MOJOK.CO – Filsuf Slavoj Zizek melihat kultur sebuah bangsa dari bentuk klosetnya. Gimana kalau hal itu digunakan untuk membaca kebiasaan BAB sembarangan di Jakarta?
Dalam bayangan orang dusun kayak saya, suka tidak suka, kota Jakarta adalah representasi dari kemajuan Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan elite yang mewah, sampai gedung-gedung pemerintahan yang berkharisma. Segala macam kemewahan yang ada di Indonesia, bisa dilihat di sana.
Oleh karena itu, saya hampir tidak bisa percaya ketika membaca berita bahwa masih ada warga Jakarta yang Buang Air Besar (BAB) sembarangan alias boker sembarangan.
Yap, situ nggak salah baca. Boker sembarangan!
Yawla, informasi itu benar-benar menghancurkan imajinasi saya tentang Jakarta.
Selama ini saya pikir masalah Jakarta itu “cuma” macet, polusi udara, FPI, jebul kota seperti Jakarta punya masalah yang juga sering dihadapi warga Gunung Kidul atau warga Sleman kayak saya. Yakni juga sulit menghadapi warganya yang suka BAB sembarangan.
Temuan ini (iya, temuan warga yang BAB sembarangan), diakui langsung oleh Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Danis H. Sumadilaga. Dilaporkan dari detikcom, orang-orang yang masih boker sembarangan ini cukup banyak dan merupakan realitas sosial.
(((realitas sosial)))
“Masih banyak. Ya itu realitas yang ada di kita begitu. Jadi memang kita masih punya masalah akses sanitasi,” kata Danis. “Akses sanitasi kita sekitar 70-an %, jadi memang masih banyak belum punya akses yang baik dan aman secara nasional,” tambahnya.
Hal ini semakin ditegaskan dengan keterangan dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Terutama tentang kebiasaan warga Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, yang boker sembarangan.
“Ya itu memang PR (pekerjaan rumah) kita di Jakarta,” kata Anies Baswedan.
Tentu saja jangan dibayangkan orang-orang “kota” Jakarta ini berjejer-jejer di pinggir kali lalu boker berjamaah seperti di kampung-kampung pelosok Indonesia. Yang dimaksud BAB sembarangan di sini adalah pembuangan kloset mereka kebanyakan tidak ada saptic tank-nya, alias langsung meluncur bebas ke kali. Tokainya jadi bebas gitu. Dari perut langsung berenang ke alam bebas.
Maka tak heran jika Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Inad Luciawati Rustam Effendi merasa malu dengan kebiasaan masyarakatnya.
“Padahal dari kantor ini (Kelurahan Tanjung Duren Utara) masih terlihat Monas. Saya malu ada warga di sini BAB-nya sembarangan,” kata Inad Luciawati.
Fakta ini kemudian bikin saya mengerti. Ya pantes aja sih orang Jakarta pada marah-marah kalau kalinya banjir—terutama yang di daerah Jakarta Barat. Ternyata masalahnya memang sangat fundamental: kali mereka ada tokainya, Njiiir.
Jika melihat hal tersebut, saya jadi teringat akan tulisan Mas Cepi Sabre berjudul “Jokowi, Ahok, dan Kloset yang Ditukar” yang menyorot bagaimana filsuf Slavoj Zizek melihat kultur sebuah bangsa dari cara bokernya. Wabilkhusus, dilihat dari bentuk klosetnya.
Ada tiga kloset alias jamban yang pernah dibaca oleh Zizek.
Pertama kloset yang lubangnya ada di belakang seperti orang-orang Perancis. Alias tokainya akan langsung ilang begitu terjun. Kedua, kloset yang lubangnya ada di depan seperti orang-orang Jerman. Dan orang-orang Inggris yang memakai kloset dengan lubang di tengah.
Dari desain kloset tersebut, dibaca oleh Zizek kemudian, kalau orang Perancis suka dengan kepraktisan. Langsung. To the point. Namanya tokai ya harus segera ilang begitu dibuang.
Sedangkan orang Jerman, lebih demen melakukan observasi dulu. Apa yang mereka makan, sehatkah pencernaan mereka? Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan dini ke tokai mereka sendiri dengan menempatkan lubang kloset di depan.
Lalu orang Inggris yang lebih suka menimbang-nimbang. Memikirkan dulu, sebelum mengambil keputusan. Apakah langsung disentor? Atau dibiarkan mengambang begitu saja?
Menurut Mas Cepi di tulisan tersebut, kloset orang Indonesia pada umumnya adalah desain kloset mancanegara. Lubang di belakang, tapi tidak seperti desain kloset Perancis yang langsung hilang, pada lubangnya diberi sedikit genangan air. Dibuang, tapi juga ditimbang-timbang dulu.
Membaca kembali tulisan tersebut, saya jadi penasaran. Bagaimana misalnya Zizek menanggapi fenomena “boker sembarangan” yang dianggap pemerintah daerah Jakarta sebagai “realitas” ini?
Secara umum, hal yang dikeluhkan oleh Pemerintah DKI Jakarta adalah kesadaran pentingnya septic-tank. Jadi—meski klosetnya di dalam rumah—masih ada kloset di Jakarta yang tidak punya bak penampungan dan langsung disalurkan ke kali atau sungai terdekat. Dibuang ke sana secara serta-merta tanpa perasaan berdosa.
Jika dibaca ala Zizek desain kloset adalah representasi bangsa, maka ketiadaan septic-tank juga seharusnya bisa menjadi gambaran bagaimana kultur masyarakat Jakarta.
Bisa jadi perkara septic-tank di Jakarta ini bukanlah sefilosofis tafsir desain kloset orang-orang Perancis, Inggris, atau Jerman yang di sana tertanam juga kultur bangsa. Di Jakarta hal kayak gini bisa saja cuma sebatas persoalan ekonomis semata—alih-alih persoalan ideologis.
Lha iya dong, gimana cara menyadarkan orang-orang ini mau bangun septic tank kalau urusan sandang, pangan, dan papan saja belum selesai? Jangankan urusan sandang dan papan, kadang-kadang urusan pangan saja belum selesai.
Kayaknya Pemerintah Jakarta bakal sulit meminta masyarakat bisa memikirkan bagaimana cara membuang isi perutnya, jika di antara warganya saja masih ada yang kebingungan untuk mengisi perutnya (data dari UNICEF pada 2017 menyebut Indonesia punya 7,16 juta keluarga yang masih BAB sembarangan).
Jika di negara lain ada septic-tank sebagai penampung, karena urusan isi perut itu urusan masing-masing, maka di Jakarta (dan mungkin Indonesia pada umumnya), urusan buang isi perut adalah juga urusan publik.
Nah, ketika jadi urusan publik, ya itu jadi urusan pemerintah juga. Dan ketika jadi urusan pemerintah, kadang-kadang ini bisa jadi urusan politik juga.
Maka, untuk Ibu Inad Luciawati yang merasa malu dengan kebiasaan boker sembarangan warganya, saran saya, sebaiknya Ibu tak perlu malu begitu.
Begini lho, Bu. Hal seperti ini justru menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta sebenarnya punya kelebihan yang sering dilupakan warga Indonesia pada umumnya. Paling tidak perkara ini menunjukkan kalau warga Ibu ternyata tidak begitu suka dengan kehidupan yang individualistik.
Saya malah bersyukur, ternyata warga Jakarta juga ada yang masih sama seperti orang-orang di dusun pelosok Indonesia. Mereka masih suka dengan kebersamaan dan gotong-royong. Gotong-royong buang tokai ke kali—misalnya.
Lagian, ini kan jadi tanda bahwa masyarakat Jakarta, sangat percaya dengan pemerintah daerahnya. Ya iya dong, kalau nggak percaya, ngapain mereka buang tokai ke ruang publik begitu? Ya nggak?
Jika orang Perancis, Jerman, dan Inggris mungkin suka menyelesaikan masalah personal di bilik toiletnya masing-masing karena negara liberal seperti mereka lebih menghargai hak pribadi, maka bagi orang Jakarta, semua perkara harus dimusyawarahkan dulu ke ruang terbuka. Di buang dulu ke luar, agar semua orang bisa menilai dan menghakimi bersama.
Tidak boleh lagi ada urusan privat-privat di negeri ini. Semua harus terbuka. Dari urusan keyakinan agama, pilihan politik, dan sekarang—urusan tokai juga. Dan hal inilah yang bisa kita baca dari kota etalase Indonesia.
BACA JUGA Memulai Revolusi dari Desain Anak Tangga, Bantaran Kali, dan Kloset atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.