MOJOK.CO – CCTV yang dipasang di masjid berfungsi ganda. Selain untuk mengamankan inventaris masjid, ternyata juga sukses membuat jamaah lebih khusyuk dalam beribadah.
Akhirnya CCTV (closed circuit television) dipasang di masjid kampung saya. Kamera diletakkan di empat titik. Satu untuk mengawasi tempat parkir, satu menyorot serambi. Satu lagi di atas pintu utama menunggui sandal. Sedang sisanya dipasang di dalam masjid menonton jamaah.
Kehadiran CCTV itu sendiri dipicu oleh peristiwa yang menjengkelkan. Dalam satu setengah bulan saja, masjid kemalingan sampai empat kali. Sasarannya adalah kotak infak. Dua kali kotak masjid kami dicongkel lalu uangnya dikuras. Dua kali berikutnya—agaknya karena terburu-buru—kotak infaknya juga ikut diembat.
Sebelum-sebelumnya, kasus pencurian juga pernah terjadi. Beberapa kali mikrofon lenyap, pernah juga lampu di toilet. Sepeda seorang jamaah juga pernah digondol. Tapi untuk kejadian sebelumnya, interval pencurian tidak sampai serapat kali ini. Pencuri itu mungkin berpikir bahwa pencurian di rumah-rumah Tuhan tidak terlalu berdosa. Tuhan toh Mahabaik dan Mahakaya. Kalau sekadar barang-barang kecil atau duit receh yang dicuri, Dia pasti tidak akan marah.
Barangkali Tuhan memang tidak marah, tapi tidak dengan para pengurus takmir. Begitu mendengar laporan tentang pencurian kali keempat, rapat darurat digelar. Kasus beruntun ini dirasa sudah keterlaluan. Harus ada tindakan antisipasi dengan segera. Dalam rapat, beberapa usulan mengemuka, yang paling santer adalah pemasangan CCTV. Meskipun gelombang keberatan terhadap usulan tersebut juga tak kalah besar.
Di masjid-masjid kota CCTV sudah bukan barang baru, kata para pengusulnya. Ia sudah menjadi kebutuhan. Pengurus bisa mengecek kondisi masjid dengan mudah dari rekaman yang dikirim kamera pengawas. Bahkan kalau mau bisa juga disambungkan ke telepon seluler, sehingga pengurus bisa mengontrol masjid dari rumah. Sungguh sebuah tindakan antisipasi yang begitu praktis.
Bagi pihak yang keberatan—di luar soal anggaran yang bisa jadi lebih banyak ketimbang dana infak yang dicuri atau bahkan dari saldo yang dimiliki masjid, CCTV belum dipandang mendesak. Masjid kami tidak memiliki banyak program kegiatan. Selain salat jamaah lima waktu dan terkadang pengajian bulanan, rumah ibadah itu nyaris kosong. Jadi, tidak banyak yang butuh pengawasan dari CCTV. Malah eman-eman CCTV-nya.
Hingga akhir rapat darurat tersebut, soal CCTV ini belum mendapat keputusan bulat. Rapat pun bubar.
Namun, seminggu kemudian seorang donatur datang ke masjid membawa CCTV plus teknisinya. Tanpa perdebatan, alat tersebut langsung dipasang di beberapa titik dan dihubungkan ke layar monitor yang ada di kantor sekretariat. Kehadiran CCTV ini, cukup membuat masjid dusun kami menjadi terlihat lumayan keren.
Pasalnya, CCTV adalah teknologi baru kedua yang masuk ke dalam masjid kami. Sebelumnya ada donatur yang mengirim jam digital yang dilengkapi pengaturan jadwal waktu-waktu salat. Biar tidak ketinggalan zaman, katanya. Jam digital model begitu memang sedang tren. Selain sebagai tanda telah mengikuti perkembangan—masih kata donaturnya—jam itu diharapkan dapat membuat jamaah lebih disiplin. Meski entah apa maksudnya.
Tapi beberapa perubahan memang benar-benar terjadi. Kita kami tiba-tiba menjadi orang yang begitu sibuk. Jarak antara azan dan iqamah, misalnya, yang dulu fleskibel, bisa agak lama sambil menunggu jamaah yang rumahnya jauh atau yang salat sunahnya lama, kini ditertibkan. Alarm akan langsung mendengking bila masa tenggang habis dan muazin segera tancap gas. Banyak jamaah yang menggerutu tapi lama-lama menyesuaikan diri. Kekuasaan jam ini nyaris menyaingi kuasa ketua takmir.
Sebagaimana jam digital, saya menduga kehadiran CCTV juga akan ada pengaruhnya. Dugaan saya tidak meleset. Sejak dipasang hingga hari ini alhamdulillah tidak ada kabar kehilangan. Semua aman terkendali. Meski tidak ada peringatan seperti Masjid ini dilengkapi CCTV, tapi kamera yang menonjol agaknya telah mengintimidasi seseorang untuk tidak berbuat jahat. Jamaah juga lebih tenang karena merasa propertinya dijaga.
Alhamdulillahnya lagi, dengan adanya CCTV secara pribadi saya merasa salat saya jadi lebih tenang, lebih khusyuk. Di masjid-masjid lain yang juga ber-CCTV rasanya biasa saja. Mungkin ini karena di masjid kampung sendiri, dengan orang-orang yang saya kenal dan mengenal saya. Apalagi selalu ada saja jamaah yang iseng ke sekretariat sekadar untuk melihat rekaman, mengecek mundur, dan mencari-cari tingkah konyol jamaah.
Maka, seperti halnya mereka yang tak mau tertangkap kamera dalam keadaan buruk, di bawah kamera yang tidak berhenti melotot ini, saya juga harus menjaga penampilan dan imej. Bahkan, untuk ngupil saat salat saja sekarang saya harus berpikir dua kali. Sungguh benar-benar ada hikmahnya. Meski terkadang dalam ibadah saya, saya justru merasa jadi lebih sering ingat CCTV ketimbang Tuhan.
Oh, ya. Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, ada kabar dari takmir bahwa—sebelum pemasangan CCTV—kotak infak yang hilang telah dikembalikan. Muazin menemukannya tergeletak di serambi masjid. Kondisinya baik-baik saja. Tidak ada bekas rudapaksa. Uang tidak disentuh. Bersama kotak tersebut disertakan sepucuk surat yang dilakban di kotak, seperti dari kantor pos.
Melalui surat tersebut, selain permintaan maaf pencurinya juga menulis beberapa pengakuan. Katanya, dalam beberapa bulan ini ia mencuri di banyak masjid. Ia terpaksa melakukannya untuk membiayai ibunya yang menderita kanker otak dan harus dirawat di rumah sakit. Malam itu ia mengembalikan semua kotak yang dicuri karena ibunya sudah tidak memerlukan biaya lagi. Ibunya meninggal dunia.
Terlepas dari tindakan yang dilakukannya, ini sungguh kabar yang menyayat. Karena itu, selain bisa membuat saya makin khusyuk, ke depan saya berharap kehadiran CCTV juga bisa membuat kita makin peduli dengan kondisi jamaah.