MOJOK.CO – Di mata orang Ambon landasan adat istiadat di Maluku yang sama antara Islam dan Kristen membuat kedua agama itu tampak sama saja.
Orang Ambon umumnya tidak tertarik dengan dogma dan ideologi serta tak terpengaruh, atau bahkan tidak mengetahui adanya perseteruan antara muslim dan Kristen di tempat-tempat lain, sehingga orang Ambon tidak bias dalam menerima dan memberikan penekanan pada pelbagai kesamaan yang ada di antara kedua agama itu.
Apalagi Islam dan Kristen berkembang di wilayah budaya yang sama, Timur Tengah, dan saling berkelindan melalui banyaknya gagasan yang diadopsi oleh Islam dari kepercayaan Kristen yang lebih baya.
Kondisi khusus masyarakat Ambon membuat penyesuaian kedua agama ini menjadi sesuatu yang dipandang perlu, dan sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, meskipun perubahan sejarah sering memicu perselisihan antara muslim dan Kristen, kedua kelompok itu mampu mengelakkan perpecahan yang lebih besar melalui cara mengagungkan kesamaan-kesamaan mereka, dan bukannya bersikukuh dalam pelbagai perbedaan itu.
Ditekankannya pelbagai kesamaan ini mengarah ke usaha-usaha harmonisasi yang berujung pada semacam sinkretisme longgar “horizontal” antara muslim dan Kristen yang bertolak belakang, tetapi berhubungan dengan sinkretisme “vertikal” yang lahir dari usaha-usaha meraih keharmonisan antara sistem kepercayaan tradisional dengan Islam serta Kristen.
Seiring perjalanan waktu, orang Ambon memandang Islam dan Kristen pada dasarnya hanya variasi dari iman yang sama. Pandangan ini diungkapkan secara populer melalui pantun: Slam dan Sarani. Pegang tangan-tangan ramai-ramai.
Secara sederhana, pantun ini dapat diterjemahkan, “Islam dan Kristen berpegangan tangan dan bersuka-cita,” atau secara lebih bebas, “selama Islam dan Kristen bersatu, kehidupan akan lebih menyenangkan.”
Kesatuan esensial di antara kedua agama diekspresikan pada tingkat tertinggi melalui keyakinan bahwa Upu Lanite, Tuhan Langit dari para leluhur, adalah Tuhan yang sama baik dalam Alkitab maupun Al-Quran, yaitu Tuhan Allah sebagaimana kedua agama ini menyebut Tuhannya dalam bahasa Melayu.
Dalam bukunya, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I: Kebudayaan (2017: 378-384), antropolog Dieter Bartles dengan cerkas membayankan, bahwa pantun ini mengarah pada kepercayaan orang Ambon tentang ajaran Yesus dan Muhammad merupakan dua cara yang berbeda tapi relatif setara untuk menuju keselamatan.
Tentu saja, kepercayaan yang kokoh ini sangat menjengkelkan para teolog Kristen modern dan cendekiawan muslim, tetapi sejauh ini orang-orang Ambon sama sekali tidak peduli dengan argumentasi mereka.
Dengan segera orang Ambon mengembangkan gambaran tentang gunung nan tinggi di mana Tuhan bertakhta di puncaknya. Islam dan Kristen merupakan dua jalan untuk mencapai puncak itu.
Islam sering memperkuat pendapat ini dengan mengungkapkan bahwa ajarannya mengakui Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (Yesus) sebagai nabi besar, sedangkan Kristen secara tersirat mengakui legitimasi Muhammad. Mereka sama-sama menekankan bahwa yang paling utama ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bukan soal bagaimana kepercayaan itu diekspresikan.
Dengan cara tertentu, kedua jalan keselamatan ini dapat saling menggantikan. Jadi dalam perkawinan antaragama, dianggap biasa, bahkan diharapkan seseorang dapat menerima kepercayaan pasangannya demi selarasan rumah tangga dan untuk membesarkan anak-anak.
Adapun konflik rumah tangga banyak disebabkan oleh gaya yang berbeda dalam mendidik anak, dan bukan karena agama itu sendiri, sehingga secara umum perkawinan antaragama tidak dianjurkan dan jarang sekali terjadi.
Tentunya umat Kristen Ambon mengharapkan pasangan yang Kristen tetap memeluk agamanya, tapi dalam banyak situasi, yang menentukan siapa yang akan mengikuti agama siapa adalah keadaan dan bukan ideologi.
Dalam suatu kasus yang terkenal, contohnya, ada tiga pemuda dari kampung Kristen di Nusalaut berpacaran dengan tiga gadis dari kampung pela mereka yang muslim di Pulau Ambon.
Dewan kampung dari kedua pihak memutuskan, satu-satunya jalan untuk menghindari amarah para leluhur akibat hubungan muda-mudi yang melanggar adat larang kawin antar-pela ini adalah dengan melucuti tiga pemuda itu dari keanggotaan warga kampungnya dan menjadikannya warga kampung muslim itu.
Para pemuda itu kemudian tetap diperbolehkan mengawini gadis-gadis muslim itu setelah terlebih dulu masuk Islam. Perpindahan agama secara “paksa” itu mengakibatkan naik pitamnya kepemimpinan gereja, tetapi mendapat persetujuan masyarakat.
Tepatnya, perihal ini terjadi karena prinsip bisa saling menggantikan yang diterima dengan baik itu membuat orang muslim maupun Kristen merasa tidak perlu terlibat dalam kegiatan dakwah atau kegiatan misi kelompok lainnya.
Hal ini piawai, meskipun keduanya memiliki tradisi panjang mengajak suku-suku penganut animisme di Seram dan di daerah lain di Maluku dan Papua untuk bergabung masuk agama mereka.
Sekali lagi, meski perihal ini mengecewakan gereja dan juga beberapa elite muslim, mayoritas masyarakat merasa bahwa perpindahan agama berdasarkan alasan-alasan yang murni religius hampir tidak ada, dan tak terbayangkan oleh siapa pun kecuali segelintir orang.
Melalui proses mempribumikan kedua agama besar dunia ini, dan sinkretisasi agama adat dengan kedua agama besar itu, serta pertalian antara Islam dan Kristen, maka satu agama yang “tidak kasatmata” mulai mengkristal di Maluku Tengah.
Dengan melebihi baik Islam maupun Kristen, agama etnis Ambon ini menjadi kekuatan utama dalam sejarah untuk memelihara identitas orang Ambon, walaupun ada banyak konflik kepentingan di bidang politik dan ekonomi.
Bartels menjulukinya sebagai agama Nunusaku (2017: 383)—karena peran penting yang dimainkan Gunung Nunusaku sebagai inti simbolik agama itu.
Gunung yang tidak terlihat, yang di puncaknya tumbuh pohon waringin (beringin) besar berbentuk payung ini memberikan perlindungan atau menjadi tempat bernaung bagi Islam dan Kristen, sekaligus merupakan pusat agama yang tidak kasatmata itu.
Prinsip ajarannya ialah Islam dan Kristen itu sama benarnya dan dapat dipercaya kebenarannya, dan bahwa adat diperuntukkan bagi agama muslim maupun orang Kristen.
Agama Nunusaku memiliki kesamaan dengan agama sipil dalam hal penganut umumnya yang mempraktikkan agama itu tanpa sadar melakukannya, dan bahwa Islam dan Kristen, sampai batas tertentu, memainkan peran bawahan dan sekunder dalam melestarikan nilai-nilai identitas etnis Ambon.
Peran integral Islam dan Kristen di agama Nunusaku juga memberikan individu lebih sedikit kebebasan pilihan dalam hal iman, tinimbang dalam agama sipil.
Terlepas dari kompleksitas yang muncul akibat keadaan khusus di Ambon, agama Nunusaku pada dasarnya masih tetap merupakan suatu agama etnis.
Agama ini melayani kelompok etnis yang berdiri sendiri dan beranggotakan bukan hanya mereka yang masih hidup, tapi juga para leluhur yang sudah wafat, roh-roh, dewa-dewa, generasi yang akan datang, serta tanah dan alam sekitar secara umum. Agama ini tetap merembes ke dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam bentuk tuntutan para leluhur (adat) maupun dalam bentuk ajaran Islam dan Kekristenan.
Isi, arti, dan pokok utama agama Nunusaku adalah masyarakat Ambon itu sendiri. Agama ini mencakup seluruh sifat-sifat masyarakat Ambon, memberi arti bagi identitas Ambon, dan melestarikan identitas masyarakat Ambon serta hubungan nan harmonis antara Kristen dan muslim Ambon.
Agama Nunusaku menghadap ke dalam, yaitu kepeduliannya mutlak ditujukan kepada masyarakat dan budaya orang Ambon. Agama ini tidak dapat, dan memang tidak mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi bagi semua manusia, kecuali bagi orang Ambon sendiri. Ia bersifat eksklusif.
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.