Google dan Tambang Data Amerika: Mengapa Keseharian Kita Semakin “Dikontrol” oleh Segelintir Korporasi?

Merger dan akuisisi itu belum tentu buruk. Tapi, harus ada batasan dan pengawasan yang memastikan bahwa pada akhirnya, konsolidasi antar-perusahaan itu tidak akan merugikan pelanggan dan persaingan.

Google dan Tambang Data Amerika MOJOK.CO

Ilustrasi Google dan Tambang Data Amerika. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COData adalah kekayaan yang besar. Amerika menyadari hal itu. Salah satu wujud yang akrab dengan kita adalah keberadaan Google dan Amazon.

Data is the new oil.” (Clive Humby).

Tahun 1870, seorang pria bernama John. D. Rockefeller mendirikan sebuah perusahaan pengolahan minyak di Amerika Serikat dengan nama Standard Oil. Abad itu (abad 19) adalah pertama kalinya minyak bumi ditemukan di Amerika. Di masa ketika kendaraan bermotor belum ada, minyak banyak diolah menjadi kerosin untuk bahan bakar lampu.

Karena keuletan dan kecerdasan Rockefeller, Standard Oil berkembang dengan begitu pesat hingga bisa memonopoli 90% bisnis pengolahan minyak di sana hanya dalam waktu satu dekade. Ini turut mengantarkan Rockefeller menjadi orang terkaya di seluruh dunia saat itu, bahkan mungkin sepanjang sejarah modern.

Satu strategi yang digunakan Standard Oil untuk mendominasi pasar adalah dengan melakukan merger dan akuisisi. Dua cara untuk konsolidasi perusahaan.

Strategi merger dan akuisisi

Merger terjadi jika ada dua atau lebih perusahaan yang sepakat bergabung menjadi satu perusahaan baru. Misalnya, Indosat Ooredo dan Hutchison (Tri) atau bergabungnya Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo (wahai pengguna Tri, ada yang ngalamin juga nggak belakangan sinyalnya suka tiba-tiba sirna?).

Di lain pihak, akuisisi artinya membeli. Ambil contoh yang familiar: Google (atau Alphabet).

Google, antara lain, telah mengakuisisi Android dan YouTube pada 2005 dan 2006. Iya, sistem operasi Android di gawai kita-kita yang bukan pengguna iPhone. Berkat dua akuisisi ini saja, jumlah pelanggan dan pangsa pasar baru yang diraih Google hingga saat ini tentu sudah meningkat sangat pesat.

Selain itu, pada 2008, Google juga telah mengakuisisi startup bernama DoubleClick yang bergerak di bidang periklanan digital. Tahu, kan, kalau iklan adalah sumber pendapatan terbesar Google?

Para desainer UI/UX pasti juga sudah dengar kalau Figma diakuisisi oleh Adobe. Sebelumnya, Figma adalah kompetitor langsung salah satu produk Adobe, yaitu XD. Sama-sama dirilis pada 2016, popularitas Figma meningkat jauh lebih tinggi dibanding XD. 

Sebelumnya, pada 2012, Adobe sudah mengakuisisi Behance. Jadi, setelah mendesain mockup produk atau UI aplikasi menggunakan XD atau Figma atau Photoshop (Sotosop, anyone?), kamu cukup mengunggah semua portofolio desain kamu itu ke Behance yang juga milik Adobe.

Menjadi alat monopoli

Melihat contoh di atas, merger dan akuisisi tidak hanya bisa menambah produk baru dan memperluas pangsa pasar. Praktik ini juga mendukung korporasi untuk membentuk ekosistem untuk para pelanggan di mana dalam melakukan beberapa aktivitasnya, mereka masih berada di bawah “kendali” yang sama meskipun produk atau aplikasi yang digunakan berbeda-beda.

Terus kenapa?

Standard Oil melakukan sejumlah cara tidak etis untuk bisa memonopoli pasar minyak pada akhir 1900-an. Antara lain, membeli semua stok minyak mentah supaya para kompetitornya tidak kebagian bahan baku, menetapkan harga jual yang sangat murah di daerah-daerah di mana kompetitornya beroperasi supaya mereka rugi (disebut predatory pricing), dan sejumlah lainnya.

Setelah kompetitornya ketar-ketir dan takut merugi lebih banyak lagi. Standard Oil mengakuisisi mereka dengan harga murah.

Semakin sedikit kompetitor, semakin mudah monopoli dilakukan. Semakin mudah sebuah korporasi memonopoli pasar, semakin mudah pula ia mengeksploitasi pelanggan.

Korporasi yang menguasai

Hal serupa juga bisa berlaku ketika pasar dikuasai hanya oleh beberapa korporasi saja (disebut oligopoli). Jika satu korporasi menaikkan harga produk dengan alasan kenaikan harga bahan baku, beberapa korporasi sisanya juga dengan leluasa bisa melakukan hal yang sama.

Dalam lingkup yang lebih besar, jika oligopoli terjadi di berbagai industri, sebagian pakar berpendapat bahwa ini bisa memperparah inflasi. Contohnya seperti sekarang di Amerika di mana 75% industrinya berada dalam oligopoli. Para perusahaan dinilai mendompleng momen tingginya inflasi (karena pandemi, krisis rantai pasokan global, perang di Ukraina) untuk sekalian saja menaikkan harga barang secara maksimal.

Hasilnya, mereka mendulang laba besar-besaran justru di saat banyak orang kesulitan uang (cek daftar referensi di bawah).

Para pelanggan sudah terlanjur bergantung pada sebuah produk dalam kesehariannya sehingga yang bisa mereka lakukan adalah menerima, sementara perlahan pikiran mereka terkondisikan bahwa situasi semacam ini adalah hal yang normal. Mau beralih ke produk lain? Pilihannya nggak banyak, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Risiko lain situasi monopoli dan oligopoli adalah terhentinya inovasi produk. Kalau sudah ada beberapa pemain yang sudah nyaman mendominasi pasar dan menikmati porsi labanya masing-masing, ya buat apa repot-repot berinovasi? Toh seperti contoh Google dan Adobe tadi, inovasi bisa “dibeli” dari pemain-pemain baru.

Pelanggan selalu rugi

Saya ingat sebuah pembicaraan saya dengan seorang kawan yang berprofesi sebagai dosen TI. Obrolan kami berkisar tentang iklan di YouTube yang makin lama makin banyak dan menyebalkan. Dia berkomentar yang intinya, “Ada uang, ada barang.”

Pada dasarnya, saya setuju dengan dia. Kalau mau yang bebas iklan ya pakai YouTube versi berbayar. Tapi maksud saya, setelah kita “dipaksa” menonton iklan di tengah video, besok-besok ada perubahan apa lagi? Jangan-jangan mau nge-like aja disuruh nonton iklan dulu sampai habis?

Mau yang versi gratis atau berbayar, tetap ada “biaya” yang dibebankan kepada pelanggan. Misalnya, biaya berlangganan atau biaya dalam bentuk waktu, paket data, dan kesabaran untuk menonton iklan.

Itu poin pertama. Poin kedua terkait data. Jadi, selama belasan tahun terakhir ini YouTube (dan karenanya, Google) sudah mengambil data tentang preferensi dan perilaku kita secara gratis, lalu mengolahnya untuk menyusun prediksi tentang iklan-iklan apa saja yang berpotensi menarik perhatian kita per individu. Dan kita selama ini tidak tahu (atau tutup mata) tentang berjalannya proses ini.

Menambang data

Saya dulu tidak pernah berpikir tentang sejauh mana pengambilan data secara “sepihak” ini bisa berdampak bagi seseorang seperti saya yang bukan siapa-siapa. Emang apa sih dampak negatifnya? Toh dengan iklan-iklan seperti tadi saya kadang terbantu saat sedang mencari barang di toko-toko online. 

Tahun lalu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Amazon di India telah merilis produk mereka sendiri dengan menjiplak produk-produk lokal yang terbukti laku di platform mereka. Menggunakan data penjual dan pembeli yang berlimpah yang mereka miliki, mereka menentukan produk-produk mana saja yang mau mereka jual, dengan harga lebih murah.

Tidak hanya itu, hasil dari fitur pencarian produk di platform Amazon di negara itu (amazon.in) diatur supaya menampilkan produk-produk mereka terlebih dulu sebelum menampilkan hasil yang organik (hasil yang sebenarnya).

Siapa yang menjamin kalau suatu saat platform marketplace di negara kita tidak melakukan hal serupa?

Sejak berdiri pada 1994, Amazon telah mengakuisisi sebanyak 98 perusahaan di berbagai industri dan, tahu sendiri, ini turut mengantarkan Jeff Bezos menjadi salah satu orang terkaya di dunia selayaknya John D. Rockefeller dengan Standard Oil-nya.

Sekarang, bayangkan situasi di sebuah perusahaan asuransi kesehatan. Perusahaan ini sedang menyusun model perhitungan yang menentukan apakah seseorang itu berisiko rendah atau tinggi untuk menjadi nasabah (apakah dia akan sering mengajukan klaim atau tidak). Dalam model tersebut, tentu ada sejumlah variabel yang dilibatkan seperti latar belakang nasabah, riwayat penyakit, dan sebagainya.

Era big data

Nah, di era big data ini, kira-kira data apa lagi yang berpotensi dimasukkan dalam perhitungan?

Bisa apa saja. 

Media investigatif, ProPublica, menulis bahwa seorang mantan data analyst Aetna (salah satu penyedia asuransi kesehatan terbesar di AS) menyebutkan bahwa data terkait hobi, produk atau layanan apa saja yang dibeli atau berlangganan, olahraga favorit dan detail-detail pribadi lainnya bisa dilibatkan, terlepas dari apakah model yang dihasilkan nanti akurat atau rentan bias.

Korporasi bisa mendapatkan data pengguna secara tidak langsung karena adanya broker data, perusahaan yang memperjualbelikan beragam data pengguna. Contohnya di luar negeri adalah Acxiom, Epsilon, dan lainnya. Sebagian memiliki kantor cabang di berbagai negara. Jadi, semua data pengguna yang terekam di gawai maupun semua perangkat lain yang terkoneksi ke internet bisa saja diperjualbelikan. 

Lalu tiba-tiba, calon nasabah tadi dikenakan tarif premi asuransi yang lebih mahal, atau klaimnya ditolak. Bukan tidak mungkin ini terjadi. Pada akhir 2017, Aetna diakuisisi oleh CVS, jaringan apotek terbesar di Amerika. 

Masih belum selesai. Setelah berkonsolidasi dan mengakumulasi kekayaan, kalangan korporasi ini melakukan lobi kepada para pembuat kebijakan di Amerika untuk menyusun regulasi yang mendukung kepentingan mereka. Perusahaan di bidang farmasi dan kesehatan, IT, dan media termasuk di antara mereka yang menghabiskan dana terbesar di sana (cek daftar referensi di bawah).

Contoh dan praktik yang dipaparkan di tulisan ini banyak mengacu ke Amerika. Ya, karena platform yang kita gunakan dan pedoman praktik bisnis yang dilakukan di sini banyak berasal dari sana, bisa-bisa saja kan apa yang terjadi di sana terjadi juga di negara kita.

Dikontrol korporasi

Tulisan ini mencoba menggali sekilas bagaimana korporasi berevolusi dari masa ke masa demi tujuan yang sama: laba. Bahwa selain dengan konsolidasi, korporasi masa kini memiliki amunisi baru, yaitu data. Amunisi yang mampu membidik target dengan skala yang begitu masif serta akurasi yang tinggi dalam satu tembakan sekaligus. 

Plot twist-nya: amunisi itu diberikan secara sukarela oleh targetnya sendiri. Mau menganggap itu sebuah masalah atau bukan, silakan berpendapat sendiri-sendiri.

Merger dan akuisisi itu belum tentu buruk. Tapi, harus ada batasan dan pengawasan yang memastikan bahwa pada akhirnya, konsolidasi antar-perusahaan itu tidak akan merugikan pelanggan dan persaingan.

Pada 1911, Mahkamah Agung Amerika memutuskan bahwa Standard Oil telah melakukan praktik monopoli yang ilegal dan diperintahkan untuk memecah satu perusahaan itu menjadi 34 perusahaan berbeda (bayangkan!). Saat ini, beberapa perusahaan minyak ternama yang notabene masih keturunan Standard Oil di masa lalu antara lain adalah Chevron, Exxon Mobil, dan ConocoPhillips.

Beberapa referensi signifikan:

Investopedia: Who Was John D. Rockefeller?

PBS News Hour: Why corporations are reaping record profits with inflation on the rise

Reuters: Amazon copied products and rigged search results to promote its own brands, documents show

ProPublica: Health Insurers Are Vacuuming Up Details About You — And It Could Raise Your Rates

Open Secrets: Top Spenders (2022)

BACA JUGA Kalian Bisa Bohong pada Siapa Saja, tapi Tidak pada Big Data dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Suryagama Harinthabima

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version