MOJOK – Buka bersama pada Bulan Ramadan memang bisa jadi momentum untuk bersyukur bagi mahasiswa “burjois” (baca: kere). Hanya saja kadang-kadang bukan rasa syukur yang didapat tapi malah rasa sabar karena besarnya tagihan iuran dan kelewat mewahnya makanan yang disajikan.
Kalau situ merantau atau memang asli Yogja pasti pada suatu masa pernah merasakan sensasi menjadi burjois. Ya, burjois—bukan borjuis—merupakan julukan bagi kita-kita pelanggan tempat makan franchise paling populer di kota pelajar, yakni warung burjo. Layaknya waralaba, setiap radius 200 meter di pelosok Yogya bisa dipastikan akan ditemukan warung ini.
Warung burjo ini memang ajaib. Gimana tidak? Namanya warung burjo, singkatan dari warung bubur kacang ijo, tapi menu bubur kacang ijo malah bukan menu favorit lagi—bahkan beberapa oknum warung kedapatan tidak lagi menyediakan menu bubur kacang ijo. Dan lagi pelayannya kebanyakan akang-akang Sunda, padahal warung ini populer sekali di Yogya. Selama bertahun-tahun tinggal di Tanah Pasundan saya cuma pernah makan di tempat seperti ini sekali saja. Beda ketika menggelandang di Yogya, hampir sekali sehari saya bisa mampir ke sini.
Oleh karena itu bisa disebut bahwa “burjois” merupakan sematan untuk spesies pelanggan warung merakyat ini. Dan salah satu pelangganannya tentu saja adalah makhluk bernama mahasiswa perantauan yang kere punya.
Lha gimana? Burjo ini memang sevisi dan semisi dengan program hidup mahasiswa yang kiriman uang sakunya seret. Sudah murah, merakyat, mengenyangkan, dan tetap buka sampai jam tiga pagi. Burjo menjadi karib dalam ekosistem bagi mahasiswa burjois.
Ya maklum, mahasiswa burjois adalah salah satu spesies yang desain lambungnya berbeda dengan homo sapiens kebanyakan. Saat homo sapiens bisa teler tidak makan nasi dalam sehari, mahasiswa burjois bisa tetap hidup selama seminggu hanya dengan lima bungkus mie instan. Cara menyajikan mie instannya pun beda dengan homo sapiens. Jika homo sapiens harus direbus, mahasiswa burjois cukup diseduh air dispenser.
Namun sehebat apapun mahasiswa burjois beradaptasi dengan kesulitan alam, mereka juga sering kagetan, terutama jika terkait gaya hidup spesies tetangga, yakni mahasiswa borjuis (pakai huruf “o”). Mahasiswa di tangga rantai makanan paling atas. Memang sih, spesies mahasiswa ini—kalau tinggal di Yogya—pernah juga merasakan sensasi menjadi “burjois”, namun tentu saja tidak akrab. Cuma asal kenal aja sekali dua kali. Tidak seperti mahasiswa burjois yang sampai punya tingkatan spiritual manunggaling kawula burjo.
Buka Bersama di Bulan Silaturahmi
Tidak bisa didebatkan, puasa Ramadan merupakan bulan berkah bagi muslim di seluruh dunia, termasuk mahasiswa. Selain menabung pahala tidak terhingga, mahasiswa burjois dapat banyak tiket pengganjal perut gratis. Mulai dari takjil berbuka, snack tadarus, sampai kiriman jajan hampir kadaluarsa dari ibu kos.
Hal yang sama juga terjadi dengan mahasiswa borjuis. Bulan ini adalah masa-masa kita dapat semakin mendekatkan diri secara sosial dengan sesama. Istilahnya yang sering saya dengar dari kecil: merasakan penderitaan kaum susah sehingga kita senantiasa bersyukur.
Di bulan ini, kedua spesies mahasiswa ini pada akhirnya juga akan sering dipertemukan dalam satu momen, yakni: buka bersama. Ya gimana ya, buka bersama di Nusantara sudah jadi tradisi je. Tentu saja dua spesies mahasiswa ini juga tidak ketinggalan, mereka punya momen buka bersamanya sendiri.
Nah, seperti halnya banyak benturan budaya lain di masyarakat jika ada dua kelas sosial yang ketemu, buka bersama tidak jarang juga menimbulkan dilema bagi pelakunya. Memang iya, tujuan buka bersama salah satunya adalah silaturahmi. Tapi bakal jadi dilema, terutama bagi mahasiswa burjois, jika yang bersangkutan ikut event buka bersama di level sosial yang bukan habitatnya sehari-hari.
Bagi makhluk yang terbiasa dengan nasi kucing dan mie-instan-seduh-dispenser, buka bersama kadang betul-betul jadi momen spiritual karena bukannya membuat bersyukur, tapi malah menuntut kesabaran. Memang betul, mahasiswa burjois pada akhirnya bisa berkumpul dengan sejawat, bersenda gurau, dan makan enak. Nah, justru di kondisi makan enak ini masalah sebenarnya timbul.
Beberapa hari yang lalu, teman sejawat bercerita tentang buka bersama yang diadakan teman-teman angkatan kuliahnya. Dia sendiri adalah mahasiswa. Saya sempat keselek mendengar biaya iuran masing-masing peserta buka bersama yang diikuti kawan saya. Menurut ceritanya, biaya iuran buka bersama yang diikuti sama dengan biaya makan selama enam hari.
Tentu peserta buka bersama ini mendapatkan reward oke punya. Acara buka bersama didesain dengan nuansa pesta kebun eksklusif di tengah padang golf sambil memakai dresscode olahraga. Menu buka bersamanya juga bukan mie dokdok, tapi menu prasmanan yang dibagi ke dalam urutan ribet; dari menu makanan pembuka, menu utama, dan penutup. Selain itu ada pula bingkisan suvenir yang memorable.
Hal yang bikin teman saya bertanya-tanya, ini buka bersama apa kondangan nikahan hotel berbintang? Coba kalau ada usulan mendatangkan DJ, pasti epic makan takjil sambil dengar dub-step-dub-step.
Akhirnya kawan saya memutuskan kabur sebelum acara usai. Tidak kuat katanya lihat kemewahan berlebihan macam begitu. Saya membayangkan jika saya masih mahasiswa, pasti juga bakalan teler membayar iuran buka bersama yang bisa dipakai buat makan seminggu seperti itu. Benar pada hari itu berkah makan mewah, tapi seminggu kemudian bakalan makan mie rebus lauk nasi.
Pada akhirnya, sepertinya saya harus meralat bahwa merasakan penderitaan kaum susah sehingga kita senantiasa bersyukur itu tidak berlaku di semua kalangan. Dalam beberapa momen, bukan kalangan atas yang merasakan hidup seperti kalangan bawah. Tapi justru yang di bawah yang dipaksa mendaki demi sekadar menjaga apa yang dinamakan silaturahmi.
Bulan berkah yang harusnya bisa dijadikan momentum toleransi dan empati ini salah-salah malah bisa berbalik arah efeknya.