Jakarta Adalah Surganya Transportasi Publik, Makanya Mending Jual Aja Kendaraan Pribadimu Itu

Jakarta Surganya Transportasi Publik, Motor Pribadi Jual Aja MOJOK.CO

Ilustrasi Jakarta Surganya Transportasi Publik, Motor Pribadi Jual Aja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COJakarta itu memang surganya transportasi publik. Makanya, kamu nggak butuh kendaraan pribadi di sini dan selama 2 tahun saya sudah membuktikannya.

Di satu titik saya tersadar bahwa nggak punya kendaraan pribadi itu nggak mengurangi nilai apa pun dalam hidup saya. Asal niat, asal tinggal di perkotaan kayak di Jakarta, punya waktu, nggak kemakan gengsi, dan lain sebagainya pokoknya banyak, lah.

Saya pernah PDKT sama cowok dan tiba-tiba merasa malas cuma karena si cowok nggak bisa naik motor. Waktu saya tanya apakah dia bisa nyetir mobil, ya barangkali dia punya gaya hidup kayak bule-bule yang nggak akrab sama kendaraan roda 2, ternyata jawabannya sama: dia juga nggak bisa. Lalu saya tanya, “Kalau kuliah naik apa dong?” Dia jawab, “Gampang lah, jalan kaki, naik angkot, atau nebeng temen.”

Bagi saya, ketika itu, aneh sekali mengetahui seseorang sama sekali nggak bisa nyetir atau motoran. Itu kan basic skill. Kami pun berakhir menjadi sebatas teman olahraga karena saya nggak bisa ngebayangin kalau kencan, sayalah yang akan jadi andalan untuk mengantar dan menjemput dia. Walau mungkin sebenarnya nggak ada yang salah, tapi saya mager aja.

Belakangan, kenyataan menampar saya bahwa sebetulnya infrastruktur kita yang salah sehingga membentuk mindset kayak gitu di kepala saya. Intinya, sih, bukan salah si cowok itu. Iya, pokoknya pemerintah yang salah. Xixixi.

Nah, 2 tahun tinggal di Jakarta Pusat dengan jarak kantor 7 kilometer saja, bikin saya berani ngomong bahwa saya, di titik ini, nggak butuh kendaraan pribadi. Dan wajar bagi orang yang tumbuh di lingkungan demikian, jika mereka tidak bisa nyetirin mobil maupun motor. Saya tahu, 7 kilometer buat hitungan Jakarta itu relatif. Bisa dianggap jauh, bisa dianggap dekat. Tapi, mari saya jelaskan perjalanan spiritual saya sehingga terlepas dari kepemilikan kendaraan pribadi.

Ndilalah tinggal di Jakarta 

Ini adalah syarat utama seseorang bisa lepas dari kendaraan pribadi, setidaknya pada 2024. Sebab, jika ditilik memang hanya di Jakarta dan sekitarnya yang punya moda transportasi paling benar di Indonesia. 

Sebagai gambaran, untuk berangkat ke kantor, saya punya 3 pilihan transportasi umum, yaitu KRL, bus, dan MRT. Meski beberapa di antaranya harus jalan sedikit buat mencapai halte dan stasiun, tapi masih bisa teratasi asal nggak mepet-mepet amat berangkatnya.

Yang perlu dicatat adalah, kamu harus punya modal tidak malas jalan kaki. Dan saya rasa ini justru bagus. Setidaknya bikin badan gerak dikit. Beberapa teman saya yang pernah tinggal di negara maju juga sudah terbiasa dengan jalan jauh dulu saat bepergian. Misalnya kayak di Korea Selatan dan Jepang. Tapi, ya, lagi-lagi karena pemerintah negara maju memperhatikan betul pembangunan trotoar. 

Sumimasen… nggak kayak di Jogja, daerah Sleman ngalor sithik yang trotoarnya hilang ditelan rezim. Bus umum ada, tapi jalurnya ruwet dan haltenya cuma undak-undakan.

Di Jakarta, kalau saking malasnya bertanya ke orang, kamu bisa hanya mengandalkan Google Maps dan aplikasi Moovit untuk tahu rekomendasi jalur transportasi umum. Menyenangkan bukan? Bukan.

Baca halaman selanjutnya: Punya kendaraan pribadi di Jakarta (bisa) bikin ribet.

Berpikirlah merawat kendaraan itu ribet-ribet ngeselin

Saya bersyukur betul-betul bahwa selama 2 tahun ini saya nggak perlu lagi mikir hal-hal yang “ribet” terkait kendaraan. Misalnya, ganti oli, apakah ban luar motor sudah meleyot, apakah spion sudah benar, sampai ban dalam yang bocor alus terus kalau nggak pakai yang tubeless.

Memang agak anomali dari kebanyakan cewek. Saya termasuk yang peduli sama motor. Bakal jadi stres betulan ketika saya belum sempat servis motor, tunggangan kurang enak, tapi di saat yang sama belum gajian. Aduh, pusing-pusingnya ilmu padi, Abangku.

Terbiasa menaiki transportasi umum dan mengandalkan kedua kaki saat bepergian bikin saya terbebas dari kekhawatiran itu. Saya sampai pernah berpikir bahwa Tuhan betul-betul mengangkat beban saya untuk tidak lagi memikirkan oli dan ban motor di Jakarta. Bahkan mitos-mitos jalanan ibu kota yang penuh ranjau bertebaran itu saya nggak pernah ngalamin, kok.

Selamat tinggal pajak motor dan mahalnya biaya parkir di Jakarta

Pajak motor memang sesuatu yang lain. Kita harus membayarnya tepat waktu, antre di Samsat di awal pekan yang menjemukan, dan kembali perlu menyisihkan uang. Lagi-lagi jika kamu nggak ada kendaraan, beban ini sungguh tak pernah lagi terpikirkan.

Biaya parkir juga sesuatu yang lain, utamanya di Jakarta. Andai saya naik motor ke kantor, selain dapat panas terik Jakarta yang nauzubillah kayak franchise neraka, saya juga harus bayar mahal buat parkir gedungnya. 

Hitungan parkir gedung di Jakarta itu per jam. Misalnya, dalam satu hari, saya bisa saja mengeluarkan Rp18 sampai Rp20 ribu karena berada 8 sampai 10 jam di kantor. Kalikan 1 bulan, apa nggak boncos, tuh. Belum lagi parkir mal, parkir tempat makan, dan parkir-parkir di tempat nongkrong lain.

Bayangin, kalau naik transportasi umum, kamu tinggal duduk manis di dalam ruangan ber-AC dan serahkan semua pada Pak Sopir. Biaya pun murah betul. Bayangkan saya pergi dari Mangga Besar sampai Pasar Santa cuma ngeluarin Rp3.500 dengan naik Bus Trans Jakarta. Membelah DKI Jakarta ternyata semurah itu.

Bahkan sampai saya menulis ini, naik JakLingko ke mana-mana masih gratis. Asal punya e-money, semua beres. Kalau terburu-buru dan ingin pangkas waktu, masih bisa naik MRT yang berjalan di bawah tanah tanpa terganggu lalu-lalang jalan darat pada umumnya. Ada banyak cara, seribu jalan menuju Ancol.

Mengatasi nafsu motor-motoran buat ke minimarket terdekat

Awal pertama saya memutuskan nggak lagi mengandalkan kendaraan pribadi, problem naik motor jarak dekat itu yang paling mengganggu. Ya, kalau butuh beli sabun ke Indomaret atau beli beras ke warung madura yang jaraknya 2 gang itu emang nanggung. 

Jalan kaki terasa jauh. Naik ojek terlalu dekat. Belum lagi kalau butuh setor baju kotor ke laundri. Sepele tapi jadi PR besar.

Untungnya, hidup di Jakarta membuat saya dikelilingi persaingan bisnis jasa yang memfasilitasi orang malas. Ada banyak cara yang bisa saya jalankan. Butuh galon, sabun, dan kebutuhan yang sekiranya bisa dibeli di minimarket, bisa pakai aplikasi Alfagift. 

Kalau butuh laundri, banyak yang mau antar dan jemput, tinggal chat WhatsApp. Butuh ke warung madura, asal kamu akrab sama abangnya juga mau kok nganterin. Barang sesepele terasi pun bisa beli online dan sampai dalam waktu 15 menit pakai aplikasi Astro. Menyenangkan bukan? Bukan.

Intinya, nggak mustahil kita tetap bernas, bersosialisasi, sembari tidak punya kendaraan pribadi di Jakarta. Meski kadang harus tahan untuk nggak kemakan gengsi, sih. 

Ada sebuah masa depan cerah yang bisa kita sambut di kota-kota besar lain di Indonesia andai pemerintah mau serius benar ngurusin problematika transportasi. Herannya, PR besar macam ini sampai puluhan tahun pun tak juga dicicil untuk diselesaikan. 

Coba aja deh cari tahu berapa persen APBN yang dialokasikan buat pembangunan transportasi? Taruhan, banyakan APBN buat anggaran Kemenhan yang nggak bisa diaudit itu, kan?

Penulis: Ajeng Rizka

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Naik KRL Jakarta Bikin Badan Sehat, tapi Kondisi Mental Saya Jadi Gawat dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version