MOJOK.CO – Bangsa kita punya penyakit bernama inferiority complex akut. Bule main keroncong, bagus saja belum, kok sudah dibilang “keren”. Sungguh bangsa yang norak.
Mungkin beberapa pembaca bosan dengan tulisan saya yang acap mengkritik sikap minder bangsa ini saat berhadapan dengan bule, misalnya. Walakin, bukankah menyuarakan perlawanan mesti terus-menerus dilakukan? Meskipun di dalam hati saya sadar betul, bahwa perjuangan ini sangat melelahkan dan sering pula pesimisme datang dan pergi di tengah misi.
Namun, yang namanya gerakan, ya, harus selalu bergerak. Misalnya seperti amsal Wiji Thukul yang berbunyi: “Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.” Ada pula inspirasi dari gigihnya kawan-kawan aksi Kamisan yang tiada lelah dalam memperjuangkan harapan.
Lagipula, di era digital ini, kita harus terus mereproduksi dan mendengungkan tulisan-tulisan kritis. Semata agar kita tidak mudah tenggelam, dibenamkan oleh konten rimih timih di media sosial yang asik dan melenakan. Dan, kecanggihan serta kompleksitas mekanisme kerja algoritma hari ini memungkinan wacana-wacana perlawanan seperti ini tersebar dan terserap secara acak oleh pembaca baru yang tak terbatas.
Mental rendah diri masyarakat Indonesia di depan bule
Pemantik ketersinggungan saya dalam masalah kerendahdirian mental masyarakat Indonesia kali ini adalah unggahan dari akun Instagram @keroncong_indonesia pada tanggal 17 November 2023. Kontennya berisi 2 unggahan dalam slide feed.
Slide pertama terdapat gambar dengan teks: “Keren!!! Ini lah orkes keroncong Rumput yg berasal dari Amerika Serikat mereka membawakan Lagu-lagu jawa dengan indah”. Slide kedua berisi potongan video grup bule itu memainkan lagu keroncong Jawa legendaris “Walang Kekek”.
Namun sebelumnya, saya harus menegaskan bahwa tulisan ini tidak menyerang admin dan akun tersebut secara personal. Secara pribadi, saya kenal pengelola akun yang punya pengikut lebih dari 100 ribu itu. Sebagai kolega sesama musisi keroncong yang punya ketulusan cinta untuk melestarikan musik tradisi kita ini, tulisan ini bertujuan mengkritik dan menantang ide, gagasan, atau pola pikir dalam postingan itu, yang akhirnya lantas melebar konteksnya.
Alasan kegelisahan saya
Pertama, saya tidak sreg saat unggahan itu seakan mengglorifikasi kata “keren” hanya karena kelompok keroncong bule amrik itu memainkan lagu keroncong Jawa. Menurut naluri seni paling sinis saya, musikalitas keroncong yang terekam dalam video tersebut masih jauh dari kata keren.
Atas dasar apa grup keroncong bule Rumput Amerika itu mendapat predikat keren? Apakah dari segi musik? Jelas belum. Dari segi Bahasa Jawa? Hah, apalagi! Pengucapan dan pelafalan Bahasa Jawa mereka masih sangat buruk. Kalau mau adil dan dan berdaulat dalam penilaian estetika, tersedia sangat banyak grup keroncong serupa di Indonesia yang memainkan “Walang Kekek” lebih indah, dari segi musik maupun kebahasaan.
Apakah indikasi penilaian itu layak disematkan kepada band asing yang notabene tidak berasal latar belakang tradisi seni yang sama dengan band keroncong lokal? Dan bukan native Bahasa Jawa? Sehingga segala kekurangindahannya dimaklumi?
Mari bersikap adil
Ayolah, kita harus adil! Tanyakan pada dirimu sendiri, dengan logika kebalikan, berapa banyak grup band Indonesia yang memainkan seni musik tradisional Amerika seperti country? Lalu, banyak band kita juga jago memainkan jazz, rock, blues, hip-hop, lalu dituntut untuk “ngamerika”, baik dari segi musik maupun Bahasa Inggrisnya? Mengapa ketika band Indonesia main seni Barat selalu harus selalu sesuai pedoman “pakem” Barat, pengucapan liriknya harus sangat US atau British, tidak boleh luput dalam pronunciation, tidak boleh medhok Bahasa Inggrisnya?
Lalu kenapa ukuran itu tidak diberlakukan ke bule atau band asing yang mencoba memainkan musik kita? Kenapa grup keroncong bule yang tidak “nges” keroncongnya, yang gagal medhok Jawanya justru dikatakan keren oleh orang Indonesia?
Pertanyaannya kemudian, apakah akun-akun Instagram Amerika ada yang nggagas dan mengapresiasi dengan menyebut “keren” saat ada ribuan band Indonesia melestarikan musik tradisi Amerika di Indonesia? Bahkan musik Barat diajarkan menjadi pelajaran wajib hingga institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Bahkan, di pelosok-pelosok daerah di Jawa, kita mudah menemukan komunitas-komunitas musik Amerika yang rutin dalam sepekan menggelar ajang pelestarian musik Amerika (jazz, blues, rock, country, dsb). Apakah ada orang Amerika yang heboh dan gumun memotret kondisi tersebut? Mereka biasa aja, kok.
Watak rendah diri di hadapan bule dan dunia Barat
Faktor gumun itulah yang menjadi alasan kedua dalam tulisan pedas ini. Tidak hanya dalam hal musik, bangsa kita bahkan selalu gumun (‘heboh’, ‘takjub’, ‘terkesima’) hanya karena di jalan berpapasan dengan bule kulit putih saja. Ke-gumun-an itu adalah citra minder, rendah diri. Sebuah masalah inferioritas yang sudah sangat kompleks. Menganggap “ras sawo matang” lebih rendah derajatnya dari bule.
Memang watak itu telah mendarah daging, turun-temurun sejak bangsa ini diinjak-injak derajatnya oleh penjajah landa. Mengenai hal itu, kita bisa melacaknya dari kajian ilmu Poskolonialisme, yang mengatakan bahwa bangsa yang pernah terjajah oleh kolonialisme Barat, akan sukar keluar dari mental rendah diri saat menghadapi orang Barat. Meskipun, kemerdekaan telah dipekikkan, namun mental inferior itu telah menjadi laten.
Homi K. Bhabha, salah seorang pakar Poskolonialisme menyatakan bahwa bangsa terjajah punya kecenderungan mimikri. Mereka selalu berusaha meniru sifat dan sikap bangsa penjajah yang dinilai lebih maju, lebih unggul, lebih modern.
Bangsa Indonesia sukar sekali mengubah karakter tersebut, meskipun telah 78 tahun menyatakan bebas merdeka. Namun, seperti yang kita tahu, penjajahan bangsa Barat tidak pernah benar-benar hilang dari Indonesia. Meski penjajahan fisik dan perang tak lagi terjadi, tapi dominasi Barat dalam penjajahan mental dan kebudayaan masih mencengkeram erat hingga hari ini.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi rasa gumun kita saat seni lokal seperti keroncong atau gamelan dimainkan oleh bule, di negara asing. Ada semacam perasaan pengakuan “kesetaraan” yang membuat bangga saat produk budaya kita diterapkan di negara lain. Di WAG juga sering saya dapati info ke-gumun-an serupa ketika batik, gamelan, wayang, rendang muncul di luar negeri, sontak masyarakat kita heboh mewartakannya.
Itu bukan prestasi kebudayaan
Banggalah dan merasa setara saat produk-produk budaya Indonesia itu dipakai, dimainkan, dikonsumsi oleh segala manusia di luar negeri. Saat bule-bule itu tanpa sadar telah melestarikan budaya kita dan telah menjadi gaya hidup di keseharian mereka.
Seperti kondisi kita di Indonesia hari ini, yang entah sadar atau tidak sadar, telah nguri-uri budaya Amerika dengan memakai celana jeans, main alat band Barat, nonton film Hollywood, makan hamburger. Kalau produk budaya kita hanya viral sesaat dan mendadak hilang lagi ditelan oleh dominasi produk budaya Barat, lalu buat apa gumun? Bukankah sudah dinasihati oleh leluhur dalam petuah Jawa “aja gumunan”?
Merdeka dan berdaulat sejak dalam pikiran, untuk menyikapi kebudayaan kita. Berangkatlah dari logika bahwa seni budaya asing tidak lebih tinggi derajatnya dari yang kita punyai.
Negara juga harus segera serius menyikapi isu ini. Itu jika ingin benar-benar mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045. Masih ada sekitar 22 tahun lagi untuk menuju ke sana, menjadi bangsa maju dan sejajar di dunia. Memang, membangun kebudayaan merupakan jalan panjang dan tidak serta merta langsung kentara hasilnya, tidak seperti membangun jalan atau bendungan yang langsung bisa diupacarakan keberhasilan pembangunannya.
Akan tetapi, jika mental dan kebudayaan bangsa tidak dibangun, maka gembar-gembor bangunan infrastruktur fisik yang sedang digenjot, akan mudah diruntuhkan lagi nilainya oleh bule dan bangsa asing. Ya semata karena tidak punya pondasi karakter bangsa yang kokoh.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.