MOJOK.CO – Gubernur Jogja yang lama itu adalah gubernur terbaik sepanjang masa. Tidak ada yang berani protes karena yang bisa handle semua masalah di sini hanya beliau.
Sebelumnya, mari kita haturkan selamat atas pelantikan Gubernur Jogja yang baru. Semoga saja, kekurangan yang dilakukan gubernur yang lama, bisa segera diatasi oleh gubernur yang baru. Ingat, pekerjaan gubernur baru tidak akan mudah mengingat Gubernur Jogja sebelumnya adalah gubernur terbaik di provinsi istimewa ini sejak 1998. Yah, setidaknya, amat mudah mencari yang terbaik dari hanya satu pilihan yang tersedia, kan?
Entah pada hari pemilihan umum saya ketiduran atau bagaimana, tiba-tiba beliau, gubernur yang baru, sudah ditetapkan pada Agustus lalu (9/8/2022) dan dilantik pada 10 Oktober ini. Padahal, saya tidak tahu visi misi yang beliau usung, bagaimana beliau akan membawa Jogja sampai 2027 kelak, dan tentu saja tujuan jangka panjang untuk kota yang kian berkelindan resah ini.
Seperti pemilihan di daerah lain, saya juga ingin nonton debat panas bergulat dialektika antara paslon gubernur Jogja yang satu dengan lainnya. Bagaimana cara mereka menjawab pertanyaan, hingga cara menyikapi sebuah tekanan dari adu argumentasi. Sekali lagi, tiba-tiba saja gubernur yang baru sudah ditetapkan. Penetapan ini dilaksanakan pada Rapat Paripurna Istimewa di Gedung DPRD DIY. Ya sudah, deh.
Memang sudah sejak lama, anak-anak di Jogja yang bercita-cita menggunakan plat mobil “AB 1” sudah dikebiri sejak dini. Mungkin para orang tua akan bilang begini, “Huss! Mboten pareng. Kuwi ora ilok.” Atau, jangan memikirkan hal-hal yang tidak mungkin dicapai. Betapa sakit hatinya, mimpi-mimpi itu kandas tanpa sempat mengizinkan pikiran membayangkannya.
Di kota ini, bercita-cita mendaratkan roket di Kalisto, salah satu satelit alami di Jupiter, lebih masuk akal ketimbang bercita-cita jadi Gubernur Jogja. Padahal, Bung Karno pernah mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Tidak elok jika kutipan tersebut ditetapkan untuk anak-anak yang bercita-cita jadi Gubernur Jogja. Jadinya begini, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Jika engkau jatuh, engkau akan jadi setidaknya jadi budak korporat yang istimewa.”
Padahal, di daerah lain, anak-anak masa kini banyak yang ingin jadi gubernur, memperbaiki kota yang lama mereka tempati. Mereka huni. Bagi saya, zaman yang kian terus berubah, daya pikir anak-anak akan valid dalam menilai problem struktural secara sistematis. Besar nanti, dengan keilmuan yang mereka tekuni, sudah pasti anak-anak itu kelak akan membawa solusi untuk zaman. Solusi-solusi yang keluarnya dari pengalaman dan hati.
Jogja, di pandangan para orang tua, mungkin masih seperti penggalan lagu Kla Project, tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Padahal itu sudah digerogoti zaman. Kini, Jogja tak ubahnya parade pemandangan kusut manusia-manusia yang lapar. Mereka yang mencari kerja, mereka-mereka pula yang mimpinya dipatahkan.
Di sudut-sudut tak terjamah manusia-manusia istana, diskusi di area-area bronx acap berlangsung panas. Diskusi-diskusi gawat yang memetakan kondisi jahanam Jogja. Bagi mereka yang memiliki langkah dan solusi bagi kota ini, berkata begini, “Jika aku jadi Gubernur Jogja, udah pasti aku akan melakukan ini dan itu, begini dan begitu, dan seterusnya, dan seterusnya.” Mereka punya solusi dan kemampuan adaptasi memahami problem karena tiap saat, mereka dicekik keadaan di Jogja.
Sering saya diundang ke “diskusi pinggir jurang” macam itu dengan sogokan secangkir Kapal Api, lantas saya ditanya, langkah apa yang bakalan saya tempuh, mbok menowo, jadi Gubernur Jogja. Dan saya pun menjawabnya dengan realistis dan komprehensif. Juga menggunakan alasan-alasan yang mendukung. Setelah saya jawab, wajah-wajah yang sebelumnya menanyai saya, menjadi kaku. Kadang-kadang mulutnya menganga. Karena jawaban saya seperti ini:
Jika aku jadi Gubernur Jogja, ya? Wah, masuk dalam lingkaran setan bernama pemerintahan, sih. Artinya, idealisme yang melekat di kepala, ilmu filsafat yang dipelajari sampai pagi buta, dan hati nurani yang ditanam dan dipupuk oleh orang tua, rasanya tidak bisa lagi dipakai. Menjadi pemerintah, apalagi kepala daerah di Jogja, kita harus menguasai satu hal. Persetan itu yang namanya ilmu, yang kita butuhkan hanyalah tahan malu.
Bagiku, Gubernur Jogja sejak 1998 itu kinerjanya sudah bagus sekali. Kalau jadi gubernur, sudah pasti aku bakalan lakukan hal yang sama. Kenapa kalian kaget? Aku hanya realistis saja. Ayo, ayo, kopinya diminum selagi aku akan menjabarkan apa maksud kata-kataku itu.
Aku tak habis pikir ada orang yang mau-maunya menjabat jadi gubernur di daerah yang mirip-mirip Gotham City. Ketika mereka yang berasal dari luar kota ini, menganggap bahwa Jogja mirip Mineral Town (nama tempat di dalam game Harvest Moon), lingkungannya asri, ramah tamah, penduduknya baik-baik, tidak ada kekerasan.
Kita bahas yang pertama, masalah lingkungan. Data yang aku kutip dari Tirto, karena ada Bandara Adisutjipto, melalui Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) pada zona horizontal dalam, maksimal ketinggian bangunan adalah 45 meter. Kini bandara pindah ke Selatan, bangunan tinggi terus bertambah. Namun yang menjadi problem bukan hanya KKOP, melainkan rawannya Jogja diguncang bencana gempa.
Masih lekat dalam ingatan, betapa parahnya kala gempa meratakan sebagian wilayah Jogja pada 2006 silam. Jogja menjadi rawan ketika sesar Kali Opak masih bergerak secara aktif. Menjadi kepala daerah, harusnya bisa melihat potensi bencana macam ini.
Namun, kalau dipikir-pikir lagi, buat apa sih mikirin sesuatu yang tidak ada untungnya? Toh belum terjadi, kan? Mendingan memperbanyak izin bangunan tinggi di kota ini, membeli mall dan hotel untuk anak-bini. Urusan potensi bencana, kalau kejadian tinggal keluarkan surat perintah.
Belum lagi TPST Piyungan, seluruh alur pembuangan sampah di Jogja, berhilir di sana. Musim penghujan seperti ini, air lindi (cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan di timbunan sampah) masuk ke rumah-rumah warga. Tidak diguyur hujan saja, rumah warga penuh lalat dan juga bau menyengat. Kadas dan kurap berkawin di kaki-kaki penuh kudis. Mata air mau dibuat proyek pembangunan, padahal itu satu-satunya sumber air bersih bagi warga. Ketika warga protes dan demo, maka Jogja jadilah lautan sampah.
Kalau jadi gubernur, aku juga akan lakukan hal yang sama, kok, yakni nggak perlu ngapa-ngapain. Habis mau gimana lagi, lingkungan di sana sudah rusak. Dana Istimewa untuk memperbaiki taraf hidup manusia-manusia di lereng pegunungan sampah Piyungan? Ah, mendingan buat mempercantik istana. Ora risiko.
Kedua, masalah keamanan, juga perihal kekerasan jalanan macam klitih atau begal. Sudah benar apa yang dilakukan Gubernur Jogja yang sebelumnya. Jika jadi gubernur, aku juga bakalan melakukan hal yang sama. Yakni mengeluarkan mandat yang itu-itu saja. Perintah yang tidak berubah-ubah sejak aku masih SMP sampai kini jenggot menghiasi wajah.
Aku bakalan bilang, “Diimbau para orang tua untuk mengawasi anaknya. Buat jam malam yang ketat. Masyarakat harus menghidupkan ronda.”
Ya, itu-itu saja.
Soalnya, kekerasan jalanan di Jogja ini sudah mengendap sampai pori-pori. Sudah susah untuk dibasmi karena pemerintah sudah telat jika mau menanggulangi masalah ini sampai ke akar rumputnya.
Hah? Apa? mengeluarkan langkah strategis yang baru untuk menanggulangi klitih? Agar tidak ada lagi nyawa yang melayang sia-sia? Maaf, tiap isu klitih naik itu hampir berbarengan dengan musim liburan. Lebih baik memperbaiki nama biar wisatawan datang, lantas hotel-hotel yang aku dan keluargaku kelola jadi padat di-booking dan mall-mall yang aku miliki mengalir deras cuan demi cuan.
Kalau ada yang membandingkan Jogja seromantis Mineral Town padahal faktanya sekelam Gotham City, sih, aku sebagai kepala daerah bakalan malu sejadi-jadinya. Ketika aku sebagai gubernur bersimbah kekayaan dan kemasyhuran, sedang rakyatku lintang pukang dihantam kemiskinan, daya pikirku yang paling purba sih menyuruhku untuk malu. Namun, salah satu tips menjadi kepala daerah di sini, seperti yang aku sebutkan di awal, memang harus tahan akan malu. Dan mencari orang yang bisa tahan malu ekstrem itu, rasanya tidak mudah.
Makanya, Gubernur Jogja yang lama itu adalah gubernur terbaik sepanjang masa. Tidak ada yang berani protes karena yang bisa handle semua masalah di sini hanya beliau.
Aku rasa, Sri Sultan juga akan setuju dengan pendapatku. Lantaran sejak masa jabatan gubernur 22 tahun itu menjabat, tak pernah tuh sekali saja Ngarso Dalem protes atau sekadar menegur sang gubernur.
Gitu. kalau aku jadi Gubernur Jogja.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Gubernur Baru Jogja: Semoga Lebih Baik ya, Pak! dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno