MOJOK.CO – Kamu kira jutaan remaja datang ke Jogja karena ingin kuliah itu jasa “branding” Dinas Pariwisata? Tidak. Itu jasa brosur kampus swasta Jogja.
Alkisah, tersebutlah Teman Kita, seorang anak muda berambut lurus dan halus terurai tiba di Yogyakarta (Jogja).
Wajah kotaknya dengan uneng-uneng di pelipis kanan yang tumbuh misterius di kulit muka berminyak itu tak sudah-sudah mengagumi kota baru yang kelak seluruh impiannya tertuntaskan.
Jarak Lombok dan Jogja apalah, apalah. Yang penting ia sudah sampai di “kota pelajar”, begitu orang tuanya selalu menggumamkan identitas sebuah kota suci tatkala ia berpamitan pertama kali.
Sebuah impian sederhana sebetulnya. Bahwa, ia bisa melanjutkan pendidikannya di sebuah kampus yang fotonya seperti tertera di dalam brosur biru yang sudah lecek karena ia pegangi terus, karena keseringan ia perlihatkan kepada siapa saja.
Bukan ia saja yang terpesona, orang tuanya pun, om dan tantenya pun turut terpesona. Brosur membuat seisi kampung terpesona.
Brosur dengan foto teknik tinggi dan didesain dengan aplikasi komputer dengan kemahiran luar biasa membuai orang-orang jauh dari gravitasi Jogja.
Lombok itu termasuk jauh dari gravitasi. Walaupun jauh, ia dekat dalam angan-angan. Bahkan, hampir terengkuh malahan saat Teman Kita ini pada akhirnya mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa baru di kampus yang tercantum dalam brosur.
Makin berbunga hatinya karena hampir semua orang yang ia tanyakan di mana letak kampus yang ada dalam brosur selalu menunjukkan arah yang sama, nama yang sama: Ring Road Utara.
Mantap betul langkahnya menuju kampus yang sudah ia hapal di luar kepala berkat brosur: UPN “Veteran” Yogyakarta. Sebuah kampus yang perubahan status dari akademi menjadi universitas pernah diinformasikan dalam berita separagraf Kedaulatan Rakyat edisi 18 Mei 1965, halaman 2.
Tentu saja, si Teman Kita tak pernah bertanya mengapa kata “veteran” mesti diapit tanda petik karena bukan itu tujuannya datang ke Jogja; menjadi seorang editor, menjadi laki-laki yang rewel dengan tanda baca.
Tujuannya membatu: ia hanya memandang kampus megah dengan teknik foto yang membuai mata dan dalam bayangannya bisa menjadikannya sarjana atau sampai menerbangkannya ke luar negeri.
Ya, ia memilih Jurusan Hubungan Internasional. HI, Saudara. Ikut tes? Tak perlu. Karena, brosur bilang ia lulus tanpa tes karena nilainya bagus.
Ia hanya perlu datang mendaftar ulang dan ikhlas membuka dompetnya pertama kali–dan seterusnya–di depan lubang kecil kasir kampus. Terselip bangga di hatinya karena UPN diam-diam memujinya sebagai orang pintar, spesial, remaja istimewa, yang tak perlu dites ini dan itu.
Semringah betul wajahnya melihat halaman kampus dengan bentang halaman luas yang hijau royo-royo. Ia hitung berapa tingkat lantai gedung di brosur dan berapa lantai gedung yang ada di depannya kini. Persis. Tak ada yang berbeda. Kepercayaan dirinya naik ke langit ke tujuh.
Ia kabari orang tuanya dengan semangat menyala, seperti veteran perang yang baru saja dijanjikan negara bahwa hidup di hari tua mereka cemerlang di bawah lindungan bendahara negara alias ena-ena tanjung kimpul.
Hingga hari pertama perkuliahan tiba. Dan, ia mengumpat untuk pertama kalinya; umpatan yang ia pelajari secara ringkas dari tetangga kos mahasiswa semester tua di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Wuasssssu, kuliah di kampus kandang kambing.”
Maksud Teman Kita, perkuliahan ternyata bukan dilangsungkan di kampus yang lantai gedungnya ia hafal betul dari brosur itu, melainkan di gedung lain di area Babarsari. Sebuah hunian yang disebut “Bronx”-nya Jogja.
Disebut demikian karena banyak peristiwa kriminal besar terjadi di sini; bahwa, ini area yang ena-ena untuk baku hantam antar-etnis. Bahkan, peristiwa tragis penyerbuan penjara Cebongan bermula dari gesekan kecil di “Bronx”-nya Jogja yang bernama Babarsari itu.
Sebut saja Teman Kita ini adalah “Irwan Bajang”. Sebagaimana “veteran” diberi tanda petik, namanya pun saya bekuk dengan tanda petik bahwa itu bukan nama sebenarnya.
Bahwa Teman Kita yang ternyata “Irwan Bajang” ini bisa menyelesaikan seluruh prosesi perkuliahan dengan skripsi tentang Irak dan Saddam Hussein.
Entah apa yang dipikirkannya memilih skripsi bertopik ajaib seperti itu kalau menghubungkannya dengan portofolionya hari ini sebagai borjuis indie perbukuan Jogja. Saya tak perlu tahu soal Pak Saddam di skripsinya itu karena bukan itu poin dari esai ini.
Bahwa, brosur sekolah dan kampus swasta memiliki tenaga magis memindahkan jutaan remaja-remaja yang baru setahun punya KTP dari daerah ke kota Jogja. Arus perpindahan remaja bertenaga kuda dan pemimpi laskar itulah yang kemudian dimonetisasi Jogja dengan apa yang disebut “pendapatan asli daerah”.
Brosur bagi sekolah dan kampus swasta adalah “tisu magic” yang merayu anak-anak dari seluruh negeri untuk datang ke kota bikinan Panembahan Senopati ini.
Tidak melulu demi kota niatnya, tetapi mengisi kursi yang sudah dipatok oleh pengelola pendidikan. Atau, ya, sekadar bisnis belaka. Di kota yang minim sumber daya alam ini, (perdagangan) pendidikan menjadi sektor andalannya.
Boleh dibilang, di Jogja, semua ilmu ada sekolahnya, semua fak ada lembaganya, semua vokasi ada kursusnya. Dan, umumnya semua berstatus swasta.
Kampusnya ada di mana-mana. Tumbuh di gang-gang maupun di rukun tetangga yang terpencil. Di kampung tempat saya tinggal misalnya, yang dekat dengan “rumah hutan” pelukis Djoko Pekik, ada sekolah bonafit bernama “Sekolah Pelayaran”.
Sebuah rumah kontrakan kecil di pinggir kali yang dipoles sedemikian rupa wajah depannya selaiknya kampus yang keren jika terbingkai dalam foto dan makin menghipnotis kala tersentuh aplikasi ajaib bernama Photoshop.
Lembaga-lembaga ini berjibaku berebut remah-remah murid, pemburu mahasiswa baru yang lihai.
Bagaimana modus operandinya? Turba.
Agensi lembaga pendidikan swasta bekerja seperti sales rokok militan yang mendatangi langsung rumah para anak negeri yang bermimpi tentang kehidupan lebih baik dari kondisi hari ini di kampung halamannya.
Cara efektif adalah dengan mengirimkan mereka brosur. Jasa pembuatan “tisu magic” bernama brosur ini tentu saja menghidupkan jasa desain dan menyalakan industri percetakan yang tidak kalah rumahan skalanya.
Saya tidak tahu bagaimana caranya mereka mengumpulkan alamat-alamat siswa SMA kelas tiga yang beberapa bulan lagi lulus. Pendeknya, mereka punya semua trik dan tips menjual lembaga pendidikannya.
Jelas, kerja ini adalah amal besar. Coba, mereka menjadi promotor terdepan apa yang disebut “Jogja Berhati Nyaman”, “Jogja Istimewa”; dari Sabang hingga Merauke.
Kalian kira jutaan remaja itu berbaris datang ke Jogja lewat bandara atau terminal atau stasiun karena jasa Dinas Pariwisata DIY dengan memakai anggaran danais? Atau, kampus-kampus yang menyebut dirinya negeri?
Nehi.
Pahala seperti ini yang tidak pernah direken saat gagah-gagahan menyebut status diri; bahwa dada lebih membusung dan jalan ditekuk-tekuk sedemikian rupa karena kuliah di kampus negeri, sementara kuliah di kampus swasta hanyalah buangan, kelas dua, korban brosur.
Nahas betul.
Padahal, batu bata begitu masyhurnya industri dan ekonomi pendidikan justru disumbang kampus swasta. Berapa sih mahasiswa sekolah negeri seperti UGM atau UNY atau UIN Kalijaga Yogyakarta itu?
Mereka bisa pucat dan merasa seperti liliput jika seluruh mahasiswa dari kampus atau sekolah swasta ini dibariskan dari Kaliurang paling atas hingga bibir pantai Parangtritis. Buanyaaak banget.
Universitas besar swasta saja ada 23. Setingkat institut 8. Sekolah tinggi 40, politeknik 10, akademi 50, lembaga kursusan profesional 9, kursusan komputer, menjahit, memasak, membatik, dan bimbingan belajar nggak terhitung.
Misalnya, mereka bersatu membajak Jogja selama sehari saja, Jogja bisa apa.
Karena mental mereka sudah dibekuk sebagai manusia kelas dua tingkat pendidikannya, maka selamanya mereka menjadi minder menyebut nama sekolahnya, nama kampusnya, nama kursusannya.
Mereka umumnya meringkusnya dalam parafrase pendek, “kuliah di Jogja.” Padahal, sekolah di ESI Wonosari atau TREX Bantul.
Warisan kolonial
Bagaimana perasaan minder mahasiswa swasta di Jogja ini bekerja? Apa ia datang begitu saja?
Tidak, Saudara. Ini konstruksi lama. Mental minder itu datang dari konstruksi berpikir kolonial yang menempatkan semua sekolah di luar milik pemerintah adalah liar.
Yang dimaksud sekolah negeri adalah yang dimiliki pemerintah. Kelas A. Bisa bersekolah di sini bisa dianggap sebagai warga kelas satu. Ini sekadar nama sekolah milik pemerintah itu dan nggak usah dihapal karena hanya bikin mumet ndasmu (skip saja kalau nggak suka):
Hollandsche Inlandsche School (HIS), Europesche Lager School (ELS), Hogare Burgerlijke School (HBS), Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), Hogare Burgerlijke School (HBS), School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA (kini, Kedokteran UI), Landbouw School (pertanian), Rechts Hooge (kini, Hukum UI), Technische Hooge School (teknik, kini ITB), Hoogere Kweek School (sekolah guru).
Sebaliknya, ada sekolah-sekolah “swasta” bikinan aktivis pergerakan yang sesungguhnya beberapa dari mereka lulusan atau terpapar sekolah bikinan pemerintah itu.
Sebut saja Taman Siswa, INS Kayutanam, Keutamaan Istri, Kartinischool, Ksatrian Institut, Perguruan Rakyat, Sekolah Ma’arif (NU), beragam sekolah dan kursusan bikin Sarekat Islam, Adhi Darma School, dan seterusnya.
Semua itu dianggap liar. Bahwa, semua yang liar adalah urakan, adalah kotor, sampah, setan. Pendeknya, tidak beradab. Salah satu ciri ketidakberadaban itu adalah tidak memakai bahasa Belanda (internasional) sebagai bahasa pengantar dalam kelas.
Muntab betul guru radikal bernama Ki Hadjar Dewantara saat sekolah swasta yang didirikannya, Taman Siswa, terkena cekal oleh undang-undang diskriminatif bernama Ordonansi Liar.
Undang-undang ini dibikin untuk mendorong sekolah swasta seperti Taman Siswa untuk mundur di luar garis permainan. Mereka dirantai agar menjadi sekolah yang kontraproduktif atas usaha-usaha kolonial mempertahankan kedaulatan wilayah jajahannya selama mungkin.
Demikianlah, sekolah “swasta”-lah yang menjadi sumur inspirasi yang kemudian negara Indonesia sampai pada simpul menyatakan kemerdekaannya.
Lalu, negeri yang baru saja bikin negara ini merancang usaha pendidikan bernama “sekolah negeri” yang dipimpin pertama kali oleh “guru sekolah swasta” bernama Pak Hadjar.
Lihat, mentang-mentang jadi Menteri Pengajaran, Pak Hadjar tidak mau menjadikan status Taman Siswa naik menjadi sekolah negeri. Tetap sebagai Taman Siswa, tetap sebagai national onderwijs institut.
Maunya Pak Hadjar, sih, sekolah negara baru ini beda dalam segala hal dengan “sekolah negeri” versi kolonial, sekolah ngeri itu. Ya, kurikulum, ya mentalnya, ya, sifatnya yang rasis dan diskriminatif. Pendeknya, kesombongan kelasnya harus dibuang.
Begitulah jalannya sejarah. Swasta punya bakti tiada terkira telah menyumbang batu bata pada sekolah nasional.
Engkau kira mantra bernama “patrap triloka” yang dipakai sebagai semboyan sekolah negeri, sekolah nasional, muasalnya dari mana? Memangnya itu barang antik jatuh dari dahan pohon kedondong?
Patrap triloka itu datang dari “sekolah swasta”, dari Taman Siswa di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, itu. Patrap triloka itu adalah ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun karsa/kemauan/semangat), dan tut euri handayani (dari belakang mendukung).
Sampai kemudian saya menemukan kliping Kompas edisi 22 Februari 2011 yang memuat rintihan tragis dari guru senior di Taman Siswa, Ki Supriyoko.
Di artikel bertitel “Melukai Sekolah Swasta” itu, Ki Supriyoko menggugat Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berisi penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta. Aturan itu membikin pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta dibuat dag-dig-dug.
“Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik,” tulis Ki Supriyoko, “sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.”
Paragraf Ki Supriyoko itu mengisyaratkan bahwa swasta itu di bawah standar, SDM-nya payah, guru dan pengajarnya medioker semua, partikelir semua. Undang-undang yang membekuknya demikian. Undang-undang itu pastilah terbentuk lewat mental yang panjang.
Seakan, menjadi “swasta” adalah dosa; kuliah atau sekolah di swasta adalah alamat masa depan suram karena karma menjadi manusia kelas dua.
Akhirul kalam, kertas informasi sekolah bernama “brosur” yang dipegang jutaan manusia muda seperti Teman Kita yang sebut saja “Irwan Bajang” itu pernah dipakai Ki Hadjar Dewantara saat namanya masih Soewardi Soerjaningrat.
Tulisannya yang sarkastis dan mengantarkannya ke alam pembuangan, “Als ik een Nederlander was” (1913), ia sebut sebagai brosur.
Mulialah brosur dan juga kepada mereka yang pernah mendapatkannya di bawah pintu rumah pada suatu pagi saat terang tanah. Generasi yang datang ke Jogja via brosur, tabah dan tetap bersemangat walau tersengal.
Jika ASN tak teraih, toh bahasa Indonesia menyediakan lema “wiraswasta” untuk dipeluk. Berwiraswasta-lah secara paripurna. Kampus swasta, status kerja wiraswasta. Sempurna betul. Itu.
BACA JUGA Ki Hadjar Dewantara: Nakal Harus, Goblok Jangan dan tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.