Enaknya Jadi Fadli Zon

MOJOK.CO – Saat kebanyakan anak SMA cuma pingin lulus SNMPTN, Fadli Zon sudah dapat beasiswa dari America Field Service dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Hebat kan?

Saya ingin menjadi seperti Fadli Zon.

Hm, sebentar, saya ralat dikit: semua orang ingin seperti Fadli Zon.

Jika sekarang banyak orang yang kepingin menjadi youtuber setelah Atta Halilintar berhasil mengumpulkan 10 juta subscriber dan berencana melaksanakan nazar-nya yakni membangun masjid, bagi saya pribadi, lebih asyik jadi Fadli Zon.

Fadli Zon adalah panutan setiap insan, apalagi di negara yang memiliki aturan cupu seperti UU ITE. Menjadi Fadli Zon rasanya merupakan jalan terang untuk hidup bahagia di Indonesia.

Begini, dari segi pendidikan saja pencapaian Fadli Zon sudah membuat para mahasiswa memandang dengan tatapan nanar. Beliau sudah memperoleh beasiswa saat duduk di bangku SMA, saat itu Fadli mendapati kesempatan melanjutkan studi ke San Antonio, Texas. Ingat, San Antonio lho ini, bukan San Andreas.

Saat kebanyakan dari kita waktu masih SMA hanya mendambakan lulus SNMPTN, beliau ini sudah dapat beasiswa dari America Field Service, dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Warbiyasah bukan?

Tak hanya itu, saat balik dari Paman Sam, beliau melanjutkan ke Universitas Indonesia (UI) untuk gelar sarjananya.

Pertama, sudah barang tentu menjadi anak UI adalah keinginan sebagian orang, karena dengan kuliah di UI orang-orang akan penasaran dengan isi tas kita, dengan begitu bisa dibikin sebagai konten vlog.

Kedua, saat di UI Fadli Zon memilih Sastra Rusia sebagai jurusannya. Bagi para kiri mentok waktu itu, saat Pak Harto masih tegak di singgasana, belajar Sastra Rusia adalah kemewahan.

Lho, kamu bisa mengkaji karya-karya Tolstoy, Maxim Gorky, dan sebagainya tanpa dituduh antek-komunis-bajingan-laknatullah. Nggak heran jika sampai ada rumor mengatakan beliau hafal di luar kepala isi buku Das Kapital.

Ya iya dong, di saat yang lain butuh kucing-kucingan buat belajar, Fadli bisa dengan tenang menghafal.

Selama menjadi mahasiswa pun beliau aktif di berbagai organisasi tokcer. Selain senat, tempat di mana beliau menjabat sebagai sekretaris umum, Fadli juga pernah menjabat sebagai Presiden Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS). Sebuah perkumpulan mahasiswa yang sudah diakui PBB, yang adalah wadah saling bertukar gagasan ihwal isu-isu internasional.

Dengan portfolio semacam itu selama mahasiswa, nggak heran jika beliau begitu akrab dengan tokoh-tokoh besar. Dan cukup wajar jika kemudian setelah lulus, kariernya moncer sebagai seorang politisi.

Prabowo sendiri pada suatu kesempatan pernah berkata bahwa dulu sering menyuruh-nyuruh Fadli Zon.

“Dulu sebagai anak muda, saya suka suruh-suruh. ‘Fad ambil ini. Fad, ambil itu.’ Sekarang dia wakil ketua DPR RI, nggak berani lagi saya suruh-suruh,” kata Mas Prabs.

“…beliau ini pengawalnya banyak, Voorijder-nya berapa… Ya, itulah namanya perjalanan hidup,” tambah Prabowo.

Ya, perjalanan hidup yang mantul.

Di awal tadi juga sudah disebutkan bahwa Fadli Zon memiliki segudang previlage. Beliau bisa seenaknya melakukan sesuatu yang kontroversi tanpa sedikit pun merasa takut.

Begini, beberapa tahun lalu, beredar foto Fadli Zon sedang berziarah ke makam Karl Marx. Ya, Fadli mendatangi tempat peristirahatan terakhir nabi komunis itu di Highgate cemetery, Swains Lane, London.

Waktu disodorkan pertanyaan kenapa waktu itu mengunjungi makam Karl Marx, sementara sekarang sering berteriak tentang kebejatan komunis. Fadli menegaskan bahwa dia tetap anti-komunis, dan ziarahnya itu dilakukan karena dulu dia sering bersentuhan dengan ajaran Marxisme selama di UI.

Begini ya… di dalam foto itu tampak Fadli Zon berada di dekat makam Karl Marx dengan menggenggam bunga. Pertanyaannya, anti-komunis mana yang datang ke situ sambil bawa bunga? Bukannya bunga itu pertanda cinta?

Padahal, kalau mau kita bandingkan, baru-baru ini telah dilaporkan adanya perusakan makam Karl Marx oleh orang yang tak dikenal.

“Makam Karl Marx telah dirusak! Tampaknya seseorang telah mencoba merusaknya dengan palu. Itu adalah monumen terdaftar Tingkat I; bukan seperti ini cara memperlakukan warisan kita. Kami akan memperbaikinya,” twit akun @HighgateCemeter seperti dikutip dari tirto.id.

Logikanya, kalau memang Fadli Zon adalah musuh dari komunisme sebagaimana yang diakuinya, kenapa waktu ke makam Karl Marx tidak membawa palu seperti orang tak dikenal tadi? Lha ini kok malah bawa bunga sambil tersenyum? Atau barangkali itu pose satire? Hm, bisa jadi sih.

Sekarang coba bandingkan dengan Adlun Fikri dan Supriyadi Sawai, laki-laki dari Maluku Utara yang dulu ditangkap kepolisian karena memakai kaos Pecinta Kopi Indonesia. Pakai kaos saja langsung dituduh komunis. Lha Fadli foto di depan makam nabi komunis nggak apa-apa tuh.

Ya tapi itulah Fadli Zon, beliau bisa pergi ke kuburan Karl Marx sambil bawa bunga namun tetap mendaku diri sebagai anti pemikiran kiri. Benar-benar dahsyat level makrifat.

Nggak hanya itu, tahun 2015 silam, Fadli bersama dengan Setya Novanto kedapatan berkunjung ke Amerika dan bertemu dengan Donald Trump. Saat pertemuan itu Fadli Zon dengan semringah meminta tanda tangan Trump di atas majalah Time dan juga di sampul buku karya Presiden Amerika itu.

“Dia sahabat Indonesia,” kata Fadli Zon saat ditanya awak media.

Nggak sampai di situ, saat Trump terpilih sebagai Presiden, Fadli mengunggah foto selfie dengan Trump sambil mengucapkan selamat di caption-nya.

Ya, orang yang membuat kebijakan rasis terhadap muslim itu adalah sahabat Indonesia menurut Fadli Zon. Orang yang dengan tampang ngeselin itu disukai Fadli karena memiliki bisnis di Indonesia.

Sekali lagi, Fadli berhasil mempertahankan diri sebagai sosok yang (katanya) anti asing sekaligus membela Umat Islam, sembari mengagumi Trump. Beliau betul-betul panutan kita semua.

Paradoks seorang Fadli Zon juga terdapat di berbagai hal lain. Saat ini beliau adalah Chairman of Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC), dalam artian Fadli merupakan ketua dari organisasi parlemen antikorupsi sedunia. Fadli menggantikan Garcia Cervantes yang berasal dari Meksiko.

Kenapa saya sebut ini paradoks?

Begini, Sayang…

Belum lama KPU mengumumkan daftar calon legislatif yang merupakan mantan napi koruptor. Kebetulan nih partai Gerindra menduduki urutan kedua dengan jumlah 6 caleg (nomor satu Partai Golkar). Nah, sekarang sudah jelas kan di mana paradoksnya?

Seorang presiden organisasi yang mendeklarasikan parlementer bersih dari kasus korupsi, malah membiarkan napi koruptor kembali memperoleh kesempatan untuk korupsi lagi melalui partainya. Ini kan paradoks di atas paradoks namanya.

Sudah begitu, dalam debat, capres jagoannya malah mewajarkan tindakan korupsi dengan melontarkan kalimat, “mungkin kalau korupsi tidak seberapa.” Udah begitu kok Fadli nggak protes? Bukannya beliau ketua organisasi parlemen antikorupsi sedunia?

Paradoks selanjutnya adalah ketika Fadli mencak-mencak menuduh Pemerintah melakukan kriminalisasi terhadap Ahmad Dhani. Musisi pendiri Dewa 19 itu dihukum karena dianggap melakukan ujaran kebencian. Dhani diherat UU ITE dan divonis hukuman penjara satu tahun enam bulan.

Fadli adalah Wakil Ketua DPR, di mana fungsi regulator melekat padanya. Sementara UU ITE adalah peraturan yang banyak sekali mengandung pasal karet.

Dengan posisinya, seharusnya Fadli Zon bisa berbuat lebih banyak menyangkut UU tersebut, bukannya berlagak kayak warga biasa atau nitizen, lalu melontarkan kritik pada pemerintahan begitu saja.

Lha bukannya Ahmad Dhani dipenjara karena UU ITE dibikin oleh Wakil Rakyat yang Terhormat di parlemen sana? Dan Fadli adalah Wakil Ketuanya?

Emang waktu penyusunan atau persetujuan UU ITE itu Pak Fadli ke mana? Lagi foto di makam Karl Marx sambil bawa bunga lalu koar-koar anti-komunis? Ya kan nggak mungkin to?

Yang terakhir adalah tindakan Fadli ketika menulis puisi. Puisi jelek berjudul “Doa yang Ditukar” (sebentar, ini puisi atau judul sinetron sih?) ini diduga ditujukan kepada KH. Maimun Zubair.

Fadli disebut telah melakukan ujaran kebencian dengan puisinya tersebut. Sebab menurut kalangan santri, Mbah Moen adalah ulama besar, menghinanya adalah tindakan kurang ajar.

Lho, bukannya Fadli adalah sosok yang katanya dekat dengan Islam? Bukannya dia mendaku diri sebagai pembela Islam garda depan?

Ah, iya saya lupa bahwa beliau adalah panutan kita, bahwa kali ini Fadli bisa mendaku (dan diakui) sebagai pembela umat Islam sembari mengucapkan sesuatu yang buruk tentang ulama.

Besok-besok kalau panutan kita ini kembali melakukan hal yang bertolak belakang dari omongannya lagi, saya hanya bisa bilang: “enak betul ya jadi sampeyan, Zon?”

Exit mobile version