lain; dudul (dodol siwalan) dan tettel (wajik gurih berwarna putih). Jika memutar Ar-Rahman, berkatnya akan berisi kocor (cucur) dan rengginang. Kurang unik bagaimana Madura itu?

Hingga hari ini, masih banyak ditemukan orang yang memutar lagu-lagu dengan perangkat audio bervolume tinggi di serambi rumahnya, dan mereka tidak sedang melangsungkan hajatan apa pun.

Ada keluarga saya yang setiap pagi nyetel lagu-lagu Nasida Ria, orkes gambus dari Semarang yang nge-hits di tahun 80-an. Kadang pula ia memutar selawat, dan sejenisnya. Pada sore hari, sebagian warga memutar lagu-lagu dangdut dan seterusnya. Dan semuanya itu dengan suara kenceng, padahal mereka tidak sedang hajatan, tidak sedang jualan kaset, bukan pula check shound. Mungkin karena sudah terbiasa, atau dibiasa-biasakan, tak ada masalah dengan warga.

Tapi, ingat, yang begini ini di Madura, bukan di Jerman. Makanya, jangan samakan Madura dengan Jerman atau Tanjung Balai atau Tolikara.

Ribut-ribut orang soal TOA dan keberisikannya baru-baru ini tidak trending di Madura. Sebabnya, saya kira, bukan karena mereka mayoritas muslim, tapi karena mereka memang demen ingar-bingar.

Karena itu, instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala, kalau mau dihangatkan lagi, baiknya ditambah poin pengecualian untuk Madura dan daerah-daerah lain yang setipe dengannya. Dengan cara itu, instruksi akan terkesan baru, tidak seperti yang sedang viral, seolah baru, padahal sudah 40 tahun yang lalu.

Jika benar begitu, berarti selama 40 tahun kita hidup dalam pelanggaran. Tapi, ya, asyik saja, memang ada aturan yang agak kendor begitu, seperti aturan lalu lintas tentang kepemilikan SIM untuk usia minimal. Anak-anak yang berseragam putih biru yang motoran ke sekolah, polisi kan sudah tahu kalau mereka tak mungkin punya SIM C, tapi masa iya mereka yang ribuan itu akan ditilang semua? Apa mampu?

Lantas, kalau kamu bertanya, “Tapi mengapa kok volume suara masjid itu sampai diatur segala? Apa kurang kerjaan mengatur syiar?”

Ada ilustrasi menarik. Di Jerman, pernah lampu lalu lintasnya di-(padam)-kan dan orang-orang melintasi perempatan secara bergantian, tanpa tabrakan. Di sini, lampunya sudah merah, Pak Eko-nya tetap menerobos. Makanya, aturan itu dibikin karena khawatir ada orang semacam Pak Eko yang tetap masuk meskipun lampu sudah merah.

Instruksi tentang pengeras suara itu pun dibuat karena khawatir bukan kamu takmirnya. Kalau kamu yang jadi takmirnya, mungkin pemerintah Pak Harto, dulu, tak ada masalah, tidak bikin aturan seperti itu.

Soalnya, ada, lho, kasus warga yang sampai-sampai pindah rumah gara-gara tidak tahan keberisikan TOA yang dibunyikan secara keras oleh takmir masjid yang ada di sebelahnya. Ini serius dan bukan hanya satu-dua orang. Saya tahu karena saya saksinya. Kadang, volume mendingan tapi sehari suntuk di waktu tertentu, atau volumenya normal tapi intervalnya rapat.

Ada pula kejadian musala yang dempetan dengan kamar rawat inap sebuah rumah sakit yang corong TOA-nya tetap nyaring di bulan Ramadan hingga lewat 21.30, saat pasien-pasien itu mestinya sudah istirahat. Nah, makanya bunyi-bunyian itu diatur.

Akan tetapi, ini hanya menurut saya, aturan dibikin untuk orang-orang yang seperti mereka, bukan yang seperti kamu. Makanya, kelak, supaya apa-apa itu tidak perlu diatur pemerintah, diatur perda, atau malah diatur asing, dari sekarang, mari mulai belajar untuk “tahu” dan mengenal “diri”. Caranya? Ya tahu diri.

Exit mobile version