Hari-hari belakangan ini, media sosial memang dipenuhi dengan tiga topik utama: politik (utamanya tentang perseteruan polisi dengan KPK), agama (utamanya tentang perdebatan Sunni dengan Syiah), dan jomblo. Sisanya, motivasi dan foto makan siang, hanya seperti buih-buih dalam gelas besar penuh bir.
Ketika Presiden Jokowi mengumumkan keputusannya membatalkan pencalonan Pak Budi sebagai kapolri, dan pemberhentian sementara Pak Abraham dan Pak Bambang sebagai ketua KPK, saya sebenarnya beberapa hari ini saya sedang memikirkan sebuah cara—katakanlah sebuah jalan tengah—untuk mendamaikan pemikiran teman-teman saya tentang jomblo.
Di satu sisi berdiri teman saya–Harri Gieb namanya—yang memandang jomblo sebagai sebuah laku tauhid, bahwa menjomblo bukanlah sebuah proses untuk ‘mengetahui’ kemudian ‘mendapatkan’, melainkan proses untuk ‘menyadari’ kemudian ‘menjadi’. Sementara di sisi lain ada Mbah Nyutz yang menganggap bahwa pandangan seperti ini adalah sebuah usaha melarikan diri, eskapisme, yang mengancam akidah dan berpotensi menjerumuskan mereka ke dalam siksa kubur dan neraka.
Saya harus mendamaikan pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan ini bukan hanya karena keduanya adalah teman-teman saya, tapi saya harus mendamaikannya sebelum eskalasinya meningkat dan para pemuka agama turun tangan lalu membuat fatwa aneh-aneh, menyebut bahwa jomblo sesat dan harus diperangi, misalnya, atau menganggap jomblo sebagai opium of the people di sisi yang berseberangan—dua hal yang bisa membuat para jomblo hanya boleh tinggal di Planet Namec, bukan di mana pun di muka bumi ini.
Menariknya, setelah di tulisan sebelumnya di mojok.co ini saya membeberkan trik dari Dodit Mulyanto untuk dipelajari oleh Presiden Jokowi dan menyebut bahwa beliau terancam menjadi jomblo dan bernasib ngenes—ditinggalkan oleh relawan pendukungnya dan diusir rekan-rekan separtainya—beliau justru memecahkan masalah kembarnya dengan mengambil jalan suci ini: menjomblo.
Sejatinya, bukan setan atau preman yang ditakuti laki-laki. Cuma dua hal yang ditakuti laki-laki: istri yang cerewet dan istri yang suka ngatur. Laki-laki dengan istri cerewet cenderung bisa ditolerir oleh laki-laki lain dibanding laki-laki yang punya istri yang suka ngatur. Mungkin karena ada perasaan senasib-sepenanggungan. Persentase laki-laki yang punya istri cerewet memang lebih besar daripada laki-laki dengan istri yang suka ngatur.
Survey kecil-kecilan yang saya lakukan terhadap 10 teman laki-laki saya memberi hasil sebagai berikut: 4 orang beristri cerewet, 1 beristri suka ngatur, dan sisanya belum kawin.
Laki-laki yang bisa memenuhi 10 atau 20 dari 100 keinginan istri yang cerewet akan dianggap luar biasa, tapi laki-laki yang memenuhi 1 saja permintaan istri yang suka ngatur akan dianggap hina oleh teman-temannya. Begitulah bagaimana laki-laki memperlakukan sesamanya di warung kopi.
Presiden kita, Joko Widodo, sialnya punya keduanya. Istri pertamanya adalah relawan yang cerewet dan istri keduanya adalah partai yang suka ngatur.
Ketika tidak semua keinginan relawan pendukungnya—yang cerewet— terpenuhi, jujur saja, khalayak cenderung lebih bisa memaafkan. Salam gigit jari yang sempat digemakan di media sosial terdengar seperti petasan kecemplung kubangan, masuk angin. Tapi ketika, sekali saja, Jokowi terlihat mematuhi pesanan partainya—yang suka ngatur—maka nilainya langsung jatuh di pasaran. Beberapa relawan mengucapkan dadaag, beberapa mengatakan adios, beberapa lagi menyebut bon voyage. Tergantung bahasa mana yang sedang aktif di pengaturan google translate-nya. Dan salam gigit jari yang kembali bergema di media sosial hanya bisa dijawab para Jokower dengan bungkam.
Kemarin Jokowi mengambil keputusan yang tidak main-main. Beliau membatalkan pencalonan Budi Gunawan, mengabaikan pesanan partainya, yang berisiko membuatnya terusir dari partai. Jokowi juga memberhentikan sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, mencuekkan keinginan para relawan, yang berisiko membuatnya ditinggalkan.
Kita semua tahu bahwa ujung takdir dari dua keputusan yang diambil Jokowi secara bersamaan ini hanya satu: jomblo. Dari sini kemudian, segalanya menjadi menarik.
Menjomblo bagi Jokowi tidak diperlakukannya sebagai laku tauhid, bahwa beliau memang ‘menyadari’ kalau dirinya ditakdirkan menjadi jomblo lalu benar-benar ‘menjadi’ jomblo. Tidak. Lagipula, hanya pahlawan super (superhero) yang menyadari bahwa menjomblo—atau mati muda—adalah takdir yang menunggunya. Jokowi bukan pahlawan apalagi super. Jokowi juga tidak memperlakukan menjomblo sebagai pelarian, yang ‘rapopo walaupun menjomblo’ untuk menjustifikasi kesendiriannya seperti kata Mbah Nyutz. Meminjam istilah Gus Mul, hanya ‘laki-laki karbitan’ yang karena suntuk dikepung dan digempur istri yang cerewet dan/atau istri yang suka ngatur lalu memutuskan untuk menjomblo.
Menjomblo bagi Jokowi adalah jalan tengah ketika menyadari bahwa dirinya tidak bisa memuaskan semua orang. Kalau semua orang tidak bisa puas, maka biarlah semuanya tidak puas. Begitu mungkin pikirnya.
Jokowi adalah tukang kayu, semua orang tahu itu. Dia tukang kayu yang tetap menggergaji bilah-bilah papan dan pelan-pelan merakit sebuah dipan meski istrinya yang cerewet akan menyebut pekerjaannya tidak berguna, dan istrinya yang suka ngatur akan mengajarinya soal beda gergaji potong dengan gergaji belah. Karena dia tahu, setelah dipannya selesai dan dilambari kasur, maka istri-istrinya akan kembali tidur bersamanya di sana.
Atau, boleh jadi tidak. Mungkin istri yang cerewet akan tetap memilih tidur di lantai, sementara istri yang suka ngatur akan tidur di luar. Kalau begini kejadiannya, maka orang bisa saja berkata bahwa Jokowi adalah sesial-sialnya laki-laki. Tapi yang jelas, menjomblo tidak pernah dijadikannya jalan pelarian karena menjadi jomblo bukan tujuannya. Menjomblo sebagai jalan tengah bukanlah melarikan diri atau menjustifikasi kesendirian sebagai yang tunggal, tapi menjomblo sebagai jalan tengah adalah menegaskan takdir manusia: inilah diri yang tidak bisa memuaskan semua orang.
Take it or leave it!
Di tengah gempuran istri yang cerewet dan istri yang suka ngatur, maka menjomblo adalah jalan tengah yang bisa dilakukan semua laki-laki. Di tengah hiruk-pikuk relawan yang cerewet dan partai yang suka nitip pesanan, maka menjomblo adalah sebaik-baik pilihan yang bisa diambil Jokowi.
Terakhir, sebagai catatan, menjomblo sebagai jalan tengah tidak pernah menjadikan jomblo sebagai tujuan, tapi kalaupun begitu kejadiannya, maka sebagai laki-laki kita masih bisa berjalan dengan kepala tegak. Paling-paling cuma Penyair Chairil Anwar dari kuburnya di Karet Bivak yang akan meneriaki kita:
“Mampus kau dikoyak-koyak sepi!”