Sandal kamu pernah tiba-tiba hilang di masjid?
Ketika semangat hendak mau pulang setelah sembahyang, kamu ingat meletakkan sandalmu di mana, tapi waktu dicari-cari sandalmu benar-benar tidak ada. Dan karena ogah pulang nyeker, lalu di kepalamu muncul ide ini:
“Sandal ane ilang, berarti ane harus pinjem sandal orang lain nih.”
Pernah?
Di pesantren, hal semacam itu lumrah terjadi. Aksi perpindahan kepemilikan barang ini punya istilah sendiri. Ghosob namanya.
Ghosob secara sederhana berarti meminjam barang orang lain tanpa minta izin sama si empunya barang. Beda dengan mencuri, dalam ghosob selalu ada niat khusus bahwa barang yang diambil bukanlah untuk dimiliki, tapi dipinjam. Ya, hanya dipinjam. Artinya ada niat nanti suatu saat mau dikembalikan.
Nah, niat inilah yang mungkin dibaca oleh Hakim Tunggal Yang Terhormat, Ferdinandus, dalam salah satu dari dua dasar pembatalan penetapan tersangka oleh Kejati Jawa Timur kepada Ketua Umum PSSI: La Nyalla Mattalitti, 12 April lalu.
Sebelumnya, pada tanggal 16 Maret, La Nyalla disangka oleh Kejati Jatim menerima dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur pada tahun 2012. Negara dianggap rugi uang sebesar lebih dari 5 miliar. Tidak terima dianggap korupsi, pihak La Nyalla kemudian mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya.
Gugatan ini kemudian sukses membuat La Nyalla terbebas dari status tersangka. Paling tidak untuk sementara.
Di poin pertama keputusan praperadilan, Pak Hakim Praperadilan menganggap bahwa alat bukti yang digunakan untuk menyangka La Nyalla sudah pernah digunakan untuk menjerat Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring, dua terpidana yang ada di kasus yang sama.
Nah, di poin kedua, Pak Hakim menilai bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.
Lho? Lho? Kok bisa?
Jebule, sebelum kasus ini mengemuka, La Nyalla sudah mengembalikan semua dana yang diduga dikorupsi itu secara bertahap. Jadi, menurut Pak Hakim, jika uang negara dikembalikan sebelum penyidikan dan penyelidikan dimulai, hal itu bukan lagi perkara pidana. Emejing!
Dinilai dari perspektif “hukum pesantren”, yang dilakukan Pak La Nyalla bukanlah korupsi, suap, atau tindakan penyelewengan uang negara, tapi cuma ya ghosob tadi. Meminjam uang negara sebentar, untuk kemudian dikembalikan.
Dan sebagaimana yang telah dijelaskan di paragraf awal tadi, karena ghosob, jadi Pak La Nyalla enggak perlu izin sama empunya pemilik uang negara, yakni rakyat.
Namun, aktivitas ghosob seperti La Nyalla ini bukannya tidak meninggalkan masalah. Bahkan sekalipun bagi warga di lingkungan pesantren yang sudah terbiasa dengan aktivitas ini. Dalam beberapa situasi dan kondisi, ghosob kadang masih dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Baik bagi santri maupun bagi Pak Kiai sebagai pengasuhnya.
Salah satu contohnya adalah kejadian nyata yang menimpa Kiai di salah satu pesantren cukup terkenal di Sragen, Jawa Tengah.
Alkisah, pada suatu malam ba’da salat Isya berjamaah di masjid, para santri melihat ada yang berbeda dari cara jalan Pak Kiai. Setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata malam itu Pak Kiai berjalan tanpa alas kaki alias nyeker dari pelataran masjid ke kediamannya yang hanya berjarak 10-an meter.
Ini unik, sebab biasanya santri atau ustad yang kehilangan sandal di masjid lalu pulang nyeker. Tapi kali ini momen tersebut menimpa Pak Kiai.
Para santri yang melihat itu mungkin membatin: “Geblek amat ada anak ngambil sandalnya Pak Kiai. Ghosob sih ghosob, tapi ya mbok diperhatiin dulu itu barang siapa yang punya.”
Pak Kiainya juga mungkin senewen: “Iki mesti bocah guobloke ora ketulangan!”
Meski demikian, Pak Kiai merasa hal tersebut masih dalam kategori wajar. Toh, blio juga dulunya pernah mondok, jadi hal-hal beginian sudah dianggap sebagai risiko yang tak asing. Pak Kiai berpikir sandalnya akan ketemu sendiri nantinya. Blio pun membeli lagi sandal jepit baru dan kembali digunakan untuk ke masjid.
Sehari dua hari sandalnya yang lama enggak ketemu-ketemu juga. Dalam budaya ghosob, hal yang lumrah jika barang yang di-ghosob baru akan dikembalikan jika sang pemilik memergoki si pelaku sedang memakai barangnya. Selama barang yang di-ghosob belum ketemu, si pelaku bisa terus memakainya sesuka hati.
Dalam penantian Pak Kiai terhadap pelaku ghosob sandal jepitnya itu, lha kok ndilalah sandal barunya ikutan raib juga di pelataran masjid. Kejadian ini tidak berhenti di sandal jepit kedua, tapi juga sandal-sandal jepit Pak Kiai berikutnya. Hingga suatu ketika, blio melihat salah satu sandalnya dipakai oleh santrinya sendiri.
“Le, coba lihat sandalmu itu?”
Si anak dengan santai menunjukkan sandal tersebut ke Abah-nya. Si Abah memerhatikan dengan seksama ciri-ciri sandal jepit yang pernah ia punya. Lho kok mirip, batinnya.
“Ini sandalmu atau kamu dapet darimana, Le?” tanya Si Abah atau Pak Kiai.
“Enggak tahu, Bah. Dapet di tempat wudhu pondok putra,” jawab si santri.
“Kayaknya ini sandalnya Abah dulu deh, lha tapi kok ada nama kamu di sini?”
“Hehe, aku tulisin sendiri biar enggak ilang.”
Mendengar penjelasan tersebut, Pak Kiai mengira mungkin para santri tidak tahu kalau sandal yang di-ghosob adalah sandal miliknya karena tak ada namanya di sandal tersebut. Pak Kiai lalu mengambil spidol kemudian menuliskan sesuatu di alas sandal jepitnya yang baru. Ditulisnya: “Abah”.
Benar saja. Berhari-hari kemudian sandal Pak Kiai aman sentosa dari ghosob. Tak ada satupun santri yang berani mendekati sandal yang telah bertuliskan kata “Abah” tersebut.
Tapi kekuatan nama tersebut hanya bisa bertahan tidak lebih dari dua minggu, hingga akhirnya kalah juga oleh budaya ghosob di pesantren tersebut.
Pak Kiai kembali mangkel. Selang beberapa waktu, persoalan sandal yang di-ghosob tadi akhir terjawab ketika Pak Kiai lagi-lagi mengenali sandal yang dipakai salah satu santrinya yang lain.
“Le, coba lihat sandalmu itu?”
Si santri tadi dengan santai menunjukkan sandalnya. Betapa terkejutnya Pak Kiai ketika melihat bahwa di alas sandalnya tertulis dengan jelas: “Abah”.
“Oalah, berarti kamu tho Le, yang ‘ghosob’ sandalnya Abahmu ini…” kata Pak Kiai.
“Lho? Bukan, Bah. Bukan aku…” santri tersebut membela diri.
“Lha siapa lagi? Jelas-jelas kamu bawa sandal yang ada tulisan ‘Abah’ kok.”
“Duh, jadi Abah selama ini enggak tahu, ya?” si santri tersebut mendadak bertanya.
“Enggak tahu apa emangnya?” Pak Kiai bingung.
“Iya, Abah enggak tahu kalau seluruh sandal santri putra tuh semuanya ditulisin ‘Abah’…”
Mendengar jawaban si santri tersebut, Pak Kiai makin mesem.
Pak Kiai yang judek ndase ini mungkin sama judek-nya dengan Kejati Jatim yang bingung dengan keputusan hakim praperadilan, terutama mengenai uang yang dikembalikan La Nyalla karena enggak jadi dianggap korupsi itu.
Kejadian ‘ghosob’ La Nyalla ini sedikit mirip dengan kasus Idham Samawi yang pernah juga mengembalikan duit kerugian negara di tahun 2014 lalu sehingga terbebas dari sangkaan korupsi. Mantan Bupati Bantul ini pernah hampir saja terjerat kasus dugaan korupsi soal dana hibah klub Persiba Bantul pada 2011.
Nominalnya tidak main-main, lebih dari 11 miliar duit yang harus diganti agar Idham bisa terlepas dari jeratan sangkaan kasus korupsi.
Seperti halnya budaya ghosob di pesantren, barangkali La Nyalla dan Idham merasa bahwa “meminjam” uang negara itu tidak masalah asalkan nanti ada niat untuk dikembalikan. Pertanyaannya kemudian: Jika tuduhan korupsi tersebut tidak muncul, apakah niat mengembalikan itu benar-benar ada?
Oke, urusan niat memang bukan wilayah kita. Itu urusannya manusia sama Tuhannya masing-masing. Tapi kan—meminjam kata-kata santri di atas:
“Ghosob sih ghosob, Pak. Tapi ya mbok pikir dulu itu barang siapa yang punya. Itu kan uang rakyat! Bukan punya simbahmu!”