Menyaksikan Penderitaan dan Perjuangan Orang Kecil di Bandung dari Bawah Neon Putih-Biru-Merah Indomaret Pasteur

Indomaret Pasteur, Saksi Penderitaan Orang Kecil di Bandung MOJOK.CO

Ilustrasi Indomaret Pasteur, Saksi Penderitaan Orang Kecil di Bandung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COIndomaret Pasteur adalah sebuah titik kecil, yang menjadi saksi derita dan perjuangan orang kecil di sebuah kota besar bernama Bandung.

Saya sering makan di depan Indomaret. Tepatnya di kawasan Pasteur, Bandung. Jalan besar yang sibuk itu menjadi salah satu gerbang keluar-masuk kota. Sekitarnya penuh hotel murah, OYO yang berdempetan, bengkel, dan warung kopi yang tak pernah benar-benar tutup. 

Kalau sore, lalu lintas di depan Indomaret Pasteur seperti tak punya niat reda. Mobil menyalakan klakson, motor berebut celah, dan di antara semua itu ada saya, duduk di kursi besi putih di depan pintu otomatis Indomaret. Momen itu, saya menikmati roti sosis, air mineral, atau kalau lapar berat, nasi atau mie menjadi pilihan terbaik.

Orang mungkin menganggap Indomaret hanya toko kecil biasa. Tapi buat saya, ia seperti panggung terbuka di mana kehidupan kota menampilkan dirinya tanpa sadar. 

Di bawah cahaya neon putih yang tak pernah padam, orang-orang datang dan pergi membawa cerita mereka masing-masing. Tidak ada musik pengantar, tidak ada narasi besar. Hanya kehidupan sehari-hari yang terus berlangsung. Tanpa jeda, tanpa henti.

Dunia anak muda Bandung di muka Indomaret Pasteur

Pasangan muda sering datang berboncengan motor matik. Mereka membeli air mineral besar, snack, dan tisu wajah di Indomaret Pasteur. 

Saya sudah bisa menebak ke mana mereka akan pergi. Mungkin, ke salah satu hotel kecil di belakang gang. Cinta mereka tampak sederhana, tapi juga sedikit tergesa-gesa. 

Bukan karena tak punya waktu, tapi karena mereka tak punya tempat. Ruang publik di Bandung yang dulu seharusnya bisa jadi tempat beristirahat atau berbagi kasih, kini mulai berubah menjadi parkiran dan properti. 

Ketika privasi menjadi barang berbayar, cinta ikut beradaptasi. Cukup bayar 150 ribu rupiah semalam dan segalanya terasa lebih aman. Dunia yang sibuk ini memaksa manusia mencintai dalam hitungan jam.

Tawa anak SMA Bandung

Beberapa jam kemudian, muncul anak-anak SMA berseragam, masih berkeringat setelah pulang sekolah. Mereka membeli minuman manis, permen, atau es krim murah, lalu duduk di trotoar depan Indomaret Pasteur sambil bercanda tentang guru, teman, dan percintaan kecil mereka yang rumit tapi lucu. 

Saya sering senyum mendengar mereka tertawa. Sebuah tawa yang renyah tapi entah kenapa terasa juga getir. 

Saya tahu, dunia sedang menyiapkan mereka untuk menjadi orang dewasa yang disiplin, pekerja yang patuh, dan pembeli yang setia. Sekolah melatih mereka dengan tugas, dan pasar menunggu mereka dengan promo. Tawa mereka hari ini adalah pemanasan menuju dunia kerja yang tak banyak memberi ruang untuk tertawa.

Baca halaman selanjutnya: Saksi dari manis dan pahit getir kehidupan.

Indomaret Pasteur, tempat singgah barang sejenak

Menjelang sore, datang para pekerja berseragam biru dongker. Tukang bangunan, kurir paket, teknisi kabel, sopir angkot dari penjuru Bandung juga merapat.

Mereka membeli nasi bungkus dan teh botol di Indomaret Pasteur. Lalu, mereka makan di trotoar dengan cepat. Tak banyak bicara. Gerak mereka efisien, seperti waktu yang mereka punya: singkat dan mahal. 

Saya melihat kelelahan yang menumpuk di wajah-wajah mereka. Bukan hanya dari kerja fisik, tapi dari hidup yang ditentukan oleh upah harian dan harga bensin. Tapi, meski begitu, mereka tetap makan dengan tenang, kadang sambil bercanda pelan. Ada sesuatu yang lembut di sana. Ya, sejenis ketabahan yang tak perlu diumumkan.

Sumber kebahagiaan kecil

Kadang, datang ibu muda dengan anak kecilnya ke Indomaret Pasteur. Si anak langsung berlari ke rak permen, dan ibunya, setelah pura-pura menolak, akhirnya luluh juga. 

“Satu aja, ya.” 

Lalu mereka keluar sambil tersenyum. Anaknya menggenggam es krim yang meleleh di tangan. 

Pemandangan sederhana itu, entah kenapa selalu membuat dada saya hangat sekaligus perih. Di dunia yang keras ini, kasih sayang pun diukur lewat kemampuan membeli. 

Bagi banyak keluarga, konsumsi bukan hanya soal kebutuhan, tapi juga bentuk cinta, cara bertahan. Kapitalisme paham betul di mana letak hati manusia: di anak-anak yang senang kalau dibelikan sesuatu.

Kehidupan driver ojol di depan layar gawai

Di Indomaret Pasteur juga, driver ojek online sering duduk di bangku besi. Mereka sibuk menatap ponsel masing-masing. 

Kadang mereka bercanda soal pelanggan yang cerewet, kadang mengeluh tentang order yang sepi. Mereka tampak bebas, tapi di balik layar itu, algoritma sedang menentukan segalanya: ke mana mereka pergi, berapa lama mereka harus menunggu, bahkan seberapa banyak mereka bisa makan hari itu. 

Mereka tertawa, tapi ada rasa lelah yang dalam di baliknya. Dunia digital ternyata juga punya cara halus untuk memperbudak.

Kisah pekerja Indomaret Pasteur

Dan di dalam Indomaret Pasteur, kasir berdiri tegak di balik meja. Wajahnya muda tapi matanya lelah. 

Dia tersenyum setiap 15 detik, menyebut harga, menawarkan promo. “Sekalian top up, Kak?” atau “Ada promo dua ribuan, loh.” 

Saya kadang berpikir, betapa luar biasanya manusia bisa berpura-pura ceria di tengah kerja monoton seperti itu. Tapi di situlah ideologi bekerja. Di wajah yang harus tetap ramah, bahkan ketika gaji tak cukup untuk menabung. Dalam dunia ini, bahkan senyum bisa dijual, dan keramah-tamahan menjadi komoditas.

Di dalam Indomaret Pasteur, (seharusnya) semua setara

Kalau melihat dari luar, semua orang di Indomaret Pasteur itu tampak setara. Semua antre di kasir yang sama, memegang uang yang sama, dan membawa pulang kantong plastik yang juga sama. 

Tapi, sebenarnya, tidak ada yang setara di sana. Yang satu datang dengan motor cicilan, yang lain berjalan kaki. Lain lagi membeli karena bosan, yang lain karena lapar. 

Di balik keseragaman itu, ada struktur besar yang bekerja diam-diam. Kapitalisme yang mengatur ritme hidup manusia sampai ke hal paling kecil. Kapan harus makan, apa yang harus dibeli, bahkan bagaimana cara tersenyum.

Saya menatap logo Indomaret Pasteur di atas kepala saya dan tiba-tiba merasa aneh. Tempat sekecil ini ternyata memantulkan wajah dunia yang besar. 

Indomaret bukan cuma toko. Ia adalah dunia dalam versi mini. 

Apa yang terjadi di sini—hubungan antar manusia, cara bekerja, cara mencintai, cara bertahan—juga terjadi di mana saja: di pasar modern, mall, platform daring, hingga ruang kerja. Semuanya mengikuti logika yang sama: logika uang, efisiensi, dan citra kebahagiaan yang dijual lewat kemasan.

Bias kenyataan dan kebiasaan

Kita semua, tanpa sadar, sedang memainkan peran yang sudah disiapkan: pembeli, pekerja, pengguna, pelanggan. Kita mendapat ilusi bahwa kita bebas memilih, padahal pilihan itu sudah ditentukan. 

Mau Indomaret atau Alfamart, Shopee atau Tokopedia. Semuanya hanya nama berbeda dari sistem yang sama. Dan sistem itu sudah begitu rapi sehingga kita bahkan merasa nyaman di dalamnya.

Malam makin turun, tapi lampu Indomaret Pasteur tak pernah padam. Saya masih duduk di kursi itu, roti saya sudah habis, kopi kaleng sudah dingin. 

Dari balik pintu otomatis Indomaret Pasteur, udara dingin AC terus keluar, seperti napas panjang dunia yang tak pernah berhenti bekerja. Saya melihat orang-orang datang dan pergi, dan entah kenapa, saya merasa sedang menatap kehidupan dalam bentuk paling jujurnya: sederhana, berisik, tapi menyimpan paradoks yang dalam.

Di bawah cahaya putih yang dingin itu, saya paham satu hal: dunia tak selalu berubah lewat revolusi besar atau pidato lantang. Kadang ia memperlihatkan dirinya lewat hal-hal kecil. Ya seperti yang saya jelaskan: senyum kasir, tangan anak kecil yang menggenggam permen, atau para buruh dan pekerja di Bandung.

Dan ketika saya berdiri, membuang bungkus roti ke tempat sampah, saya merasa seolah sedang meninggalkan panggung kecil. Sebuah panggung di mana kapitalisme tampil begitu halus, begitu manusiawi, sampai kita tak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan kebiasaan.

Penulis: Muhammad Ifan Fadillah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Rekomendasi 4 Camilan Gluten Free yang Bisa Dibeli di Indomaret dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version