Hei, Sejarah Bukan Hanya Ditulis oleh para Pemenang!

Ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang” sumber awalnya adalah terjemahan ungkapan berbahasa Inggris; “history is written by the victors.”

Hei, Sejarah Bukan Hanya Ditulis oleh para Pemenang!

Hei, Sejarah Bukan Hanya Ditulis oleh para Pemenang!

MOJOK.COKredo “sejarah ditulis oleh para pemenang” sudah jadi semacam iman yang jarang dikritisi ulang. Padahal, faktanya nggak gitu-gitu amat.

“Sejarah ditulis oleh para pemenang.”

Bukan sekali dua kali saya ketemu ungkapan demikian dalam keseharian. Mulai dari tempat nongkrong, ruang rapat, diskusi, sampai debat yang sudah sampai nyewa kusir segala.

Kapan hari saya bahkan mendapati bahwa ungkapan tadi pernah dituliskan ke dalam slide presentasi oleh seorang pakar sejarah tersohor, sekaligus penulis sederet buku bereputasi bagus. Cukup untuk membuat saya gumun dan lantas membatin, “Wah kata-kata ini memang ada di mana-mana ya?”

Dalam sejumlah kesempatan, saya bertemu ungkapan yang ada di mana-mana tadi dalam versi variannya. Entah tepatnya harus disebut sebagai versi modifikasi atau malah terdegradasi.

Bagian kata “ditulis” tampil sebagai “dibuat”; bagian “para pemenang” muncul sebagai “penguasa”. Menjadi: “sejarah dibuat oleh penguasa”.

Rasa-rasanya “sejarah ditulis oleh para pemenang” atau “sejarah dibuat oleh penguasa” sudah jadi aforisme atau bahkan aksioma. Orang sudah mengamininya begitu saja.

History is written by the victors

Sependek yang saya tahu, kredo “sejarah ditulis oleh para pemenang” sumber awalnya adalah terjemahan ungkapan bahasa Inggris “history is written by the victors”. Saya sih cukup memercayai ini.

Lebih lagi setahu saya tak ada tokoh besar Indonesia, politisi maupun akademisi, yang diidentikkan orang sebagai pencetus orisinal ungkapan tadi. HOS Tjokroaminoto bukan, Soewardi Soerjaningrat bukan, Sukarno pun bukan.

Dua tokoh besar lain yang terhitung rajin menghasilkan buku seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin memang merumuskan pengertian tentang sejarah, tapi rumusan versi mereka bukanlah sesuatu yang bernuansa relasi kuasa semacam “sejarah ditulis oleh para pemenang”, tapi justru terbilang lebih bernuansa akademis dan metodologis.

Bung Hatta memaknai sejarah sebagai; “pemahaman masa lampau yang mengandung berbagai dinamika, mungkin berisi problematik pelajaran bagi manusia berikutnya.”

Lord Yamin memaknai sejarah sebagai; “ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan.”

Bahwa ungkapan “history is written by the victors” populer juga di antara orang-orang luar negeri adalah hal lain yang bagi saya menunjukkan asal-usulnya sebagai barang impor.

Ada lebih dari satu versi tentang sosok pencetusnya pertama kali. Ada yang menyebut Winston Churchill, Napoleon Bonaparte, hingga Niccolo Machiavelli. Saya sih lebih percaya ungkapan itu bersumber dari Winston Churchill.

Jika boleh menyimpulkannya condong secara simplistik dan bercampur gojekan, kan mesti ingat bahwa Napoleon Bonaparte itu penutur bahasa Prancis, sedangkan Nicollo Machiavelli itu penutur bahasa Italia.

Mosok mereka pas ngeluarin uneg-uneg malah pakai bahasa Inggris “history is written by the victors”? Kan wagu toh?

Jurus ngeles

Sebenarnya tidak benar-benar penting mencari tahu orang pertama yang mengucapkannya atau menuliskannya. Toh, ungkapan itu menurut saya nggak benar-benar tepat.

Ungkapan tersebut aslinya lebih merupakan salah satu jurus ngeles paling sering saya temukan saat berdebat dengan orang perihal sejarah dan politik. Sejatinya itu lebih menunjukkan kemalasan dalam mencari tahu, mendokumentasikan pemikiran, juga menutupi lemahnya argumen.

Ketimbang tersandera aforisme yang menonjolkan relasi kuasa tadi, kiranya lebih pas jika mendefinisikan sejarah sebagai narasi, deskripsi, serta eksplanasi tentang tema, peristiwa, juga tokoh maupun sekelompok orang tertentu via pencarian dan verifikasi sumber, penafsiran, terhadapnya, serta penyajian/penulisan.

Definisi tadi saya comot dan sedikit sunting dari tulisan Pak Bondan. Di sini, Pak Bondan yang saya maksud bukanlah Almarhum Bondan Winarno, jurnalis senior dan pakar periklanan yang lantas tenar sebagai presenter acara kuliner di televisi, melainkan Bondan Kanumoyoso, sejarawan dari Universitas Indonesia.

Pak Bondan yang sejarawan tadi tepatnya menuangkan definisinya perihal sejarah dalam modul Metode Sejarah untuk kegiatan “Workshop Penulisan Sejarah di Sheraton Mustika Hotel Jogja”, pada Februari 2017.

Jika teliti mengamati definisi yang bersumber dari Bondan Kanumoyoso tadi, rasanya kita sejatinya bisa cukup percaya diri untuk menyimpulkan bahwa alih-alih hasil cipta pemenang atau penguasa, sejarah pada dasarnya hasil cipta pihak yang mau menuliskan atau mendokumentasikan.

Tak jarang penulisan dan pendokumentasian itu menuntut ketekunan dan kecermatan. Itu idealnya juga melalui proses verifikasi dan penyuntingan yang disertai ketelitian.

Definisi sejarah ala Bondan Kanumoyoso terjadi bahkan dapat turut menjelaskan narasi sejarah yang dicipta dan didukung oleh pihak pemenang perang atau pemenang konflik hingga pihak rezim penguasa.

Apa yang mereka lakukan itu, dengan banyak di antaranya disertai intensi menjamin kemantapan kekuasaan hingga glorifikasi diri, nyatanya tidak terlepas juga dari proses menulis dan mendokumentasi.

“Kebetulan” karena memiliki kekuatan hingga kewenangan, pihak pemenang perang atau konflik maupun rezim penguasa dapat menyebarluaskan sejarah yang mereka cipta atau mereka dukung.

Alhasil narasi versi pemenang atau penguasa itu dapat menjadi arustama di lingkup massa maupun teritori yang mereka kontrol.

Mau nggak menulis dan mendokumentasikan?

Namun, semua itu sejatinya tak serta-merta menegasikan kans adanya narasi sejarah versi alternatif dari pihak non pemenang atau non penguasa, yakni mulai dari mereka yang kalah dalam perang maupun konflik, pihak yang beroposisi terhadap penguasa, sampai orang kebanyakan alias kawula biasa tanpa atau minim motif kritis.

Ini balik ke soal mau-nggaknya mengerjakan penulisan atau pendokumentasian. Kalau malas menulis atau mendokumentasikan, lalu buru-buru menyitir “sejarah itu ditulis oleh pemenang” atau “sejarah itu dibuat oleh penguasa”, maka sejarah yang ada ya versi bikinan pemenang atau penguasa.

Selama ini, nyatanya banyak kok sejarah versi non-pemenang atau non-penguasa yang bisa eksis dan memberikan perspektif alternatif untuk masyarakat.

Ketika para penguasa Mataram Islam mengkanonisasi sejarah Jawa dalam kronik resmi semacam Babad Tanah Jawa dan Serat Kandha, kisah-kisah alternatif dan bahkan antitesisnya dihasilkan oleh masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur maupun Jawa Tengah yang pernah menjadi taklukan Mataram, baik dalam wujud tertulis maupun sebagai cerita rakyat lisan.

Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, Serat Darmagandhul, hingga cerita-cerita seputar tokoh-tokoh legendaris seperti Syech Siti Jenar, Ki Ageng Mangir, dan Adipati Pragola, merupakan beberapa contoh remah-remah memori alternatif di luar narasi sejarah resmi pihak Mataram.

Dalam sederet kasus gesekan hingga benturan dengan kekuatan Kolonial pada 1600-an hingga awal 1900-an, begitu sering pihak kekuatan lokal Nusantara menjadi pihak yang kalah.

Daftarnya antara lain meliputi Perubahan Jayakarta menjadi Batavia 1619 sampai ke Perang Aceh dan peperangan di Bali serta Lombok pada medio abad XIX hingga awal abad XX.

Namun, kini orang Indonesia bisa melihat sederet kekalahan perang itu sebagai sederet teladan heroisme para pendahulu bangsa ini.

Masuk zaman Indonesia Merdeka, bangsa dan negara Indonesia mengalami sejumlah momen kekalahan saat berkonflik dengan kekuatan Asing.

Contohnya: Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Operatie Product alias Agresi Militer I Belanda, Operatie Kraai alias Agresi Militer II Belanda, Pertempuran Laut Aru 15 Januari 1962, serta Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963 -1966.

Namun, lagi-lagi untuk semua peristiwa itu, orang Indonesia lantas dapat memaknai mereka sebagai serangkaian momen heroik.

Oh ya, jangan lupakan juga dokumenter Senyap dan Jagal karya Joshua Oppenheimer, Trilogi Insiden (Saksi Mata; Jazz, Parfum & Insiden; Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara) karya Seno Gumira Ajidarma.

Belum lagi dengan tetralogi Bumi Manusia dan karya-karya lain Pramoedya Ananta Toer selama ditahan di Pulau Buru, atau esai kritik “Als Ik Een Nederlander Was” karya Soewardi Soerjaningrat, hingga novel Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker.

Tidakkah semuanya ini contoh karya-karya yang bermuatan narasi alternatif yang mengkritik dan melawan narasi sejarah arustama pihak pemenang dan penguasa?

Fakta yang seharusnya bikin kita punya sedikit keberanian merevisi ungkapan (yang konon milik) Winston Churchill itu. Bahwa sejarah bukan hanya ditulis oleh para pemenang, tapi ditulis juga oleh para penantang. Orang-orang kalah dan ngeyel, yang nggak mau takluk dengan keadaan.

BACA JUGA Yang Terjadi kalau Majapahit Masih Eksis hingga Hari Ini dan tulisan Yosef Kelik lainnya.

 

Exit mobile version