Elektabilitas Jokowi Naik? Tunggu, Siapa Dulu yang Bikin Surveinya

MOJOK.COKata Prabowo, “(Hasil) survei itu tergantung siapa yang bayar.” Sebagai eks-surveyor, saya cuma bisa setuju. Survei elektabilitas terlalu politis untuk bersih dari uang.

Pemanasan menjelang pilpres bukan cuma diisi dengan perang deklarasi capres-cawapres, tapi juga perang survei. Survei apa lagi kalau bukan soal elektabilitas, elektabilitas, dan elektabilitas. Survei elektabilitas ini sudah menyerupai pemilu kepagian. Sebab, percaya tidak percaya, kalau hasil survei elektabilitas diumumkan hari ini, besok itulah yang akan menjadi topik perkelahian cebong-kampret.

“Hahaha, #2019GantiPresiden malah bikin elektabilitas Prabowo turun! Ciye, makin panik.”

“Kasihan ya, Pakdhe, udah pencitraan terus, elektabilitasnya tetap aja di bawah 50%. Hehehe.”

Ketika survei elektabitas saja membuat sindir-menyindir demikian kencang, terbayang sudah drama hitung cepat kelak akan seperti apa.

Perkara elektabilitas, yang paling hangat, dua hari lalu Indikator Politik Indonesia mengumumkan bahwa jika Jokowi head-to-head dengan Prabowo, elektabilitas Jokowi naik menjadi 60,6% dan Prabowo turun menjadi 29%. Disebut naik dan turun karena pada survei Indikator September 2017, simulasi head-to-head Jokowi-Prabowo menghasilkan persentase 58,9% dan 31,3%.

Sehari setelah pengumuman dari Indikator, Prabowo menanggapinya dengan bilang, “(Hasil) survei itu tergantung siapa yang bayar.” Jelas pernyataan yang akan dianggap ngeles oleh para cebong.

Saya cenderung setuju dengan beliau. Saya pernah bergelut sebagai relawan data alias surveyor hampir lima tahun lamanya. Dengan bekal pengalaman, saya bisa tahu lembaga mana menerima pesanan dari siapa hanya dari melihat daftar pertanyaan survei mereka.

Begini. Sebenarnya, hampir semua survei memiliki daftar pertanyaan yang tak jauh beda. Kalaupun beda, paling di pilihan jawabannya dan jumlah pertanyaannya saja.

Selain itu, bagi surveyor ada dua hal yang pantang dilakukan alias haram hukumnya, walaupun sebenarnya fatwa tersebut tak mengikat. Pertama, mengarahkan jawaban; kedua, yang ditanya alias responden mengatakan jawaban tidak tahu. Kalau sampai ada jawaban tidak tahu, wah bisa-bisa survei error. Masak sudah bayar mahal, survei malah nggak berguna. Si pemesan akan rugi.

Wajar jika Prabowo sampai berkata seperti itu saat menanggapi hasil survei Indikator. Hasil survei Indikator memang jarang menempatkan Prabowo mengalahkan Jokowi. Anda bisa cek dari hasil survei Jokowi sebelum ia jadi presiden hingga saat ini.

Lalu, kapan Prabowo menang? Ya, ketika ia memakai survei yang menguntungkan dirinya. Itulah yang terjadi saat hitung cepat di pilpres 2014 silam.

Sebelum penghitungan cepat terjadi, ada survei yang melalui beberapa tahap, yang bahkan memakan waktu berbulan-bulan. Tujuannya untuk mengetahui perilaku pemilih.

Caranya? Memberikan bermacam-macam pertanyaan. Ada pertanyaan yang baik, ada pula pertanyaan menjebak. Biasanya pertanyaan menjebak terjadi di pertanyaan nomor 90 sekian atau di bagian menjelang akhir survei.

Sebagai contoh, pada survei di tahun 2014 ada pertanyaan sebagai berikut.

91. Jika Anda disuruh memilih Presiden hari ini, mana yang Anda pilih?

Prabowo; B. Jokowi; C. Anies Baswedan; D. Mahfud MD

Pilihan selanjutnya lebih mengerucut lagi.

A. Prabowo; B. Jokowi; C. Anies Baswedan

Terus mengerucut sampai cuma dua pilihan.

A. Prabowo; B. Jokowi

Tapi, nomor-nomor berikutnya tetap mencantumkan dua pilihan, seperti,

A. Prabowo; B. Anies Baswedan atau A. Prabowo; B. Jokowi atau A. Prabowo; B. Mahfud MD

Responden yang paham tentu akan bertanya, “Kok dari tadi pilihannya mengerucut ke Prabowo terus? Ini pertanyaan pesanan, ya?” Dan sebagai surveyor yang manut atasan, tentu hanya diperbolehkan menjawab, “Maaf, kami hanya ingin mengetahui perilaku pemilih.” Sudah, hanya itu.

Saat survei tersebut sudah selesai dan diketahui di daerah mana Prabowo menang, selanjutnya, tinggal menyuruh surveyor datang ke daerah tersebut saat penghitungan cepat berlangsung. Makanya, wajar 2014 kemarin ada lembaga survei yang memenangkan Prabowo.

Nah, mengenai perilaku pemilih, ada beberapa pertanyaan yang menarik menurut saya. Beberapa kali saya ikut sebagai surveyor di berbagai lembaga, pertanyaan ini bolak-balik muncul. Saya lupa-lupa ingat persisnya, tapi kira-kira begini.

Kalau Anda diberi uang menjelang penghitungan suara, sikap apa yang Anda ambil?” (Kalau responden menjawab B atau C, lompat ke pertanyaan nomor 121.)

A. Menolak tegas; B. Menerimanya tapi tak memilih; C. Menerima dan memilih; D. Rahasia; E. Tidak Tahu

Ternyata, ada beberapa responden yang menjawab B atau C. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah,

Jika Anda menerima uang, berapa jumlah uang yang Anda harapkan?

A. 50 ribu; B. 100 ribu; C. 150 ribu; D. Rahasia; E. Tidak tahu

Mengejutkan? Jangan kaget. Kalau ada politisi yang bilang, “Jangan menggunakan politik uang,” kemungkinan besar politisi tersebut sedang menipu diri atau menipu orang yang ia ajak bicara. Pemilu beserta tetek bengek di dalamnya seperti survei dan mahar, semua memang digerakkan oleh uang, uang, dan uang.

Exit mobile version