MOJOK.CO – Untuk tahu sedahsyat apa efek Perang Diponegoro alias Perang Jawa, kita perlu membayangkan apa dampaknya kalau peristiwa itu tak pernah ada.
“Lolos saking Keraton.”
Demikian sepotong keterangan singkat yang melengkapi catatan tentang Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro di antara daftar 32 anak Sultan Hamengkubuwono III.
Catatan ini ada dalam Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat yang suntingan edisi V-nya dikerjakan oleh Kanjeng Pangeran Haryo Mandoyokusumo pada 1988.
Tiga kata dalam bahasa Jawa tadi secara harafiah berarti “melarikan diri dari istana”. Namun, jika ditafsir lebih dalam, sesuai konteks historis pada separuh awal abad XIX, “lolos saking Keraton” adalah eufemisme dari “melakukan pemberontakan”.
Tentu ini tidak terlepas dari episode Perang Diponegoro alias Perang Jawa yang melahirkan banyak daerah di Jawa jadi mandala peperangan pada 1825-1830.
Ya, Diponegoro sepanjang lima tahun itu memang memelopori para bangsawan dan beribu-ribu rakyat angkat senjata melawan Kolonial Belanda, Kasultanan Yogyakarta, Kasunan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.
Daerah seperti Sleman, Kulonprogo, dan Bantul dipenuhi tempat bekas pertempuran antara kubu Pangeran Diponegoro melawan kubu gabungan tentara kolonial dan pihak keraton-keraton Jawa.
Lantas, daerah-daerah seperti Banyumas, Bagelen (Purworejo), Kedu (Magelang, Temanggung, dan Wonosobo), seputaran Surakarta, hingga seputaran Bojonegoro, ikut pula terkena efek peperangan hebat itu.
Secara pribadi, ketimbang menyebut perang lima tahun itu sebagai “Perang Diponegoro” sebagaimana populer dalam setengah abad terakhir oleh Pemerintahan Indonesia, saya lebih menyukai istilah “Perang Jawa” ala penyebutan orang-orang sipil Jawa dan pihak Pemerintahan Kolonial.
Menurut saya, istilah Perang Jawa justru lebih mencerminkan peran dari banyak tokoh lain—bukan cuma peran Diponegoro seorang. Lagipula, memang ada banyak kok peran “jenderal pasukan” di pihak Diponegoro.
Dari Kiai Mojo, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, Nyi Ageng Serang, Raden Ayu Yudokusumo, Pangean Ngabehi, sampai Raden Sosrodilogo.
Namun, jika berandai-andai bahwa Diponegoro pada 1825-1830 tidak angkat senjata, tapi berpuas dengan jabatannya, yakni Wakil dari Sultan Hamengkubuwana V, apa saja kira-kira pengaruhnya terhadap jalannya sejarah Indonesia?
Nah, perunutan kontrafaktual yang saya buat menghasilkan sembilan poin sebagai berikut.
Tentu saja, tidak bakal ada pahlawan nasional bernama Pangeran Diponegoro
Jika tidak mengobarkan perang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda, sangat kecil kemungkinannya Pangeran Diponegoro dicatat sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Apalagi, dasar gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan ke Pangeran Diponegoro sejak 1973 memang karena Perang Jawa.
Tanpa Perang Jawa, ya pertimbangan tersebut jelas tak bakal muncul. Plus tidak akan banyak orang di luar orang Yogyakarta dan Surakarta, daerah yang ditempati keraton-keraton cabang Mataram Islam bakal kenal nama Diponegoro.
Beberapa yang mendalami sejarah Mataram Islam mungkin akan sebatas mengenalnya sebagai seorang pangeran senior Yogyakarta yang hidup medio abad XVIII hingga medio abad XIX. Pernah menjadi wakil Sultan Hamengkubuwana V dan memiliki sebuah Ndalem alias rumah besar di Tegalrejo, bagian barat kota Jogja.
Sudah. Tidak lebih dari itu.
Lukisan wajah Pangeran Diponegoro pun tak akan dikenal luas karena tak bakal menghiasi ruang-ruang kelas sekolah. Pun, tak ada pula patung-patung Diponegoro menunggang kuda di berbagai kota—seperti yang kini menghiasi Alun-Alun Kota Magelang.
Babad Diponegoro tak akan masuk Memory of the World UNESCO
Pangeran Diponegoro mungkin masih akan menuliskan kisah hidupnya serta pemikirannya ke dalam suatu kitab. Bisa jadi karya kitab itu masih akan dikenal sebagai Babad Diponegoro, sama seperti kitab faktual yang ditulis di tempat pembuangan Manado sebagai hasil diktenya.
Kitab itu mungkin akan tetap memuat banyak kisah sejarah tentang Yogyakarta selama masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II hingga Sultan Hamengkubuwana V, tapi rasanya tak akan sangat menarik perhatian orang di luar yang mendalami ilmu sejarah serta sastra Jawa.
Bagian paling menarik dari Babad Diponegoro versi faktual, yakni kisah seputar Perang Jawa yang nggak bakal ada. Dan karena tidak ada, ya nama Diponegoro pun tak akan masuk dalam status Memory of the World UNESCO.
TNI tak akan punya Kodam Diponegoro
Pangeran Diponegoro yang tidak mengobarkan perang dan memilih terus menjabat sebagai wakil sultan hingga pensiun rasanya tidak akan mendapat tempat istimewa bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Komando Daerah Militer (Kodam) IV yang membawahi Jawa Bagian Tengah tentu akan menyandang nama lain. Mungkin Jaka Tingkir, atau Panembahan Senopati, atau Sultan Agung, atau Pangeran Mangkubumi, atau Pangeran Sambernyawa.
Kapal perang korvet bernomor lambung 365 produksi galangan Damen asal Belanda yang menjadi inventaris TNI Angkatan Laut sejak 2007 tentu juga akan dinamai dengan nama tokoh lain.
Tak ada jalan utama bernama Jalan Diponegoro
Berhubung Perang Jawa tak ada dan Pangeran Diponegoro tidak jadi Pahlawan Nasional, maka nama sang pangeran tak akan termasuk pilihan penamaan jalan utama kota-kota di Indonesia.
Kalau pun nama Diponegoro masih dipakai untuk menamai jalan, rasanya jalan yang menyandang nama itu bukan jalan utama, tapi jalan-jalan kecil dan tak seberapa panjang, juga hanya di sekitaran Jogja saja.
Tak ada Universitas Diponegoro
Tanpa Perang Jawa yang melambungkan nama Pangeran Diponegoro, maka universitas negeri terbesar di Semarang tak akan menyandang nama Universitas Diponegoro alias Undip seperti sekarang.
Undip mungkin bakal tetap ada sebagai institusi pendidikan, tapi akan memakai nama lamanya sejak pendirian universitas ini pada tahun 1957, yakni Universitas Semarang (Universitas Diponegoro baru dipakai pada 1960).
Dan hal ini akan memiliki efek domino untuk kampus lain. Seperti Universitas Semarang, apa yang kini kita kenal sebagai Universitas Negeri Semarang (Unnes) bakal memakai nama lain, entah Universitas Pendidikan Jawa atau Universitas Raden Saleh.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, buku Kuasa Ramalan, dan novel Sang Pangeran & Janissary Terakhir tak bakal ada
Tak adanya Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro tentu meniadakan penangkapannya yang dramatis di Magelang pada 1830. Tak akan ada pula pembuangan ke Manado dan Makassar hingga ia meninggal pada 1855.
Itu semua rasanya akan membuat Raden Saleh tak bakal tertarik untuk melukis sosok Diponegoro. Peter Carey tak akan menghasilkan buku Kuasa Ramalan yang termasyhur. Novel Sang Pangeran & Janissary Terakhir karya Salim A. Fillah pun tak akan lahir.
Plus, bakal berkurang pula debat di media sosial yang berlandaskan tiga karya tadi.
Pembagian Provinsi di Jawa bakal berbeda dengan yang sekarang
Jika tidak ada Perang Diponegoro, Pemerintahan Kolonial Belanda tidak akan memiliki cukup dalih untuk mengambil alih kabupaten-kabupaten mancanegara milik Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam versi faktualnya, Belanda mengambil alih semua kabupaten di luar negaragung (wilayah inti) dua kerajaan Jawa tadi sebagai ganti rugi biaya perang, juga guna memastikan tidak akan adanya lagi pemberontakan dari dua kerajaan tadi.
Maka, kalau tidak terjadi Perang Jawa, ya wilayah Yogyakarta dan Surakarta akan tetap meliputi sebagian besar wilayah hasil Palihan Nagari Perjanjian Giyanti 1755, atau setidaknya mengikuti batas-batas menurut tahun 1812.
Jika yang demikian terjadi, sewaktu Indonesia akhirnya merdeka, provinsi-provinsi yang kemudian dibentuk di Jawa akan terdiri dari:
- Jawa Barat (meliputi Jawa Barat, Banten, dan Jakarta saat ini).
- Pesisir Jawa (sepanjang Pantai Utara Jawa dari Brebes hingga Sidoarjo).
- Yogyakarta (sepanjang bagian selatan Jawa dari Cilacap dan Banyumas hingga Gunung Kidul).
- Surakarta (sepanjang bagian selatan Jawa dari Wonogiri dan Klaten hingga Tulungagung.
- Ujung Timur Jawa (dari Malang dan Pasuruan hingga Bondowoso dan Banyuwangi).
Bukan kabar baik bagi Imam Bonjol
Tanpa Perang Jawa, hal itu tentu bukan kabar baik bagi Tuanku Imam Bonjol dan para pemimpin Kaum Paderi di Sumatera Barat.
Sebab, Pemerintahan Kolonial Belanda tentu tidak perlu membagi pasukannya di dua front, di dua pulau yang berbeda. Dan tentu saja, tanpa Perang Jawa, Perang Paderi di ujung utara Pulau Sumatera itu bakal berakhir jauh lebih cepat seperti yang tercatat dalam sejarah.
Meski begitu, Cultuurstelsel alias Tanam Paksa bakal tetap ada
Selain menewaskan lebih dari 200.000 orang, Perang Diponegoro alias Perang Jawa ini kerap dianggap sebagai dasar penerapan Cultuurstelsel alias Tanam Paksa di berbagai daerah yang dikuasai Pemerintahan Kolonial saat itu. Padahal tanpa ada Perang Jawa, Cultuurstelsel sebenarnya bakal tetap berlangsung seperti adanya.
Soalnya, Tanam Paksa kebutuhannya bukan untuk “balas dendam” terhadap orang-orang Jawa setelah perang, tapi murni untuk kebutuhan ekonomi dalam wujud desakan ekspor untuk produk gula (dari tebu), teh, dan kopi.
Maklum pada saat itu, Pemerintahan Kolonial Belanda sedang butuh dana begitu besar untuk menutup kerugian yang terjadi ketika harus menghadapi gerakan kemerdekaan Belgia.
Dan dari sana, masakan Jawa di Jogja dan Solo bakal punya kecenderungan rasa yang ada-manis-manisnya-gitu bahkan sampai sekarang. Persis layaknya kenangan manismu yang dulu. Iya, kenangan yang sering bikin kamu nangis mewek itu.
BACA JUGA Yang Terjadi kalau Majapahit Masih Eksis hingga Hari Ini dan esai Yosef Kelik lainnya.