Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Jika Perang Diponegoro Tak Pernah Ada

Daripada disebut Perang Diponegoro, perang kolosal selama 5 tahun itu sebenarnya lebih pas disebut dengan istilah Perang Jawa.

Yosef Kelik oleh Yosef Kelik
20 November 2021
A A
Jika Perang Diponegoro Tak Pernah Ada

Jika Perang Diponegoro Tak Pernah Ada

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Untuk tahu sedahsyat apa efek Perang Diponegoro alias Perang Jawa, kita perlu membayangkan apa dampaknya kalau peristiwa itu tak pernah ada.

“Lolos saking Keraton.”

Demikian sepotong keterangan singkat yang melengkapi catatan tentang Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro di antara daftar 32 anak Sultan Hamengkubuwono III.

Catatan ini ada dalam Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat yang suntingan edisi V-nya dikerjakan oleh Kanjeng Pangeran Haryo Mandoyokusumo pada 1988.

Tiga kata dalam bahasa Jawa tadi secara harafiah berarti “melarikan diri dari istana”. Namun, jika ditafsir lebih dalam, sesuai konteks historis pada separuh awal abad XIX, “lolos saking Keraton” adalah eufemisme dari “melakukan pemberontakan”.

Tentu ini tidak terlepas dari episode Perang Diponegoro alias Perang Jawa yang melahirkan banyak daerah di Jawa jadi mandala peperangan pada 1825-1830.

Ya, Diponegoro sepanjang lima tahun itu memang memelopori para bangsawan dan beribu-ribu rakyat angkat senjata melawan Kolonial Belanda, Kasultanan Yogyakarta, Kasunan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Daerah seperti Sleman, Kulonprogo, dan Bantul dipenuhi tempat bekas pertempuran antara kubu Pangeran Diponegoro melawan kubu gabungan tentara kolonial dan pihak keraton-keraton Jawa.

Lantas, daerah-daerah seperti Banyumas, Bagelen (Purworejo), Kedu (Magelang, Temanggung, dan Wonosobo), seputaran Surakarta, hingga seputaran Bojonegoro, ikut pula terkena efek peperangan hebat itu.

Secara pribadi, ketimbang menyebut perang lima tahun itu sebagai “Perang Diponegoro” sebagaimana populer dalam setengah abad terakhir oleh Pemerintahan Indonesia, saya lebih menyukai istilah “Perang Jawa” ala penyebutan orang-orang sipil Jawa dan pihak Pemerintahan Kolonial.

Menurut saya, istilah Perang Jawa justru lebih mencerminkan peran dari banyak tokoh lain—bukan cuma peran Diponegoro seorang. Lagipula, memang ada banyak kok peran “jenderal pasukan” di pihak Diponegoro.

Dari Kiai Mojo, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, Nyi Ageng Serang, Raden Ayu Yudokusumo, Pangean Ngabehi, sampai Raden Sosrodilogo.

Namun, jika berandai-andai bahwa Diponegoro pada 1825-1830 tidak angkat senjata, tapi berpuas dengan jabatannya, yakni Wakil dari Sultan Hamengkubuwana V, apa saja kira-kira pengaruhnya terhadap jalannya sejarah Indonesia?

Nah, perunutan kontrafaktual yang saya buat menghasilkan sembilan poin sebagai berikut.

Iklan

Tentu saja, tidak bakal ada pahlawan nasional bernama Pangeran Diponegoro

Jika tidak mengobarkan perang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda, sangat kecil kemungkinannya Pangeran Diponegoro dicatat sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Apalagi, dasar gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan ke Pangeran Diponegoro sejak 1973 memang karena Perang Jawa.

Tanpa Perang Jawa, ya pertimbangan tersebut jelas tak bakal muncul. Plus tidak akan banyak orang di luar orang Yogyakarta dan Surakarta, daerah yang ditempati keraton-keraton cabang Mataram Islam bakal kenal nama Diponegoro.

Beberapa yang mendalami sejarah Mataram Islam mungkin akan sebatas mengenalnya sebagai seorang pangeran senior Yogyakarta yang hidup medio abad XVIII hingga medio abad XIX. Pernah menjadi wakil Sultan Hamengkubuwana V dan memiliki sebuah Ndalem alias rumah besar di Tegalrejo, bagian barat kota Jogja.

Sudah. Tidak lebih dari itu.

Lukisan wajah Pangeran Diponegoro pun tak akan dikenal luas karena tak bakal menghiasi ruang-ruang kelas sekolah. Pun, tak ada pula patung-patung Diponegoro menunggang kuda di berbagai kota—seperti yang kini menghiasi Alun-Alun Kota Magelang.

Babad Diponegoro tak akan masuk Memory of the World UNESCO

Pangeran Diponegoro mungkin masih akan menuliskan kisah hidupnya serta pemikirannya ke dalam suatu kitab. Bisa jadi karya kitab itu masih akan dikenal sebagai Babad Diponegoro, sama seperti kitab faktual yang ditulis di tempat pembuangan Manado sebagai hasil diktenya.

Kitab itu mungkin akan tetap memuat banyak kisah sejarah tentang Yogyakarta selama masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II hingga Sultan Hamengkubuwana V, tapi rasanya tak akan sangat menarik perhatian orang di luar yang mendalami ilmu sejarah serta sastra Jawa.

Bagian paling menarik dari Babad Diponegoro versi faktual, yakni kisah seputar Perang Jawa yang nggak bakal ada. Dan karena tidak ada, ya nama Diponegoro pun tak akan masuk dalam status Memory of the World UNESCO.

TNI tak akan punya Kodam Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang tidak mengobarkan perang dan memilih terus menjabat sebagai wakil sultan hingga pensiun rasanya tidak akan mendapat tempat istimewa bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Komando Daerah Militer (Kodam) IV yang membawahi Jawa Bagian Tengah tentu akan menyandang nama lain. Mungkin Jaka Tingkir, atau Panembahan Senopati, atau Sultan Agung, atau Pangeran Mangkubumi, atau Pangeran Sambernyawa.

Kapal perang korvet bernomor lambung 365 produksi galangan Damen asal Belanda yang menjadi inventaris TNI Angkatan Laut sejak 2007 tentu juga akan dinamai dengan nama tokoh lain.

Tak ada jalan utama bernama Jalan Diponegoro

Berhubung Perang Jawa tak ada dan Pangeran Diponegoro tidak jadi Pahlawan Nasional, maka nama sang pangeran tak akan termasuk pilihan penamaan jalan utama kota-kota di Indonesia.

Kalau pun nama Diponegoro masih dipakai untuk menamai jalan, rasanya jalan yang menyandang nama itu bukan jalan utama, tapi jalan-jalan kecil dan tak seberapa panjang, juga hanya di sekitaran Jogja saja.

Tak ada Universitas Diponegoro

Tanpa Perang Jawa yang melambungkan nama Pangeran Diponegoro, maka universitas negeri terbesar di Semarang tak akan menyandang nama Universitas Diponegoro alias Undip seperti sekarang.

Undip mungkin bakal tetap ada sebagai institusi pendidikan, tapi akan memakai nama lamanya sejak pendirian universitas ini pada tahun 1957, yakni Universitas Semarang (Universitas Diponegoro baru dipakai pada 1960).

Dan hal ini akan memiliki efek domino untuk kampus lain. Seperti Universitas Semarang, apa yang kini kita kenal sebagai Universitas Negeri Semarang (Unnes) bakal memakai nama lain, entah Universitas Pendidikan Jawa atau Universitas Raden Saleh.

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, buku Kuasa Ramalan, dan novel Sang Pangeran & Janissary Terakhir tak bakal ada

Tak adanya Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro tentu meniadakan penangkapannya yang dramatis di Magelang pada 1830. Tak akan ada pula pembuangan ke Manado dan Makassar hingga ia meninggal pada 1855.

Itu semua rasanya akan membuat Raden Saleh tak bakal tertarik untuk melukis sosok Diponegoro. Peter Carey tak akan menghasilkan buku Kuasa Ramalan yang termasyhur. Novel Sang Pangeran & Janissary Terakhir karya Salim A. Fillah pun tak akan lahir.

Plus, bakal berkurang pula debat di media sosial yang berlandaskan tiga karya tadi.

Pembagian Provinsi di Jawa bakal berbeda dengan yang sekarang

Jika tidak ada Perang Diponegoro, Pemerintahan Kolonial Belanda tidak akan memiliki cukup dalih untuk mengambil alih kabupaten-kabupaten mancanegara milik Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam versi faktualnya, Belanda mengambil alih semua kabupaten di luar negaragung (wilayah inti) dua kerajaan Jawa tadi sebagai ganti rugi biaya perang, juga guna memastikan tidak akan adanya lagi pemberontakan dari dua kerajaan tadi.

Maka, kalau tidak terjadi Perang Jawa, ya wilayah Yogyakarta dan Surakarta akan tetap meliputi sebagian besar wilayah hasil Palihan Nagari Perjanjian Giyanti 1755, atau setidaknya mengikuti batas-batas menurut tahun 1812.

Jika yang demikian terjadi, sewaktu Indonesia akhirnya merdeka, provinsi-provinsi yang kemudian dibentuk di Jawa akan terdiri dari:

  1. Jawa Barat (meliputi Jawa Barat, Banten, dan Jakarta saat ini).
  2. Pesisir Jawa (sepanjang Pantai Utara Jawa dari Brebes hingga Sidoarjo).
  3. Yogyakarta (sepanjang bagian selatan Jawa dari Cilacap dan Banyumas hingga Gunung Kidul).
  4. Surakarta (sepanjang bagian selatan Jawa dari Wonogiri dan Klaten hingga Tulungagung.
  5. Ujung Timur Jawa (dari Malang dan Pasuruan hingga Bondowoso dan Banyuwangi).

Bukan kabar baik bagi Imam Bonjol

Tanpa Perang Jawa, hal itu tentu bukan kabar baik bagi Tuanku Imam Bonjol dan para pemimpin Kaum Paderi di Sumatera Barat.

Sebab, Pemerintahan Kolonial Belanda tentu tidak perlu membagi pasukannya di dua front, di dua pulau yang berbeda. Dan tentu saja, tanpa Perang Jawa, Perang Paderi di ujung utara Pulau Sumatera itu bakal berakhir jauh lebih cepat seperti yang tercatat dalam sejarah.

Meski begitu, Cultuurstelsel alias Tanam Paksa bakal tetap ada

Selain menewaskan lebih dari 200.000 orang, Perang Diponegoro alias Perang Jawa ini kerap dianggap sebagai dasar penerapan Cultuurstelsel alias Tanam Paksa di berbagai daerah yang dikuasai Pemerintahan Kolonial saat itu. Padahal tanpa ada Perang Jawa, Cultuurstelsel sebenarnya bakal tetap berlangsung seperti adanya.

Soalnya, Tanam Paksa kebutuhannya bukan untuk “balas dendam” terhadap orang-orang Jawa setelah perang, tapi murni untuk kebutuhan ekonomi dalam wujud desakan ekspor untuk produk gula (dari tebu), teh, dan kopi.

Maklum pada saat itu, Pemerintahan Kolonial Belanda sedang butuh dana begitu besar untuk menutup kerugian yang terjadi ketika harus menghadapi gerakan kemerdekaan Belgia.

Dan dari sana, masakan Jawa di Jogja dan Solo bakal punya kecenderungan rasa yang ada-manis-manisnya-gitu bahkan sampai sekarang. Persis layaknya kenangan manismu yang dulu. Iya, kenangan yang sering bikin kamu nangis mewek itu.

BACA JUGA Yang Terjadi kalau Majapahit Masih Eksis hingga Hari Ini dan esai Yosef Kelik lainnya.

 

Terakhir diperbarui pada 20 November 2021 oleh

Tags: belandadiponegoroEksporimam bonjolKeratonperang diponegoroslemansolotanam paksaUndipYogyakarta
Yosef Kelik

Yosef Kelik

Periset di suatu museum swasta sejak 2013, juga peracik nama bayi dan jenama usaha sejak 2019.

Artikel Terkait

Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga
Pojokan

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Menjajal GoTransit yang Terintegrasi dengan GoCar, “Keluyuran” di Jogja dan Solo Jadi Lebih Mudah Mojok.co
Ragam

Menjajal GoTransit yang Terintegrasi dengan GoCar, “Keluyuran” di Jogja dan Solo Jadi Lebih Mudah

28 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Macam-macam POV orang yang kehilangan botol minum (tumbler) kalcer berharga ratusan ribu MOJOK.CO

Macam-macam POV Orang saat Kehilangan Tumbler, Tak Gampang Menerima karena Kalcer Butuh Dana

28 November 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.