MOJOK.CO – Kalau diet karbo zat yang dikurangi karbohidrat, maka dalam diet karbon ya aktivitas yang menghasilkan karbondioksida dikurangi.
Isu tentang perubahan iklim yang belakangan gencar disuarakan memunculkan satu istilah baru; diet karbon. Beberapa waktu lalu #ayodietkarbon sempat meramaikan berita media online dan opini warga dunia maya.
Kedengerannya memang catchy. Selintas terdengar seperti diet karbo yang dalam ilmu gizi pernah bikin heboh.
Sebagaimana diet karbo, diet karbon ini juga mengacu pada gaya hidup yang mengupayakan pengurangan atau menghilangkan sama sekali konsumsi zat yg disebutkan.
Dalam diet karbo, zat yang dimaksud adalah karbohidrat. Nah, dalam diet karbon kita dianjurkan untuk pelan-pelan mengurangi aktivitas yang menghasilkan polusi CO2 atau karbondioksida, untuk kemudian diharapkan tidak sama sekali menghasilkan polutan ini, yang dikenal dengan istilah “Zero Carbon”.
Lho, memangnya kita cerobong pabrik? Yang asapnya bisa bikin batuk tujuh hari tujuh malam? Kata seorang teman. Dia memang seorang kudet yang cenderung hiperbolis.
Tapi temen saya itu tidak sendiri. Kebanyakan masyarakat tidak menyadari, bahwa kegiatan mereka sehari-hari juga meninggalkan jejak-jejak karbon.
Bukankah kalau kita kepanasan kita akan menyalakan AC? Mau ke warung yang jaraknya kurang dari setengah kilo saja harus mengendarai motor. Bahkan kegiatan-kegiatan remeh seperti stalking IG gebetan dan mantengin story mantan juga menghasilkan polusi karbon dioksida.
Tak heran bila di media massa bermunculan artikel-artikel yang memberi tips dan trik agar kita bisa mengurangi emisi karbondioksida dimulai dari hal-hal kecil, misalnya HP.
Di antaranya adalah tidak bermudah-mudahan mengganti HP sampai benda itu benar-benar rusak. Bijak menggunakan kuota dan waktu, sehingga tidak berlama-lama menonton YouTube, membuka beranda Facebook, atau menonton drakor di Telegram.
Beberapa tips itu terdengar sangat akrab bagi golongan kelas menengah cenderung miskin seperti saya.
Kalau saja HP saya yang layarnya penuh garis-garis retakan akibat terjatuh itu tidak mati total, niscaya dia akan tetap setia menemani hari-hari saya. Jangankan nonton drakor secara maraton, sekali-kali nonton podcast-nya Om Deddy Corbuzier aja, di tengah bulan saya sudah kehabisan kuota.
Bagi orang miskin, mau diet karbo atau diet karbon tampaknya nggak susah-susah amat. Tapi gimana dengan orang kaya?
Saya teringat obrolan tentang biaya pulsa listrik bersama teman-teman pengajian, yang kebanyakan berdomisili di kawasan BSD, yang taman di depan komplek perumahannya serupa dengan taman nasional di Australia.
Dalam seminggu mereka rata-rata mengeluarkan belanja pulsa listrik sebesar 2 juta. Katanya yang paling boros menyedot daya listrik adalah pompa air kolam renang.
Padahal sehari-hari mereka nggak mandi di kolam renang. Cuma akhir pekan saja kolam renang itu dipakai anak-anak mereka untuk bersenang-senang. Itu pun kalau mereka nggak keluar kota atau jalan-jalan ke mal. Tapi pompa yang berfungsi untuk menjaga kejernihan air kolam renang harus terus dinyalakan.
Orang kaya ternyata juga ada kelas-kelasnya. Teman-teman saya yang tinggal di kawasan BSD tadi masih terbilang kelas mujair, bila dibanding kaum borjuis kelas kakap yang disebut sebagai sosialita atau crazy rich.
Konsumsi karbon mereka lebih gila lagi!
Mereka seperti terjangkit sejenis alergi bila harus duduk berada dalam satu pesawat bersama kaum jelata. Hingga muncullah tren bepergian dengan jet pribadi.
Bayangkan!
Jejak karbon yang begitu banyak harus dikeluarkan demi mengangkut segelintir orang saja. Sungguh ini melecehkan prinsip pemanfaatan energi demi hajat hidup orang banyak.
Mengingat tanda-tanda kerusakan bumi yang mulai muncul bertubi-tubi, seperti banjir, longsor, angin ribut, cuaca yang sangat panas, tampaknya orang-orang kaya tersebut tak bisa lagi dibiarkan berlaku semaunya.
Netizen jelata yang sok bijak pun dilarang melakukan pembelaan, seperti yang seringkali ditunjukkan penggemar die hard-nya Rafi dan Gigi. Mereka tidak boleh lagi melakukan pembenaran atas perilaku konsumtif idola mereka yang merugikan bumi, dengan dalih bahwa itu hak sang idola karena memakai uang hasil jerih payah sendiri.
Orang kaya yang dibiarkan terus-terusan merusak bumi dengan pola konsumsinya yang boros karbon akan menyinggung rasa keadilan masyarakat miskin. Bukankah bumi ini diciptakan Tuhan untuk semua golongan? Seharusnya setiap orang atau rumah tangga memiliki jatah emisi karbon yang sama.
Untuk mengatasi ketidakadilan itu, pemerintah harus memandang diet karbon yang dilakukan masyarakat melalui kacamata yang lebih luas. Dengan begitu, gerakan ini nantinya juga bisa menghasilkan konsekuensi berupa carbon trading dan carbon credit, seperti yang berlaku dalam pergaulan antar negara di dunia.
Saya membayangkan setiap orang miskin bisa menjual sisa carbon credit-nya kepada orang kaya, yang belanja karbon bulanannya melampaui batas minimum yang diperolehkan.
Artinya, setiap kali Maia Estianty mau keluar kota dengan jet pribadinya, entah itu untuk sekedar having fun bersama teman-teman atau menjemput sang suami yang sedang melakukan perjalanan bisnis di luar kota, puluhan orang miskin dapat tambahan penghasilan untuk biaya sekolah anak-anak mereka atau setidaknya bisa beli stok sembako untuk sebulan.
Tapi, bukankah bagi orang kaya uang tidaklah menjadi masalah? Mereka tetap bisa berboros ria menghambur-hamburkan karbon? Nggak ngefek sama sekali dengan tujuan utama dari kampanye diet karbon ini?
Benar, tapi paling tidak ada dampak ekonomi yang positif seiring dengan munculnya manfaat yang bisa dirasakan kaum miskin. Dengan begitu, orang miskin tak perlu lagi berutang kepada bank keliling atau kepada pinjol.
Lagipula, masih banyak kok orang kaya yang penuh perhitungan (untuk tidak menyebut pelit) macam bos BCA, yang lebih memilih melakban sepatunya yang jebol ketimbang beli yang baru.
Mekanisme carbon trading di kalangan masyarakat juga bisa membuat perputaran uang menjadi lebih merata. Sebab, biasanya orang-orang kampung lebih familiar dengan gaya hidup minim emisi.
Hubungan orang kota dan orang kampung sebagaimana yang digambarkan dalam lirik lagu “Pepaya Mangga Pisang Jambu” pun bisa terjalin. Hanya saja produk yang ditransaksikan bukan lagi buah-buahan.
Mendengar ide itu, temen saya tadi dengan malas-malasan memberi tanggapan.
“Kalau begitu harus dibikin aturan main yang jelas, pendataan yang valid dan akurat. Bagi-bagi bansos yang prosedurnya sederhana saja bisa salah sasaran, apalagi ngurusi yang beginian? Repot tahu! Lagian, memangnya Pemerintah sudi mendengar saran kamu yang khayali itu?”
Oiya, saya lupa, selain kudet dan hiperbolis, teman saya ini juga orang yang sangat realistis.
BACA JUGA Bencana Asap di Batok Kepala Para Pejabat NKRI dan tulisan Novie Riyanti lainnya.