MOJOK.CO – Selama belasan tahun merantau dari Sumatera Barat, saya kerap disalahpahami sebagai orang Padang, padahal saya orang Bukittingi.
Sudah agak lama, beberapa hari belakang ada kejadian seorang pejabat (tertinggi) negeri yang salah menyebut Padang sebagai provinsi. Sebagai perantau dari Sumatera Barat, yang bukan Padang, saya cuma bisa garuk-garuk kepala mendengarnya.
Pasalnya kejadian ini bukan kali pertama saya dengar. Rakyatnya aja banyak kok yang sering keliru, apalagi kepala negaranya? (Eh, atau harusnya kebalik ya?)
Tahan, posisi saya di sini tidak untuk mencaci, apalagi memaki. Untuk urusan itu saya serahkan saja kepada netizen Indonesia yang berjuta-juta banyaknya, yang kabarnya, punya reputasi internasional dalam hal keberisikannya.
Saya di sini hanya ingin dimengerti sekaligus mengeluarkan curahan hati. Belasan tahun sudah saya merantau, luntang-lantung dari Bandung-Yogyakarta-Jakarta. Selama itu pula saya kerap disalahkenali sebagai “orang Padang”. Padahal bukan.
Meski sudah berulang-ulang kali pula saya koreksi, sejauh ini, hanya tiga golongan sajalah yang betul-betul paham: traveller yang sudah masuk ke pelosok-pelosok Sumatera Barat, orang LSM yang sering bolak-balik masuk Mentawai, atau anak jurusan Geografi.
Di tahun-tahun pertama merantau, saya masih saklek. Ditanya orang asal mana, saya akan menyebut kota di mana keluarga ibu saya berasal, tempat di mana rumah gadang kami didirikan. Biasanya jawaban saya ditanggapi dengan kernyit di kepala oleh si penanya, “Di mana itu?”
Lalu, saya jelaskan bahwa si kota ini terletak di Provinsi Sumatera Barat. Masih kurang jelas, saya terangkan pula bahwa provinsi ini posisinya berdekatan dengan Riau, Sumatera Utara, lalu Jambi dan Bengkulu dengan ibukota bernama Padang.
Begitu mendengar kata Padang, biasanya raut muka si penanya langsung berbinar-binar. “Oalah, kamu dari Padang? Aku banyak kenalan orang Padang.”
Di tahun kedua dan selanjutnya, saya carilah jalan pintas. Untuk mempersingkat percakapan biasanya saya akan langsung bilang, “Oh, saya dari Sumatera.”
Untuk yang kurang puas, saya sambung dengan, “Dekat Padang, ya sekitar 100 km lah dari situ.” Atau, di lain waktu saya langsung bilang, “Saya dari Padang.”
Ini bukan karena saya sudah merasa jadi Padang benaran, namun lebih karena saya sedang sariawan dan tak bertenaga untuk memberi kuliah singkat soal geografi pada orang yang sebetulnya hanya sedang berbasa-basi.
Demikianlah, di mata banyak orang sebutan Padang bisa mengacu pada entitas suku/etnis (orang Padang) sekaligus menandakan lokasi (asal Padang). Semua orang yang berasal dari Sumatera Barat disebutnya orang Padang, pun daerah mana saja di Sumatera Barat dikenalnya sebagai Padang.
Buat yang masih bingung, baiklah saya jelaskan pelan-pelan. Hitung-hitung kursus singkat Geografi buat yang dulu nilai Geografinya jeblok, seperti saya.
Jadi, di Pulau Sumatera kan ada banyak provinsi tuh. Dulu waktu saya SD diajarinnya ada 8, tapi kini kabarnya jadi 10. Nah, salah satu provinsi itu bernama Sumatera Barat dengan ibukota Padang.
Seperti halnya provinsi-provinsi lain di Indonesia, tentu kota atau kabupaten yang terdapat di Sumatera Barat tidak Padang saja. Ada Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Solok, Padang Pariaman, Padang Panjang, dll.
Para perantau yang selama ini mengembara bisa berasal dari daerah mana saja di Provinsi Sumatera Barat. Jadi menamai mereka sebagai Padang adalah sebuah simplifikasi yang rada aneh. Bagi kami, ini rasanya kayak orang dari Ngawi, Madura, atau Lumajang disebut sebagai orang Surabaya.
Kekeliruan nama ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada Padang. Orang luar Indonesia, misal, punya kebiasaan mereduksi Bali sebagai Indonesia, padahal Indonesia isinya tidak Bali saja.
Contoh lain, di kampung, kami menyebut daerah mana saja di Pulau Jawa dengan sebutan Jawa. Meski saya sudah berpindah 4 kota/kabupaten dan 3 provinsi di Pulau Jawa, tetap saja ketika pulang akan disambut dengan pertanyaan, “Kapan pulang dari Jawa?”
Sebagai non-ahli dan non-akademisi, saya tidak paham dari mana asal-muasalnya bagaimana simplifikasi keliru berjamaah model begini bisa terjadi.
Jika pertanyaan ini kita sodorkan ke ahli sejarah, barangkali saja akan dirunut dari sejak abad ke-19 di mana di masa itu Padang merupakan salah satu kota pelabuhan tersibuk di Nusantara.
Dengan asumsi ini, adalah wajar jika Padang kemudian menjadi wilayah paling tenar sendiri dibanding daerah-daerah sekitarnya, atau bahkan nama provinsinya. Lah provisinya belum lahir, Padang sudah berjaya.
Untuk asumsi kedua saya pinjamkan dari jawaban orang-orang yang saya protes akibat ketidaktahuan mereka. Mereka bilang, “Lah kotamu kurang terkenal.” Meski di hati rasanya teriris, namun kebenaran ini saya akui juga di dalam hati. Lah ya, kenapa ya?
Sebagai pakar gadungan tak bersertifikat, saya punya teori sendiri untuk menjelaskan mengapa kesalahpahaman soal Padang ini terus terjadi dan malah awet sampai sekarang. Saya pikir-pikir ini ada sumbangsih dari penyebaran Rumah Makan Padang—terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Begini logikanya. Sejauh mata memandang dari kota-kota yang saya kunjungi di luar Sumatera Barat, banyak sekali yang memasang plang nama “Rumah Makan Padang”. Meski, si pemilik itu asalnya bisa jadi dari kota-kota lain di Padang.
Pada mulanya, hal ini dilakukan supaya orang gampang mengenali, jadinya lebih gampang laris. Sayangnya, ketika perilaku ini dilestarikan, maka hal ini mengafirmasi bahwa Padang merupakan penyebutan untuk wilayah mana saja di Sumatera Barat.
Jadi orang-orang akan bilang, “Saya penyuka masakan Padang,” meski “Padang” yang dimaksud di sini bisa berarti macam-macam.
Sebagai penutup, saya beri teka-teki berhadiah. Sebutkan lokasi di Indonesia di mana tidak ada satu pun ditemui Rumah Makan Padang? Buat yang beruntung bisa masuk gratis ke RM Padang mana saja seantero negeri. Masuknya doang tapi ya.
Yok bisa yok.
BACA JUGA Orang Minang Belum Tentu Orang Padang, Orang Padang Belum Tentu Orang Minang dan tulisan rubrik ESAI lainnya.